Lihat ke Halaman Asli

China's Ten Dash Line: Klaim Peta Baru "Caplok" Ruang Maritim dan Kedaulatan Indonesia

Diperbarui: 31 Mei 2024   14:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Klaim Sepuluh Garis Putus-putus China (China Ten Dash Line Claim) memicu reaksi tajam dari beberapa negara seperti India, Nepal, Vietnam, Malaysia, dan Taiwan. Dokumen baru tersebut dirilis satu minggu sebelum KTTG-20 di India, tepatnya tanggal 28 Agustus 2023. Publikasi peta resmi yang diterbitkan Kementerian Sumber Daya Alam Tiongkok berisikan klaim mereka atas sebagian besar wilayah laut tersebut dan menambahkan klaim baru di sepanjang perbatasan India.

Peta baru tersebut mengulangi klaim 9 Garis Putus-putus yang dibuat oleh Tiongkok dan ditolak oleh Hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada dasarnya klaim atas Laut China Selatan sudah dilakukan China pada tahun 1947 saat pemerintahan China dikuasai oleh Partai Kuomintang dengan menciptakan garis demarkasi yang disebut dengan Eleven Dash Line. Berdasarkan klaim ini China menguasai mayoritas Laut China Selatan termasuk Kepulauan Pratas, Macclesfield Bank serta Kepulauan Spratly dan Paracel yang diperoleh China dari Jepang usai Perang Dunia II. Kemudian, oleh Pemerintah Komunis menyederhanakan peta itu dengan mengubahnya menjadi Nine Dash Line".

Buntut Klaim Wilayah Tumpang Tindih

Prinsip Nine Dash Line merupakan Sembilan titik imajiner yang menunjukkan klaim China atas hampir seluruh Laut Cina Selatan. Berdasarkan prinsip tersebut membuat Cina menyatakan status pulau-pulau yang berada di kawasan Laut Cina Selatan masuk dalam wilayah teritorialnya. Hal ini membuat negara-negara di sekitar kawasan tersebut seperti memberikan reaksi keras karena dianggap telah merugikan kepentingan mereka yang juga mengklaim sebagian wilayah Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mereka.

Dinamika perebutan wilayah di kawasan Laut China Selatan (LCS) akibat klaim yang saling tumpang tindih masih menjadi isu keamanan utama di kawasan ASEAN. Secara geografis, terdapat sepuluh negara yang berbatasan dengan LCS yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Sementara itu, kawasan yang menjadi titik panas dalam sengketa ini adalah kawasan laut dan daratan di gugusan kepulauan Paracel dan Spratly.

Sengketa LCS pertama kali terjadi pada dasawarsa 1970-an dan masih belum menemui titik akhir hingga saat ini. Sejumlah negara yang terlibat dalam sengketa LCS, sebagai claimant states, yaitu Tiongkok, Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Taiwan, yang mengklaim wilayah LCS sebagai bagian dari kedaulatan negaranya masing-masing, sedangkan Tiongkok menggunakan dasar historis, sedangkan claimant states lainnya menggunakan dasar geografis yang mengacu pada Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS).

Klaim Tiongkok dilandasi pada dokumen yang dikeluarkan oleh rejim Goumindang (Koumintang) pimpinan Chiang Kai-shek pada saat itu menguasai Tiongkok. Di dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly dan Macclesfield River Banks merupakan bagian dari Republik Rakyat China. Klaim ini lebih ditekankan kepada prinsip historical rights.

LCS menjadi kawasan yang diperebutkan karena memiliki nilai strategis sebagai Sea Lines of Trade (SLOT) dan Sea Lines of Communication (SLOC) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, sehingga membuat jalur LCS sebagai jalur tersibuk di dunia. Setengah lalu lintas perdagangan dunia tercatat melalui kawasan tersebut. Selain itu, LCS juga memiliki nilai ekonomis dengan adanya sumber daya alam berupa cadangan minyak dan gas alam. Selain itu laut ini juga memiliki ekosistem laut yang luas dengan ekosistem keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dan menghasilkan ikan konsumsi terbesar di dunia untuk keperluan ekspor dan rumah tangga.

Awal Mula Indonesia "Terseret" Konflik China

Nilai strategis tersebut membuat setiap claimant states berupaya untuk mempertahankan kepentingan nasional mereka masing-masing dengan melakukan berbagai manuver, mulai dari peluncuran peta nine dash line oleh Tiongkok, pengajuan gugatan oleh Filipina terhadap Tiongkok ke Pengadilan Arbitrase Permanen PBB, hingga tindakan asertif seperti pembangunan pulau-pulau buatan dan kehadiran militer Tiongkok di LCS.

Dalam perkembangannya, konflik LCS juga mulai "menyeret" Indonesia sejak tahun 2010, setelah Tiongkok mengklaim wilayah utara Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Sementara itu, Tiongkok beralasan pihaknya berhak atas perairan di Kepulauan Natuna atas dasar argumen traditional fishing zone. Klaim sepihak Tiongkok atas perairan Natuna masih terus berlanjut hingga membawa Indonesia dan Tiongkok pada situasi "bersitegang" pada tahun 2013 dan mencapai puncaknya tahun 2016.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline