Lihat ke Halaman Asli

Muramnya Senja

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Matahari telah berada di peraduannya. Namun sinar merahnya masih nampak di pinggiran kota. Hiruk pikuk kota kecil yang seolah tak pernah padam membisingkan telinga gadis bernama Zahra.

Setiap senja tiba Zahra duduk termenung di bawah gubug tua di samping rumahnya. Menikmati suasana senja yang sangat menawan dan merasakan hatinya yang dingin. Dan angin yang berhembus memaksanya untuk memikirkan seorang pemuda tampan, gagah, bijaksana dan pandai. Pemuda yang menjadi pujaan hatinya selama 2 tahun ini. Dia telah menjadi singa perkasa yang menghiasi relung hatinya.

Pemuda itu bernama Haydar. Haydar telah menyelesaikan kuliahnya di UGM setahun yang lalu. Dan sekarang dia mengelola kontor pertanian dan kehutanan. Dia juga aktif memberikan penyuluhan kepada para petani di Yogyakarta. Tubuhnya tinggi besar, hidungnya mancung, tampan dan berpendidikan tinggi, adalah seorang lelaki yang tak mempunyai kekurangan.

Pada Sabtu sore Haydar selalu menemani Zahra duduk menikmati senja sambil berbincang. Mereka sering membicarakan masalah pertanian yang semakin merosot di desanya. “Bagaimana dengan kebun milik ayahmu, Zahra?” tanya Haydar kepada Zahra yang duduk di sampingnya. “Tak ada peningkatan. Hama yang menyerang semakin banyak. Dan ayah tidak mampu membeli obat pembasmi hama.” Jawab Zahra. “Beberapa hari yang akan datang, akan ada bantuan obat hama dan pupuk dari pemerintah Yogyakarta untuk petani di desa ini.” Kata Haydar. Lama sekali mereka berbincang. Dan cinta di hati Zahra untuk Haydar semakin besar. Seakan tak ada lagi yang dapat membangun bendungan di hati Zahra untuk membendung rasa cintanya terhadap Haydar.

*

Malam telah mengusir senja. Zahra sampai di rumah dan langsung memasuki kamarnya. Dia merasakan kehangatan dan kenyamanan sewaktu dirinya berada di sisi Haydar. Semalam suntuk dia tak dapat memejamkan matanya. Bola matanya tertuju ke segala arah. “Betapa sempurnanya dia, tak ada lelaki yang seperti itu” gumamnya dalam hati. Tanpa sadar dia tertidur dengan jendela kamar yang terbuka.

Sebelum ayam berkokok, Zahra telah terjaga. Dingin yang dia rasakan, karena udara pagi hari sudah menerobos masuk ke dalam kamarnya. Dengan ringan hati Zahra segera membantu ibunya di dapur. “Nak, tak biasanya kau bangun sepagi ini?” tanya ibu kepada Zahra. “Iya bu, Zahra ingin sekali membantu ayah hari ini ke ladang. Aku dengar hari ini ada bantuan obat hama dan pupuk dari pemerintah.” Jelas Zahra kepada ibunya. Mendengar ucapan anaknya ibu Zahra sangat bahagia. Ibu dan Zahra membuat sarapan dan bekal untuk Zahra dan ayahnya di ladang, dan adiknya bekal ke sekolah.

Setelah Zahra mengantar adiknya, Naufal, ke sekolah dia menyusul ayahnya ke ladang. Tak disangkanya ternyata Haydar telah bersama ayahnya di ladang. Haydar mengantarkan pupuk dan obat hama untuk ayahnya. Zahra pun mempercepat langkahnya. Bola mata Zahra tampak bening dan bahagia sekali. Mata yang tak dapat menutupi rasa cintanya kepada Haydar.

“Zahra, tak biasanya kamu kemari?” tanya Haydar heran. “Aku hanya ingin membantu ayah.” Kata Zahra. Ayah Zahra tak begitu mempedulikan anaknya dengan pemuda tampan itu. Dibiarkannya mereka berbincang di tengah ladang. Ayahnya melanjutkan pekerjaannya.

Selang beberapa saat Haydar meminta diri karena ada urusan di kantor. Dan Zahra mulai membantu ayahnya. “Ayah, sudah siang, mari makan siang dulu.” Tiba – tiba Zahra berkata kepada ayahnya. “Ya nak, ayo kita makan di gubug itu!” ajak ayah. Mereka berjalan mendekati gubug tua di tepi ladang. “Nak, sebetulnya bagaimana perasaanmu terhadap Haydar?” tanya ayah kepada Zahra. Zahra tak menyangka ayahnya akan menanyakan hal itu. Dan Zahra pun kebingungan jawaban apa yang akan diberikan kepada ayahnya. “Aku kagum terhadapnya yah.” Jawab Zahra singkat. “Apa hanya sebatas kagum? Atau lebih? Pancaran bola matamu tak dapat berbohong, nak. Jujurlah pada perasaanmu sendiri. Ayah mengerti apa yang sedang kamu rasakan.” Kata ayah kepada putri pertamanya. Zahra hanya bisa terdiam dan merenungi kata – kata ayahnya barusan.

Seusai makan siang dengan ayahnya di ladang, Zahra menjemput adiknya ke sekolah. Zahra mengendarai sepeda tua milik ibunya. Zahra setiap hari harus mengantar jemput adiknya karena sekolah adiknya cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline