Lihat ke Halaman Asli

Safrida Fitri Nasution

Seberapa banyak engkau menulis, pada akhirnya akan membaca

Jejak di Lantai 13

Diperbarui: 10 Januari 2025   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://images.app.goo.gl/USV6c68XBGyv6n297

Di sebuah gedung tua yang menjulang di tengah kota, terdapat sebuah lantai yang dikenal oleh para pekerja sebagai tempat terlarang. Lantai 13. Tidak ada tombol di lift yang mengarah ke lantai itu, dan sebagian besar penghuni gedung bahkan tidak tahu lantai itu ada. Namun, cerita-cerita misterius tentang suara langkah kaki dan bisikan-bisikan aneh yang terdengar dari atas membuat lantai tersebut menjadi legenda urban yang menakutkan.

Malam itu, Reza, seorang petugas keamanan baru, ditugaskan untuk berjaga malam. Gedung itu sepi, hanya diisi suara angin yang berdesir di antara celah-celah jendela. Ia menghabiskan malamnya dengan patroli biasa hingga pukul dua pagi, saat suara langkah kaki berat terdengar dari atas. Reza mengerutkan dahi. "Gedung ini seharusnya kosong" gumamnya dalam hati.

Ia memutuskan untuk naik ke lantai teratas, lantai 12. Namun, begitu keluar dari lift, langkah-langkah itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, seperti berasal dari langit-langit. Jantung Reza berdetak kencang. "Lantai 13," gumamnya pelan.

Tanpa pikir panjang, ia mencari tangga darurat. Anehnya, tangga yang biasanya hanya berakhir di lantai 12 malam itu memiliki satu penerus lagi, pintu besi tua tanpa nomor. Pintu itu terlihat usang dan berkarat, seperti tidak pernah digunakan selama puluhan tahun. Dengan tangan gemetar, Reza mendorong pintu itu.

Udara dingin langsung menyerbu, menusuk hingga ke tulang. Ruangan di balik pintu itu gelap gulita, hanya diterangi oleh kilatan cahaya lampu kota yang masuk dari jendela yang retak. Lantai itu kosong, tetapi ada jejak-jejak kaki di lantai yang berdebu, memanjang ke tengah ruangan. Jejak itu kecil, seperti milik seorang anak.

"Halo?" panggil Reza dengan suara parau. Tidak ada jawaban. Ia mengikuti jejak itu hingga tiba di sebuah ruangan kecil di sudut. Pintu ruangan itu terbuka sedikit, mengeluarkan suara berderit. Saat Reza mendorongnya, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Di tengah ruangan itu terdapat sebuah meja kayu tua dengan lilin-lilin yang hampir habis terbakar. Di dinding tergantung cermin besar yang buram, tetapi di dalam cermin itu, ia melihat sesuatu yang tidak ada di ruangan tersebut, seorang anak kecil berambut panjang berdiri dengan punggung menghadapnya. Anak itu memegang boneka rusak dan perlahan menoleh ke arah Reza.

Namun, wajah anak itu… kosong. Tidak ada mata, tidak ada mulut. Hanya permukaan halus seperti boneka porselen yang rusak. Anak itu bergerak maju di dalam cermin, mendekati Reza, meskipun tubuhnya tetap diam di dunia nyata.

Reza melangkah mundur, tetapi kakinya tersandung sesuatu. Ia jatuh, dan saat itulah cermin di depannya pecah dengan suara memekakkan telinga. Saat pecahan kaca beterbangan, suara tawa anak kecil menggema di seluruh ruangan.

Ketika Reza tersadar, ia sudah berada di lantai dasar gedung, terbaring di depan meja satpam. Rekannya, Pak Darto, menepuk-nepuk wajahnya dengan panik. "Reza! Kamu kenapa?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline