Lihat ke Halaman Asli

Fitri Amaliah

Mahasiswa

Pilkada Banten di Masa Pandemi, Haruskah?

Diperbarui: 4 November 2020   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Fitri Amaliah*

Tercatat sampai hari ini (04/11/2020) pandemi Covid-19 belum juga berakhir. Berdasarkan data dari covid19.go.id kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia saat ini sudah mencapai 421,731 dengan total 54,190 kasus aktif. 

Di Banten sendiri saat ini mencapai total 9,726 kasus positif. Walaupun masih dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, Indonesia akan tetap melaksanakan pilkada atau pemilihan kepala daerah serentak yang diikuti oleh 270 daerah. 

Ada beberapa daerah di Banten yang juga mengikuti pilkada yaitu Cilegon, Tangerang Selatan, Serang, dan Pandeglang. Pilkada serentak ini rencananya akan berlangsung pada tanggal 9 Desember 2020.

KPU memang sudah mengeluarkan peraturan tentang pelaksanaan pilkada serentak dimasa pandemi ini, termasuk di dalamnya protokol kesehatan yang harus dipatuhi. Akan tetapi, baru awal masa pendaftaran pilkada 4 sampai 6 September, sudah banyak kepala daerah yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Bahkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sampai memberikan teguran keras bagi para kepala daerah tersebut.

Menteri Koordinasi Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa alasan masih dilaksanakannya pilkada ini demi mempertahankan dan menjalankan hak konstitusional yaitu hak memilih dan dipilih. Akan tetapi, dalam pilkada kali ini sepertinya hak dipilih lah yang paling diutamakan. Karena faktanya banyak masyarakat yang masih menyangsikan keputusan tentang tetap melaksanakan pilkada serentak ini.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia hanya ada 20 persen sampai 46 persen  responden yang bersedia hadir ke tempat pemungutan suara pada 9 Desember nanti. Artinya, masih banyak orang yang memilih untuk tidak ikut serta dalam pilkada serentak tahun ini. Mereka yang memilih tidak hadir khawatir akan terjadi penularan virus saat pemungutan suara berlangsung yang artinya bisa menjadikan pilkada ini sebagai klaster baru peningkatan Covid-19.

Survei lain yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Bakrie Jakarta, menunjukkan hasil 58 persen responden memilih pilkada serentak ini ditunda, penolakan ini muncul masih dengan alasan yang sama seperti survei sebelumnya yaitu khawatir pilkada akan memperluas penyebaran Covid-19.

Selain itu, rasanya kurang tepat apabila terjadi pergantian kepemimpinan di masa pandemi seperti ini. Dengan adanya pergantian pemimpin kemungkinan akan ada perubahan kebijakan dari segi apapun, karena setiap paslon pasti memiliki visi dan misinya masing-masing, walaupun sebenarnya perintah paling tinggi memang berada di tangan pemerintahan pusat, tetapi tetap saja pemerintahan daerah sebagai pelaksana memiliki peran yang penting terutama dalam masa pandemi seperti ini. 

Apabila terjadi pergantian pemimpin maka harus ada penyesuaian kembali bagi pemimpin yang baru −apabila yang terpilih bukan paslon pertahanan− dari kebijakan-kebijakan pemimpin yang sebelumnya.

Penundaan pemilu bukanlah hal yang mustahil. Di Bolivia contohnya, negara ini menunda pemilu dari yang rencananya dilakukan pada bulan Mei, tetapi setelah dua kali penundaan akhirnya baru terlaksana pada bulan Oktober. Bukan hanya Bolivia yang melakukan penundaan dalam pemilu, Selandia Baru juga melakukan hal yang sama. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline