Perempuan yang memilih melanjutkan pendidikan lebih tinggi saat ini sudah menjadi hal yang lumrah, kita bisa melihatnya saat berada di sekolah tinggi/ institusi/universitas yang jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut bukan hanya dikarenakan populasi perempuan yang lebih banyak, akan tetapi kesetaraan perempuan dan laki-laki saat ini sudah sama. Perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama di dunia pendidikan maupun dunia kerja. Sudah menjadi hal yang layak jika perempuan berkuliah, sudah menjadi hal yang layak pula jika perempuan bekerja.
Akan tetapi mirisnya, tidak semua orang bisa memandang perempuan berpendidikan tinggi adalah hal yang lumrah. Mungkin hal demikian sering terjadi pada daerah yang tergolong jauh dari kota. Walaupun sudah banyak sarjana yang berasal dari daerah desa, yang mana mereka memutuskan melanjutkan pendidikan untuk mengembangkan pendidikan di daerah asalnya. Akan tetapi kenyataannya, saat mereka kembali, tidak semua orang mampu memandangnya sebagai hal baik.
Yang saat ini menjadi masalah bukan lagi ngapain sekolah tinggi-tinggi, jika akhirnya perempuan akan kembali ke dapur. Akan tetapi, sudah umur 22 keatas saat lulus sarjana di tagihnya "ayok cepet nikah, jangan lama-lama. Nanti keburu tua". Yaps,... perempuan yang sudah berumur 22 bahkan yang meniti karir hingga umur 25 dianggap umur yang sudah sangat tua jika belum menikah. Padahal ideal umur perempuan menikah antara 20-25 tahun. Tetapi telat sedikit saja sudah di paksa untuk segera mencari pasangan.
Bagi perempuan yang belum menikah, entah mereka memilih bekerja atau mengejar pendidikan pasti memiliki tujuan yang baik. Mungkin mereka berasal dari keluarga yang berekonomi kurang, sehingga mereka mencoba memperbaiki ekonomi keluarganya, sebelum akhirnya perempuan diminta menjadi istri laki-laki asing (diluar keluarga pastinya).
Saat ini banyak sekali sarjana yang memang tidak bekerja. Tapi standar ukuran seseorang bekerja itu banyak jenisnya, dan yang sering di jadikan standar adalah yang berseragam. Padahal banyak pebisnis yang memiliki gaji lebih tinggi, tapi tidak berseragam bukan?
Sqat ini banyak para sarjana yang lebih memilih untuk memulai bisnis daripada bekerja pada kantor yang terikat dengan atasan. Salah satu alasannya adalah ingin bekerja secara individu tanpa keterikatan atasan. Memulai bisnis bukan hal mudah, waktu yang dibutuhkan juga tidak sebentar. Baru meniti karir setelah sarjana, masih saja menjadi bahan pembicaraan tetangga "lulus kuliah kok di rumah aja, pakai seragam dong".
Perempuan yang saat ini baru lulus sarjana, di mana sebelumnya sudah terdapat mimpi untuk bekerja pada bidangnya, tiba-tiba menjadi khawatir. Kekhawatiran tersebut lantaran adanya ungkapan "ayok cepet nikah, nanti jadi prawan tua", atau "ayok cepet nikah, keburu tua. Kalau lulus kuliah emang mau jadi apa?".
Perempuan menjadi bahan yang sering jadi perbincangan tetangga, hal tersebut selain menjadi kekhawatiran juga menjadi alasan para sarjana perempuan enggan kembali ke desanya. "Malas mendengar ocehan tetangga".
Pesan untuk seluruh perempuan yang lulus sarjana, kalian berhak menentukan pilihan hidup kalian menggunakan hati. Pilihan untuk bekerja menjadi apa atau hanya membantu orang tua adalah pilihan yang boleh-boleh saja. Diskusikan dengan kedua orangtua yang sudah memberikan dukungan atas pendidikan yang pernah kalian raih.
Perempuan juga berhak memutuskan pilihan hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H