Lihat ke Halaman Asli

fitrah maharani juardi

Mahasiswa S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin

The Double Burden Of Malnutrition: Apa Kendala dalam Memperbaiki Masalah Status Gizi di Indonesia?

Diperbarui: 25 Mei 2022   14:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Indonesia merupakan negara yang mengalami DBM dalam tingkat yang parah. Hal ini jarang diketahui oleh masyarakat di Indonesia. Istilah double burden of malnutrition (DBM) atau beban ganda malnutrisi merupakan manifesta simultasi dari kekurangangan gizi dan kelebihan berat badan/obesitas yang mempengaruhi sebagian besar Negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs). Dampaknya pun tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga memberikan efek terhadapa perekonomian dengan kerugian setara 2-3% PDB Indonesia.

Menurut World Bank (2015), naiknya pengeluaran bagi pemerintah diakibatkan oleh banyaknya kasus penyakit tidak menular di Indonesia, khususnya untuk jaminan kesehatan nasional. Selain itu, double burden of malnutrition jelas menjadi masalah bagi Indonesia dan memerlukan perhatian lebih. Double burden of malnutrition akan menghambat potensi dari transisi demografis Indonesia, dimana rasio penduduk usia tidak bekerja terhadap penduduk usia kerja akan menurun. Untuk mencegah hal tersebut pemerintah membuat program seperti 1.000 HPK atau 1.000 Hari Pertama Kelahiran, Gerakan Masyarakat Sehat atau biasa disingkat menjadi GERMAS, dan masih banyak lagi. Akan tetapi program tersebut belum cukup efektif dalam menangani kasus double burden of malnutrition di Indonesia. Sebenarnya apa kendala dalam memperbaiki status gizi di Indonesia? 

Berdasarkan pada SUN Framework, sebagian besar dari intervensi di bidang gizi telah dilaksanakan di Indonesia, dengan 13 intervensi dibidang gizi yang terbukti cost effective, tetapi tidak juga membuahkan hasil yang efektif. Hal ini terjadi akibat anggapan bahwa masalah gizi merupakan tanggung jawab sektor kesehatan. Padahal hanya 30% masalah gizi yang dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan dan 70% lainnya harus diselesaikan oleh sektor lain.

Menurut sebuah penelitian mengenai program Pemberian Makanan Tambahan (MT) di Puskesmas Bontomarannu, kabupaten Gowa, tidak terlaksana secara efektif, karena distribusi yang dihambat oleh medan perjalanan dan kurangnya kesadaran akan pentingnya konsumsi makanan sehat dan bergizi oleh penerima sehingga berat badan berangsur turun dari minggu ke minggu meskipun telah mengonsumsi MT. hal ini menunjukkan bahwa kurang sadarnya sasaran program mengenai pentingnya status gizi yang memberikan dampak besar terhadap gagalnya program untuk meningkatkan status gizi. 

Menurut Achadi (2013), penanggulangan masalah gizi memiliki sifat yang sangat multi faktorial dan multi sektoral, sehingga dibutuhkan satu kerangka kerja yang bersifat “Three Ones” atau Tiga-Satu yang disepakati, yaitu satu kerangka kerja sebagai dasar untuk koordinasi semua mitra, satu otoritas koordinasi tingkat nasional, satu sistem monitoring dan evaluasi tingkat nasional.

Keberhasilan penanggulangan masalah status gizi sangat ditentukan oleh target masalahnya. Misalnya, jika ingin suatu program perbaikan status gizi berhasil, maka harus dibarengi oleh kesadaran akan pentingnya status gizi pada target program. Selain itu keterlibatan berbagai sektor juga diperlukan untuk bersama-sama menanggulangi masalah status gizi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline