Lihat ke Halaman Asli

Menghidari Jebakan Pajak

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebutlah Pak Rinto, seorang pengusaha yang ternama. Mulanya ia bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan baju. Karena ketekunan, kejujuran dan kegigihannya, sekian tahun kemudian ia berhasil mengumpulan modal untuk membuka bisnis sendiri. Tidak gampang, dia mulai benar-benar dari nol. Dengan modal ala kadaranya dan kejujuran, ia akhirnya mampu melebarkan bisnis pakaiannya hingga memiliki cabang dimana-mana.

Belum terlalu lama ia merasakan kenikmatan dari hasil kerjanya, ia bangkrut! Kok bisa? Pabriknya kebakaran? Karyawan yang korupsi? Atau.. Eits, tunggu dulu. Setelah ditelisik, penyebab kebangkrutannya adalah dirinya sendiri. Ia terjebak oleh pajak yang selama bertahun-tahun tidak dibayar.

Pak Rinto tidak sendiri. Banyak pengusaha lain yang juga terjebak pajak dan mengakibatkan bisnis yang dibangun selama puluhan tahun jatuh dalam hitungan bulan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang bisa terjebak pajak. Pertama, ketidaktahuan bahwa usahanya dikenai pajak. Bisnis pakaian, kuliner, jasa dan semua jenis usaha yang sudah beromset besar, dipastikan harus membayar pajak kepada negara. Selama ini, pengusaha yang memulai bisnisnya dari nol merasa bahwa usahanya tidak berhubungan dengan negara, jadi tidak tahu bahwa ada kewajiban yang harus dibayarkan pada negara. Kedua, ketidakrelaan wajib pajak. Misalkan pengusaha soto. Usaha yang bermula dari gerobak di pinggir jalan, kemudian berkembang sampai ada cabang di berbagai daerah, merasa tidak rela kalau hasil kerja kerasnya dibebankan pajak yang dia sendiri tidak tahu banyak penggunaannya. Untuk pengusaha seperti ini, lebih baik membayar sedekah dan infak daripada membayar pajak.

Ini solusinya

Untuk menghindari pengusaha terjebak pajak, maka diperlukan beberapa langkah strategis. Pertama, pintar-pintar memilih konsultan pajak. Artinya pilihlah konsultan yang jujur, bijak dan tidak nakal. Beberapa konsultan pajak yang nakal biasanya membuat laporan pajak dengan angka seminimal mungkin. Ini berbahaya. Karena jika dihitung ulang dan terdapat ketidaksesuaian, maka pajak akan dibebankan berkali lipat di kemudian hari. Kedua, negara (pemerintah pusat dan daerah) wajib melakukan transparansi laporan pajak dari berbagai tingkat. Mulai dari pajak perorangan, usaha menengah hingga nasoinal. Laporan yang transparan ini sekaligus akan menanamkan kepercayaan wajib pajak bahwa dana yang mereka bayarkan memang benar-benar digunakan untuk kemaslahatan bersama.

Ketiga,perlunya edukasi dari para konsultan pajak kepada masyarakat luas. Dan inilah yang dilakukan oleh seorang konsultan pajak profesional, Zeti Arina. Perempuan berkacamata ini tak henti-henti memberi ilmunya bahkan sampai ke pelosok-pelosok daerah demi menciptakan masyarakat melek pajak. Karena dengan pengetahuan mengenai pajak, Ketua IKPI Surabaya ini (Ikatan Konsutan Pajak Indonesia) berharap tak akan ada lagi masyarakat atau pengusaha yang terjebak pajak. (www.fitrirestiana.web.id)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline