Lihat ke Halaman Asli

Fitratul Muthahharah

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Kata "Sederhana" yang Menyimpan Beribu Makna

Diperbarui: 24 Juni 2021   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

            Setiap perjalanan hidup pasti punya makna tersendiri entah perjalan hidup yang menyenangkan maupun perjalanan hidup yang menyakitkan sekalipun, filsuf Socrates pernah mengatakan "Hidup yang tak direfleksikan, adalah hidup yang tak layak untuk dijalani". Sang filsuf mengingatkan untuk tidak mengabaikan setiap pengalaman yang pernah dialami dalam kehidupan, seringkali kita meremeh pengalaman yang tampak begitu sederhana tanpa sadar ada begitu banyak pelajaran yang terkandung di dalamnya. 

Pengalaman yang mengubah perspektif dalam hidup ketika menginjak usia 13 tahun saat awal mula menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP),  pada saat itu saya memutuskan untuk masuk pondok pesantren meninggal semua kemanjaan, kesenangan, dan semua kecukupan dari orang tua. Pada saat itu mulai merasakan bagaimana jauh dari orang tua yang melatih kemandirian, dan  mulai belajar untuk tidak bergantung pada orang lain dan  belajar bagaimana berbagi satu sama lain secara sukarela terhadap orang yang bahkan tanpa adanya ikatan darah.

Dalam hidup ini saya berprinsip untuk sebisa mungkin keluar dari zona nyaman karena ada beberapa hal yang terasa nyaman tapi belum tentu itu baik bagi diri saya sendiri maupun bagi orang lain. Oleh karena itu, berusaha mencoba untuk melakukan hal- hal baru yang bahkan tidak pernah  terbesit dalam benak untuk bisa menggapainya. Karena saya yakin apapun yang saya lakukan  pasti akan ada konsekuensinya.

Berpindah dari suatu tempat ke tempat lain itu merupakan hal tidak mudah, butuh waktu yang relatif lama untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan juga memerlukan adaptasi suhu tubuh yang signifikan karena saya terkadang mengalami demam ketika menetap di suatu daerah baru. Sama halnya ketika kembali ke pondok setelah liburan, satu hari atau dua hari setelahnya pasti akan mengalami demam untuk menyesuaikan suhu tubuh terhadap lingkungan. Berbicara tentang adaptasi erat kaitannya dengan lingkungan baru, seperti halnya pada saat menjadi santriwati baru di pondok pesantren banyak hal-hal yang terdengar asing dalam kehidupan sebelumnya dan bahkan bertemu dengan orang-orang baru yang memiliki kepribadian yang berbeda-beda.

Pada suatu hari di pondok ada pengalaman yang cukup membuat terheran-heran, setelah melakukan kegiatan sore saya bergegas mandi sekitar pukul 17.40 dan bersiap-siap untuk sholat magrib dan kajian singkat, setelah sholat isya nama-nama pelanggar disebutkan dan nama yang disebutkan salah satunya ada nama saya dalam list pelanggaran tersebut, pada saat itu saya tidak tahu pelanggaran apa yang telah dilakukan secara saya juga merupakan santri baru yang belum sepenuhnya mengetahui peraturan secara detail. Setelah menanyakan ternyata pelanggaran saya adalah mandi sore melewati batas yang telah ditentukan, dan akhirnya saya menjalani hukuman untuk menebus pelanggaran tersebut. Ketika selesai mengerjakan hukuman dan kembali ke kamar saya merenungkan dan bertanya pada diri sendiri apa salahnya saya mandi jam segitu?, apa ada yang dirugikan jika saya melakukan hal tersebut?, saya terus-menerus mencari pembenaran atas tindakan saya yang dinilai salah dalam lingkungan baru ini yang sebelumnya itu merupakan sesuatu hal yang sangat wajar untuk dilakukan.

Dengan pengalaman sederhana di atas saya menyadari bahwa saya terlalu sering memikirkan diri sendiri sehingga lupa dan abai terhadap kepentingan orang lain, sering melakukan hal yang dianggap benar dan menguntungkan diri sendiri sehingga lupa bahwa saya adalah makhluk sosial. Setelah belajar filsafat saya sadar diri bahwa saya pernah berada di titik dimana saya mengklaim diri sendiri bahwa apa yang saya pikirkan adalah sebuah kebenaran tanpa mementingkan orang lain, dan dengan filfasatlah saya diingatkan untuk selalu rendah hati, saya tidak boleh mengklaim pemikiran-pemikiran saya sebagai kebenaran absolut yang dapat diterima semua orang, apalagi memaksa orang lain untuk percaya atau mengakui kebenaran atas pemikiran saya.

Dari pengalaman yang dulunya saya sepelekan dan abaikan begitu saja ternyata setelah belajar filsafat, saya menjadi mengerti bahwa sesederhana apapun pengalaman  pasti punya makna yang besar bagi kehidupan kedepannya untuk menjadikan lebih baik dari sebelumnya. Dan dengan filsafat, saya diajarkan untuk bisa berpikir secara kritis dan radikal guna untuk mencapai kebenaran yang absolut karena pada zaman sekarang begitu banyak informasi-informasi hoax yang banyak beredar di masyarakat jadi untuk bisa memilah mana informasi yang benar-benar bisa dipercaya dibutuhkan kemampuan untuk bisa berpikir secara kritis. Karena sejatinya manusia-pun adalah makhluk yang tidak akan pernah puas, pasti akan ada beribu pertanyaan yang selalu bersarang di kepalanya tentang sesuatu hal yang dilihat, didengar atau bahkan dialaminya secara langsung. Seperti halnya kasus saya diatas yang selalu mencari pembenaran atas tindakan saya yang salah dimata orang lain, ternyata setelah saya cari tahu sebab-akibatnya hal itu bukanlah sesuatu yang sepenuhnya salah tapi lebih kepada menghambat perbuatan yang bersifat wajib sehingga hal tersebut dilarang demi kepentingan bersama. Jika saya tidak berpikir secara kritis mungkin saja saya masih tetap dikelabui oleh pemikiran saya sendiri yang membenarkan segala hal tanpa adanya pertimbangan terlebih dahulu. 

Manusia merupakan makhluk yang spesial ketimbang makhluk lainnya karena dianugerahi akal, akal yang digunakan untuk mengolah semua informasi yang ada tapi berfikir secara filosofis akan mudah membuat seseorang lebih mendalami informasi karena karakteristik dari filsafat mencakup menyeluruh, artinya pemikiran yang luas, pemikiran yang meliputi beberapa sudut pandang; Mendasar, artinya pemikiran mendalam sampai kepada hasil yang fundamental (keluar dari gejala); spekulatif, artinya hasil pemikiran yang diperoleh dijadikan dasar bagi pemikiran-pemikiran selanjutnya dan hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai medan garapan (obyek) yang baru pula. Karakteristik tersebut dijadikan dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang lain sehingga dalam mengelola informasi dapat dikaitkan dengan bidang-bidang ilmu lainnya tidak monoton pada satu ilmu saja. Sama halnya dengan pengalaman sederhana saya diatas yang harus dikaitkan sebab-akibatnya juga pada orang lain bukan hanya untuk diri saya sendiri yang diuntungkan, tapi butuh pertimbangan sesuai dengan keadaan lingkungan sekitar sehingga dapat menjadikan lingkungan yang lebih tentram.

Dulunya saya menganggap belajar filsafat itu membuat stress dan hanya membuang waktu untuk mempertanyakan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu untuk dipertanyakan, serta banyak juga orang yang menganggap bahwasanya orang yang berfilsafat disebut orang gila, banyak ngawurnya, bicaranya tidak dimengerti, dan masih banyak lagi hinaan kepada orang yang berfilsafat. Setelah saya belajar filsafat saya menyadari bahwasanya mempelajari ilmu filsafat itu sangatlah penting, bahkan tidak akan ada ilmu-ilmu seperti ilmu matematika, ilmu geografi dan ilmu-ilmu lainnya tanpa ada filsafat, karena dengan berfilsafat lahirlah ilmu-ilmu baru, dan dengan filsafat-lah muncul informasi-informasi baru yang bersifat lebih absolut dan signifikan karena kekritisan pikiran manusia yang mempertanyakan semua hal dan manusia yang rasa kepuasan yang tak ada batasnya sehingga dapat menguak semua informasi yang dulunya tertimbun rapat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline