Lihat ke Halaman Asli

Pujanggaku

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kata – katanya di siang hari itu mungkin adalah suatu tanda. Aku sudah mulai mengerti namun aku tak bisa mengatakan apa – apa. Sepertinya memang bukan hal yang penting untuk dibicarakan. Pada suatu siang dengan sinar matahari yang begitu menyengat aku dan Demmy ngobrol tentang banyak hal. Ketika aku bersandar di pilar dengan tanaman rambat aku merasakan perasaan rawan. Entah dari mana datangnya perasaan itu.

Seusai ngobrol aku dicekam kekhawatiran. Di hari – hariku tak lagi kudapati seorang Demmy. Aku hanya memendam perasaan khawatir itu sendiri sambil membolak – balikkan tubuhku di atas tempat tidur. Saat datang senja, aku dapat melihatnya dari kamarku. Karena jendela kamarku menghadap ke arah barat. Dan setiap datang senja, sosok lelaki tampan terlukis indah di atas cahaya keemasan. Perasaanku semakin rawan setiap melihat siluet wajah itu. Tetapi aku tak bisa mengungkapkan perasaan itu kepada siapapun.

Waktupun terus berjalan. Tanpa peduli sedikitpun denganku. Demmy belum menunjukkan perubahan apapun. Dia tetap menjadi sosok lelaki yang baik. Dia pernah bercerita tentang anjingnya. Dan dia sayang sekali dengan anjing – anjing itu. Dan dia juga pernah berkata anjing itu binatang yang setia pada majikannya, dan mereka bisa mengerti perasaan majikannya. Dia ingin hidup selamanya dengan anjing – anjingnya.

Suatu hari yang dipenuhi kepadatan aktivitas manusia, Demmy mengajakku ke sebuah taman. Dia meminta agar diantar ke sebuah persewaan kaset dan mengkopi beberapa buah kaset cd. Masih juga belum ada pertanda. Demmy masih juga nampak baik. Sempat juga kami bercanda. Sendau gurau yang kami ciptakan membuat iri orang – orang yang berada di sekeliling kami. Keping – keping kaset sudah mulai terkopi di dalam laptop. Terselip juga kata – kata Demmy yang mengungkapkan kehidupan dia. Aku menedengrakan dengan seksama. Memang begitu menyedihkan kisah dia. Entah benar atau tidak, aku hany bisa mendengarkan. Aku berusaha membendung air mata. Dan beberapa saat kami terdiam. Terdiam dengan suasana hati yang tak menentu. Seakan sedang diombang – ambingkan oleh angin yang hilir mudik di sela – sela pepohonan.

Aku mengajaknya pergi ke suatu tempat, tapi dia menolaknya. Dan terus aku memaksanya. Tiba – tiba Demmy diam. Sepertinya dia marah. Ya, memang dia marah. Biarlah, aku yang mengalah hari ini. Mengalah untuk lelaki yang paling dicintai.

Di penghujung pertemuan dia meminta uang kepadaku. Dan aku memberikannya. Aku tak sampai hati dengannya. Dia berkata hari Sabtu akan berjumpa lagi jika uang itu diberikan sekarang. Aku mempercayainya. Apakah aku terbawa oleh cerita kehidupannya yang tadi dia ceritakan sehingga aku takhluk di bawah kata – katanya? Aku sendiri tak mengerti.

Aku pulang dengan membawa perasaan kecewa namun juga senang. Bagaimana dua rasa yang berlawanan berada di dalam satu hatiku dan dalam waktu yang bersamaan? Akupun tak bisa merasakan. Apalagi mengungkapkannya. Sungguh sanubari yang membingungkan pemilikknya.

Detik demi detik, jam demi jam dan hari demi hari menjalani hari tak ada beda. Mengerjakan tugas dan membaca buku. Minggu ini memang minggu yang menyibukkan. Tugas yang menggunung dari dosen, tarjet bacaanpun menjadi kacau. Tugas seorang mahasiswa di pekan ini tak lain adalah memanjakan dosen dengan makalah dan presentasi yang sempurna.

*

Empat hari terlewati. Berhenti sejenak dari makalah dan berpikir positif. Mencari letak dimana embun pagi berada. Menaiki gunung dan duduk di sela pepohonan dan melihat pemandangan berbukit yang hijau. Mencari pipit kecil yang bertengger di dahan sebuah pohon. Terlintas di benakku untuk mengingatkan dengan janjinya itu. Tapi apa yang terjadi? Dia tak mau menepatinya. Aku terkejut, kecewa dan marah. Amarah yang tak terbedung memuncak ke ubun – ubun. Pikiran tak terfokuskan dan seminar di hari Sabtu tak dapat masuk di kepala. Semua orang di sekelilingku dapat merasakan amarah pada level tertinggi. Seperti kanker pada stadium empat yang siap melayangkan roh pada menusia. Aku juga tak tahu harus melampiaskan amarahku kepada siapa. Alasan dia memang sibuk dengan pekerjaan dia. Kalau aku memakasa, berari aku egois. Tapi apakah benar sibuk dengan pekerjaan dia ataukah dengan yang lain? Hatiku penuh sesak. Tulisan – tulisan yang berjajar di atas kertas membuatku muak. Mereka menjadi musuh dalam hitungan detik. Seluruh isi bumi tak ada guna. Tak peduli panas ataukah hujan, siang ataupun malam, amarahku tertuju kepada semua orang.

Itu bukan penghujung cerita. Aku meminta maaf kepadanya dan bersikap baik padanya. Sungguh berat memang. Merelakan suatu janji yang sangat diharapkan. Aku berharap masih bisa berteman dengannya.

Esoknya aku menyapanya dengan lembut, namun dia begitu kasar. Entah apa yang membuatnya kasar. Kesibukan? Terakhir dia bilang aku akan ganti nomer dan email. Lalu siapakah yang jahat dalam hal ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline