Lihat ke Halaman Asli

Resensi Buku: Menyelami Keajaiban Kedelapan

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Judul Buku : KEAJAIBAN KEDELAPAN

Penulis : Sy. Yusman

Penerbit : Format Publishing

Cetakan : I, Februari 2011

Halaman : 252 Halaman

Keajaiban Kedelapan merupakan novel bernuansa roman yang unik. Keunikan novel ini terletak pada gaya bahasanya yang tidak biasa dan pengetahuan yang mungkin belum tertahu pembaca. Ada imajinasi liar tersendiri dan pesan agama dalam novel ini yang bisa pembaca dapatkan. Ini pula yang menjadi ciri khas penulis dalam menulis novel ini.
Novel ini merupakan novel pertama yang ditulis Sy. Yusman, seorang lelaki yang memiliki prinsip hidup "Berpikir besar dan bertindak sederhana". Berkisah tentang rasa cinta Gavrila yang begitu besar kepada Balapati. Rasa cinta yang membuka mata hatinya bahwa semua yang dilakukan Bajra tak mencerminkan sifat Ilahi yang sesungguhnya. Namun, tak berani menentang secara terang-terangan meski sesungguhnya ia telah menjadi penghalang walau tak menyadari perbuatannya.

Balapati pun tak tahu bahwa gadis yang ia kasihi ternyata membenarkan logika sederhananya. Kepercayaan bahwa Tuhan itu bersifat transenden secara jasmani maupun rohani, namun cengkeraman kasih sayang Bajra menghadirkan perasaan yang campur aduk dan menempatkan gadis itu di persimpangan penuh bimbang. Berdiri di antara cinta dan manusia yang paling berjasa dalam perjalanan hidupnya.

Tentang penokohan, penulis menggambarkan karakter tokoh dalam novel ini dengan cukup hati-hati hingga nyaris seperti ada dalam dunia nyata. Biarpun novel ini merupakan sebuah karya fiksi tapi apa yang penulis kisahkan di dalamnya mewakili realita kehidupan saat ini yaitu, tentang hati nurani dan kebenaran yang seringkali ditutupi dan diingkari. Tapi bagaimanapun pada akhirnya cintalah yang mengakhirkan segalanya dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya. Novel ini juga semacam aspirasi untuk menentang sikap hedonisme (baca: falsafah hidup yang mengajarkan untuk mencapai kepuasan sebesar-besarnya selama hidup di dunia) yang sampai sekarang masih ada.

Di sisi lain, novel ini identik dengan bahasa Sansekerta. Alur maju mundur yang penulis gunakan dalam cerita ini pun membutuhkan kefokusan kita, begitupun tentang istilah ilmiah yang hampir ada di tiap bab-nya. Namun, satu hal yang menjadi catatan penting bahwa penulis mempunyai sebuah visi yang jauh tentang bagaimana seharusnya kita berkehidupan. Ini yang menjadi salah satu kekuatan novel ini, selain kepiawaiannya menggambarkan setiap tokoh dengan detil dan konkret. Ini pula yang membedakannya dengan novel lainnya yang sejenis.

Alur cerita yang hampir sempurna dengan latar tempat dan waktu yang imajinatif, saya yakin akan membuat pembaca penasaran dari bab ke babnya. Penulis seakan mengajak kita untuk memecahkan misteri keajaiban kedelapan itu. Membaca novel ini menjadikan kita seakan-akan adalah seorang detektif yang berusaha untuk menemukan dan menyelami apa sebenarnya keajaiban kedelapan itu.

Begitupun, bagi saya ada hal yang kurang menarik dari novel ini. Penemuan Keajaiban Kedelapan itu terkesan begitu mudah dan klise. Namun, penulis berhasil mengobatinya dengan menghadirkan kesimpulan yang "manis" di akhir ceritanya lewat serangkaian kalimat yang begitu menyentuh, "Tuhan, aku tahu Kau mengasihiku. Aku tahu Kau menyayangiku. Karena itu, kumohon padamu, kembalikan kasih sayang itu padaku. Kau tahu, jika ada seribu kebenaran, aku ada di situ. Kau pun tahu, jika ada seratus kebenaran, aku ada di dalamnya. Kau juga tahu, jika ada sepuluh kebenaran aku akan menjadi bagiannya. Jika hanya ada satu kebenaran, aku tahu Kaulah itu."
(Fitri A.B.)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline