Covid 19 pertama kali muncul di Indonesia pada Senin 2 Maret 2020. Saat itu, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa terdapat dua orang Indonesia positif Covid 19 yakni ibu berusia 64 tahun dan perempuan berusia 31 tahun (2/9/2020). Sejak Covid 19 ditemukan di Indonesia, pemerintah mengupayakan beberapa hal untuk melawan Covid 19. Mulai dari menyiagakan rumah sakit, lockdown, memasang alat pendekteksi tubuh di bandara dan pelabuhan, menerapkan 3M hingga PSBB. Namun, walau sudah pemerintah lakukan kasus Covid 19 terus mengalami peningkatan dan terus mencetak rekor terbaru. Pemerintah pun mengambil Tindakan dengan melaksanakan PPKM Darurat dan mewajibkan masyarakat Indonesia untuk vaksinisasi. Pemerintah percaya Covid 19 dapat menurun bila target vaksin tercapai.
Namun sayangnya, wajib vaksin menimbulkan pro kontra dan juga kontroversi dalam masyarakat. Dilansir Detik.Health.com, 15 negara di Eropa memberhentikan sementara penggunaan vaksin Astrazeneca lantaran timbul sejumlah laporan kasus pembekuan darah pada penerima vaksin. Walaupun begitu, Badan Pengawas Obat Eropa (EMA) menjelaskan bahwa pembekuan darah hanyalah efek samping langka dari vaksin Astrazeneca. Otoritas Kesehatan Denmark tetap menghentikan penggunaan vaksin Astraeneca secara permanen pada Rabu (14/4/2021).
Selain penerima vaksin Astrazeneca, penerima vaksin Johnson & Johnson juga dilaporkan mengalami efek samping pembekuan darah. Sehingga, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) bersama Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS (CDC) menyetop sementara penggunaan vaksin Johnson & Johnson dikarenakan banyak peringatan, Rabu (14/4/2021). Selain efek samping, ditemukan bahwa proses pembuatan vaksin Astrazeneca yang diimpor dari Inggris mengandung babi. Hal ini dilansir melalui Health.Grid.id bahwa proses pembuatan Vaksin Astrazeneca memanfaatkan enzim babi atau yang dikenal tripsin (23/6/2021). Sontak, hal ini pun membuat masyarakat enggan melakukan vaksin.
Pada awal tahun 2021, ramai dibicarakan bahwa lansia di Jepang (Merdeka,3/3/2021) dan di Norwegia meninggal setelah menerima vaksin Pfizer (Detik Health, 15/4/2021). Komnas KIPI mengungkapkan bahwa hal serupa juga terjadi di Indonesia, korban meninggal usai terima vaksin Sinovac dan Astrazeneca. Walau demikian, pemerintah membantah bahwa mereka yang meninggal setelah menerima vaksinisasi diyakini tidak berhubungan pada vaksin Covid 19. Tetapi, tetap saja hal ini membuat masyarakat khawatir terhadap penggunaan vaksin sehingga masyarakat tidak menaruh kepercayaan pada program pelaksanaan vaksinsasi yang dilakukan pemerintah.
Melalui kanal YouTube Siti Fadilah Supari Channel (18/6/2021), Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari bersama Profesor Nidom, Guru Besar Biologi Molekuler dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (Unair) angkat bicara mengenai pandemi virus corona dan vaksinisasi. Siti Fadilah Supari mengatakan bahwa harus ada diskusi antara masyarakat dengan pemerintah agar masyarakat paham dengan kondisi pandemi saat ini Berdasarkan riset, Profesor Nidom menjelaskan bahwa seiring berjalannya waktu, virus Corona bermutasi dan bervariasi. Dilansir Naviri Magazine, Direktur Eksekutif dari Bioinformatics Institute di Agency for Science, Technology and Research, Dr. Sebastian mengatakan bahwa virus Corona sudah bermutasi mencapai 6.600 kali.
"menurut saya , penggunaan vaksin kurang tepat karena sifat virus Corona mudah sekali bermutasi. Kemudian tidak pernah ada cerita bahwa pandemi bisa berakhir melalui pendekatan vaksinisasi". Ujar Profesor Nidom melalui Channel YouTube Siti Fadilah Supari (18/6/2021. Menurutnya, , kita jangan hanya meneliti gagasan besarnya tapi juga meneliti gagasan kecilnya sehingga muncul pengembangan baru. Melalui riset yang ia teliti, Profesor Nidom mengatakan bahwa cara mengakhiri pandemi ini bukan dengan membunuh virus itu, melainkan dengan menjinakkan virus itu. "Menurut Saya, pendapat bahwa virus harus dibunuh, itu salah. Virus itu hanya harus diseimbangkan agar tidak menimbulkan problematika pada kehidupan manusia" ujar Profesor Nidom.
Ketika vaksin nusantara keluar, Profesor Nidom sangat terkejut. "Begitu saya mendengar dan mencari tahu tentang vaksin nusantara, hal itu menggertakan saya. saya melihat bahwa sistem vaksin nusantara berbeda dengan vaksin konvensional. Vaksin Nusantara tidak menantang virus, tapi bersahabat dengan virus agar virus bisa melandai. Artinya virus ini bukan ditantang untuk dibunuh oleh antibody tapi dikendalikan oleh sistem imunitas. " kata Profesor Nidom. Oleh karena itu, Profesor Nidom saya penuh vaksin Nusantara. Alasan kedua Profesor Nidom mendukung vaksin nusantara adalah dari aspek virusnya. "Saya melihat dari aspek virusnya. Penyiapan vaksin konvensional tidak dapat mengikuti kecepatan mutasi virus corona. Jadi bila virus berubah, vaksin konvensional tidak dapat mengejarnya. Sedangkan vaksin Nusantara tidak membutuhkan proses pembuatan yang panjang, sehingga dengan 8 hari sudah menjadi vaksin".
Setelah keluar, vaksin Nusantara mendapat banyak dukungan. Baik dari penjabat, artis, hingga masyarakat. Dengan demikian, seharusnya pemerintah bukan hanya memperhatikan vaksin konvensional tetapi juga vaksin Nusantara. Selain itu, Pemerintah dan peneliti juga harus meneliti sedalam-dalamnya virus dan vaksin ini sehingga bukan hanya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, tapi juga melindungi masyarakat dari virus Corona.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H