Perempuan identik dengan kelemahan,
perempuan identik dengan kemiskinan,
perempuan identik dengan kebodohan,
dan perempuan identik dengan "kepatuhan".
Patuh berarti hormat. Tapi sistem masyarakat yang seperti apa yang harus dipatuhi?. Yang patriarki kah?. Bukan.
Zaman sudah berubah. Perempuan masa kini tidak hidup di era 90an atau lebih mundur ke belakang, dimana perempuan menjadi gender kedua setelah gender lainnya.
Boro-boro membicarakan perihal pendidikan, mampu bertahan dari segala tekanan dan tuntutan sebagai perempuan saja sudah menjadi hal yang luar biasa. Nyatanya keadaan semacam ini tidak hanya terjadi di timur, namun juga di barat kala itu.
"Perempuan tidak memiliki ruang sendiri... " Ujar Virginia Woolf dalam tulisannya (1928).
Tanpa terkecuali di Indonesia. Era penjajahan menjadi titik terkelam kehidupan perempuan kala itu. Menjadi "perempuan" dalam budaya sendiri dan menjadi "budak" di tangan kompeni. Sungguh sangat berat tugas seorang perempuan.
Meskipun pundaknya melepuh karena beratnya beban yang disangga, namun suara apapun tak dapat keluar dari mulut mereka. Memberontak pun tiada arti.
Hingga cahaya itu tiba, seorang perempuan dari kalangan bangsawan Jawa yang sempat mencicipi indahnya kehidupan sebagai perempuan berpendidikan.
Melalui pemikirannya yang masih hidup hingga saat ini, "emansipasi wanita" menjadi pegangan setiap perempuan untuk menyamakan derajatnya dengan laki-laki, meraih segala hak utuh yang sudah sepantasnya dimiliki oleh manusia.
Dialah Kartini, pahlawan nasional yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Dia memang tidak mengangkat bambu runcing untuk berperang, tapi nalar tajamnya lah yang menghujam patriarkisme dalam masyarakat dan kungkungan Belanda kala itu.