Akhir -- akhir ini fenomena kekerasan seksual menjadi topik permasalahan yang ramai diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia, bahkan sempat beberapa kali menduduki trending topic di media sosial yang menuai banyak komentar dari netizen. Kekerasan seksual diartikan sebagai suatu kejahatan fisik maupun non fisik yang mengarah pada tindakan seksualitas yang dilakukan secara paksa tanpa persetujuan korban. Cukup banyak ditemukan kasus kekerasan seksual dengan motif tindakan yang beragam. Hal ini tentu menyita perhatian masyarakat karena banyaknya korban yang telah berani membuka suara mengenai apa yang telah dialaminya. Fenomena tersebut tentu menjadi masalah krusial yang perlu segera diatasi agar tidak menimbulkan korban -- korban selanjutnya.
Maraknya tindak kekerasan seksual menjadi momok yang menakutkan bagi sejumlah masyarakat. Kondisi ruang publik hingga lingkungan terdekat pun dapat menjadi tempat yang rawan terjadinya kekerasan seksual. Tentunya hal ini menimbulkan rasa tidak aman bagi masyarakat terutama pihak perempuan yang seringkali menjadi korban kekerasan seksual. Perempuan dijadikan objek seksualitas oleh pihak -- pihak tertentu demi mencapai kepuasan pribadi pelaku.
Masyarakat dalam memandang fenomena kekerasan seksual seringkali hanya menyoroti pada posisi korban tanpa memperhatikan posisi pelaku. Budaya victim blaming dan asumsi -- asumsi yang berkembang dalam masyarakat mengenai korban kekerasan seksual menjadi penyebab bungkamnya para korban untuk membuka suara atas kekerasan yang telah dialaminya. Berbagai stigma yang diberikan kepada perempuan korban kekerasan seksual juga menjadi hal yang menakutkan bagi korban, sehingga para korban cenderung lebih memilih diam dan mengutuk dirinya sendiri atas tindak kekerasan yang menimpanya.
Kelirunya persepsi masyarakat dalam menanggapi fenomena kekerasan seksual telah menjadi budaya pemahaman masyarakat, dimana dalam fenomena tersebut pihak perempuan yang menjadi korban kekerasan dianggap sebagai pihak yang salah. Masyarakat menyalahkan korban dengan alasan bahwa pihak korban sendirilah yang mengundang penyerangan karena pakaian yang dikenakan ataupun perilakunya yang dianggap 'menggoda'. Korban dianggap 'memancing nafsu' pelaku untuk melakukan aksi kekerasan seksual.
Dalam hal ini seolah -- olah penyebab kekerasan seksual adalah pihak korban dan dalam penyelesaiannya pun korban lah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Alih -- alih mendapatkan perlindungan, korban kekerasan malah tersudutkan dengan berbagai stigma masyarakat. Korban kekerasan seksual seringkali dikucilkan dan mengalami diskriminasi dalam masyarakat, hal ini didasarkan pada persepsi bahwa korban merupakan individu yang 'nakal' karena telah melakukan tindakan yang tidak bermoral. Selain itu, stigma lain seperti anggapan bahwa korban merupakan aib yang perlu disembunyikan juga menyebabkan korban semakin sulit mendapatkan perlindungan.
Berbagai asumsi dari masyarakat inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa sebagian besar korban pelecehan seksual cukup sulit untuk membuka suara mengenai tindakan kekerasan yang dialaminya. Para korban memilih untuk diam karena mereka takut apabila dirinya mendapatkan diskriminasi dari masyarakat dan dikucilkan dari lingkungan pergaulannya. Padahal dalam fenomena kekerasan seksual yang jelas -- jelas melakukan kesalahan adalah pihak pelaku bukan korban. Inilah yang menjadikan kasus kekerasan seksual ibarat fenomena gunung es dimana hanya sedikit kasus yang telah terungkap dan masih cukup banyak kasus lain yang belum mendapatkan kejelasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H