Perkembangan industri pariwisata telah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Berdasarkan data World Travel & Tourism Council (WTTC) menempatkan industri pariwisata Indonesia berada di urutan pertama se-Asia Tenggara. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari optimalisasi peran desa wisata yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo dipenghujung tahun 2016 lalu.
Realiasasi konsep desa wisata menjadi fokus program kerja Kementerian Desa, Pembangunan, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Urgensi pengembangan desa wisata ini bisa dilihat dari keseriusan pemerintah yang secara khusus mengalokasikan 10% dana desa untuk pengembangan pariwisata. Selain itu, tanpa keraguan, eksekusi program ini turut melibatkan tiga kementerian sekaligus. Hasilnya banyak desa wisata baru seperti Ranu Pane di Lumajang, Sanankerto di Malang, Cikadu di Pandeglang, dsb.
Keberhasilan pemerintah dalam mengembangkan potensi desa wisata memang patut diapresiasi. Sayangnya, dari banyaknya desa wisata yang ada, tidak banyak destinasi yang menekankan pada penyediaan hak penyandang disabilitas. Minimnya infrastruktur dan sumber daya manusia kerap kali menjadi hambatan. Namun, apakah desa wisata ramah disabilitas akan tetap menjadi wacana?
Antara Disabilitas dan Pariwisata
Angka disabilitas di Indonesia hampir menyamai jumlah penduduk di Singapura. Berdasarkan survey Badan Pusat Statitik pada tahun 2016, menunjukkan estimasi penyandang disabilitas sebesar 12,5 persen.
Dengan banyaknya jumlah penyandang disabilitas tersebut, pemerintah telah menjamin hak disabilitas melalui UU No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Legalitas tersebut menyatakan bahwa penyandang disabilitas mempunyai hak mendapatkan kesamaan kesempatan dan kemudahan untuk berwisata layaknya wisatawan pada umumnya. Apakah kenyataanya demikian?
Faktanya, masih banyak penyandang tunarungu maupun tunawicara yang terkendala komunikasi saat berwisata. Padahal, dengan massifnya perkembangan teknologi hari ini dapat melahirkan terobosan baru. Solusi permasalahan tersebut dapat diatasi melalui pembuatan media bantu komunikasi yang memungkinkan penyandang disabilitas untuk berwisata secara mandiri.
Desa Ngabab: Role model pengembangan Wisata Edukasi Inklusif
Desa Ngabab merupakan salah satu daerah paling potensial dalam segi pertanian dan perternakan susu di Kabupaten Malang. Ditinjau dari segi ekonomis, daerah ini menjadi salah satu penghasil sayur terbesar dengan kualitas begitu tinggi dan terjamin. Selain itu, rata-rata produksi susu yang dihasilkan di Desa Ngabab adalah sebanyak 9000 liter perhari.
Potensi wisata yang ditawarkan oleh desa ini lebih menekankan pada edukasi seperti bercocok tanam, memerah susu, dan mengolahnya menjadi produk unggulan. Konsep wisata edukasi inilah yang menjadi nilai jual tersendiri dari desa Ngabab.
Sayangnya, sampai saat ini masih belum ditemukan rancangan mendetail terkait master plan pengembangan desa Wisata Ngabab.