Lihat ke Halaman Asli

fitri amalia

mahasiswa

Kasus Korupsi Kredit Fiktif

Diperbarui: 6 Oktober 2024   12:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Kasus Korupsi Kredit Fiktif Rp 27 M, Eks Kacab BSM Medan"

Kasus yang viral terkait dengan masalah hukum ekonomi syariah yang ada di tengah masyarakat. Saya mengambil kasus "Korupsi Kredit Fiktif Rp 27 M, Eks Kacab BSM Medan" kasus ini terjadi pada tahun 2022 silam. Kasus tersebut memiliki dampak terhadap berbagai pihak yang dirugikan. Pertama, Koperasi Pertamina UPMS-I Medan sebagai pihak pengaju kredit mengalami kerugian finansial yang besar akibat pembiayaan yang tidak sesuai dengan tujuan yang sah. Hal ini tidak hanya merugikan keuangan koperasi, tetapi juga mengganggu operasional dan reputasi mereka di mata anggota dan masyarakat.

Kedua, Berdasarkan perhitungan akuntan publik, kerugian keuangan negara akibat kredit fiktif ini mencapai sekitar Rp24,8 Miliar. kredit fiktif ini juga berdampak luas. Negara mengalami kehilangan potensi pendapatan yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan dan program kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kasus ini merusak citra lembaga keuangan syariah di Indonesia, yang seharusnya beroperasi berdasarkan prinsip keadilan, transparansi, dan integritas. Kejadian ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan syariah, yang berdampak pada partisipasi masyarakat dalam produk-produk keuangan syariah di masa depan.

Kaidah Hukum Yang Tekait dengan Kasus Tersebut

Kaidah hukum yang relevan dalam kasus ini meliputi prinsip-prinsip syariah yang mengatur transaksi keuangan, antara lain:

  • Prinsip Larangan Riba, Prinsip ini merupakan salah satu pilar utama dalam hukum syariah yang mengatur transaksi keuangan. Dalam konteks kredit fiktif, praktik ini dapat dilihat sebagai bentuk penipuan, di mana dana yang seharusnya digunakan untuk tujuan produktif justru digunakan untuk kepentingan pribadi atau tidak ada sama sekali. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam, di mana setiap pihak seharusnya mendapatkan manfaat yang adil dari transaksi yang dilakukan. Dengan demikian, kredit fiktif tidak hanya merugikan lembaga keuangan, tetapi juga merugikan masyarakat dan negara yang seharusnya mendapatkan manfaat dari penggunaan dana tersebut.
  • Prinsip Kejujuran dan Transparansi, Prinsip kejujuran dan transparansi setiap transaksi harus dilaksanakan dengan itikad baik, di mana semua informasi yang relevan harus disampaikan secara terbuka kepada semua pihak yang terlibat. Praktik kredit fiktif jelas melanggar prinsip ini, karena melibatkan penyembunyian fakta dan informasi yang seharusnya diketahui oleh pihak-pihak terkait. Dengan menyetujui kredit tanpa adanya kejelasan dan penggunaan yang sah, Waziruddin sebagai Kepala Cabang tidak hanya melanggar kepercayaan yang diberikan kepadanya, tetapi juga menodai integritas lembaga keuangan syariah. Dalam syariah, kejujuran dalam transaksi bukan hanya sebuah etika, tetapi juga merupakan kewajiban yang harus dipatuhi untuk menjaga kepercayaan dan keadilan dalam masyarakat.

Norma Hukum Yang Tekait dengan Kasus Tersebut

A. Norma Etika Bisnis

Norma etika bisnis dalam hukum syariah menekankan bahwa setiap aktivitas ekonomi harus dijalankan dengan integritas dan bertanggung jawab. Dalam kasus kredit fiktif, tindakan Waziruddin menciptakan kerugian bagi banyak pihak, termasuk lembaga keuangan yang kehilangan reputasi dan dana, serta anggota koperasi yang mungkin kehilangan simpanan atau manfaat lainnya. Praktik semacam ini jelas bertentangan dengan norma etika bisnis dalam syariah, yang menuntut kejujuran, keadilan, dan komitmen untuk tidak merugikan orang lain.

B. Norma Keadilan

Dalam syariah menegaskan bahwa setiap transaksi harus memberikan manfaat yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Dalam konteks hukum syariah, keadilan bukan hanya sekadar pembagian keuntungan, tetapi juga mencakup transparansi, penghindaran dari eksploitasi, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak. Kredit fiktif yang diajukan dalam kasus ini berpotensi merugikan pihak lain, baik itu lembaga keuangan, koperasi, maupun masyarakat yang lebih luas. Dengan mengabaikan prinsip keadilan ini, tindakan Waziruddin tidak hanya melanggar norma syariah, tetapi juga menciptakan ketidakadilan yang dapat memperburuk kepercayaan publik terhadap sistem keuangan syariah. Dalam Islam, keadilan adalah nilai yang sangat dijunjung tinggi, sehingga setiap praktik yang merugikan pihak lain harus dihindari untuk menjaga harmoni dan kesejahteraan masyarakat.

Aturan Hukum Yang Tekait dengan Kasus Tersebut

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline