Simon Anholt dalam buku berjudul "The Anholt -- GMI City Brands Index. How the world sees the world's cities" mendefinisikan city branding sebagai upaya pemerintah untuk menciptakan identitas tempat, wilayah, kemudian mempromosikannya kepada publik, baik publik internal maupun publik eksternal.
Sederhananya, city branding itu seperti merek perusahaan. Dalam hal ini, melalui penggunaan merek, kota dan perusahaan punya keinginan yang sama untuk menarik perhatian investor dan calon pelanggan/pemakai jasa.
Di Indonesia, istilah city branding sebenarnya telah lama mewabah. Ada Jateng Gayeng, lalu Jogja Never Ending Asia yang kemudian diubah menjadi Jogja Istimewa, serta DKI Jakarta dengan Enjoy Jakarta-nya.
Tak perlu jauh-jauh, kabupaten dan kota tetangga kami pun berlomba mempromosikan city branding mereka. Ada Solo yang lebih dulu eksis dengan "Solo The Spirit of Java"-nya, Lalu Better Banyumas, Pekalongan world's city of Batik, Pemalang Pusere Jawa, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Untuk menciptakan city branding itu, ada kota yang rela merogoh kocek hingga miliaran rupiah guna membayar jasa konsultan ternama. Ada pula yang menemukan city branding-nya dari hasil menggelar sayembara.
Gagasan untuk menciptakan city branding atau merek untuk masing-masing kota, layak untuk diapresiasi lantaran jika berhasil, ide ini akan memberikan keuntungan yang tak sedikit bagi kota bersangkutan. Pertama, wilayah tersebut menjadi lebih popular dan dipersepsikan baik oleh khalayak.
Kedua, kotanya bisa dipersepsikan sebagai wilayah yang tepat untuk tujuan wisata, tempat tinggal investasi, dan penyelenggaraan suatu event/kegiatan.
Ketiga, daerah tersebut bisa menjadi incaran pengunjung dengan tujuan-tujuan khusus, sesuai dengan brand/merek yang mereka promosikan. Sebagai contoh, dengan populernya Pekalongan World's City of Batik, pengoleksi batik tentu akan menempatkan kota tersebut dalam daftar kunjungan ketimbang kota-kota lainnya.
Di Indonesia, kini persaingan terjadi bukan hanya antarpebisnis, tapi juga antardaerah. Ini fenomena yang menggembirakan. Masing-masing daerah bersaing ingin lebih populer, lebih disenangi investor, lebih dapat menyediakan kesempatan kerja yang berkualitas, dan lebih banyak transaksi perdagangannya. Ini akan membuat pundi-pundi rupiah yang datang dan beredar di daerah lebih banyak. Dalam konteks inilah city branding menjadi suatu kebutuhan.
Di Eropa atau Amerika Serikat, orang-orang di sana lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia. Bahkan, yang lebih nggemesin, mereka ternyata lebih tahu tentang Malaysia tetapi tidak kenal dengan Indonesia --negara yang jauh lebih besar ketimbang negeri jiran tersebut.
Namun apa daya, Malaysia lebih dahulu paham akan arti penting pencitraan atau branding. Malaysia dalam promosi pariwisatanya selalu mengklaim Malaysia Truly Asia. Kalau ingin jalan ke negara-negara Asia, tak usah repot-repot buang-buang waktu dan biaya, karena hanya dengan ke Malaysia saja, semua rasa ingin tahu tentang Asia dapat terjawab dan terpuaskan.