Lihat ke Halaman Asli

Persembahan Kecil atas Pengorbanan Tiada Tanding

Diperbarui: 23 Desember 2016   13:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: nickwepz.deviantart.com

Semua memang tidak mudah. Kau telah menceritakan seluruh kisah yang telah menguras air matamu—derita fisik dan psikis yang kau tanggung selama aku masih di dalam kandungan. 

Kini, kita agak bernafas lega, karena bisa mengenang semua itu. Ku tulis ‘agak’, karena perjalanan kita masih terus berlanjut. Namun, kau tak pernah lelah, kau tak pernah menyerah.

Dulu kita bersama mengalami masa, menghiasi setiap hari yang dilalui dengan air mata, mengakhiri setiap pekerjaan dengan rangkaian keluhan, mencampur adukkan seluruh rasa amarah, khawatir, putus asa, sedih, takut menjadi satu, dan mengamburadulkan suasana. Setengah kita sempat terpikir bahwa dunia kita sudah berakhir.  Namun, kau selalu tak terima, selama kita masih bernafas, kau yakin pasti kita masih memiliki waktu untuk memperbaiki situasi.

Dan kau tentu amat mengingat momen bersamaku. Gadis kurus yang sempat sangat merepotkanmu sejak bayi karena penyakit yang diderita. Setiap hari kau mencari cara agar ada biaya untuk membelikan obat, atau membawaku ke dokter tiap kali aku kumat. Kau berharap aku sembuh, namun perkataan dokter membuatmu rusuh. Katanya selamanya penyakitku tak kan pernah sembuh, ku lihat kau dan papa begitu ripuh karena itu.

Ah… aku mulai membenci diri sendiri, saat aku bertumbuh menjadi remaja dan menyadari bahwa keberadaanku merepotkan sekali. Dan ku ingat bagaimana aku dipandang seperti manusia hidup tanpa tekad. Aku mulai mendefinisikan diri sebagai spesies manusia yang tiada guna, saat tak ada orang di sekitarku yang mau mempercayakanku untuk berbuat apa-apa.

Namun, aku jenuh. Karena aku terus bertumbuh menjadi dewasa, kurasa harus ada yang berubah, setidaknya suasananya. Kumulai banyak berkhayal, membayangkan berkeliling ke luar kota, ke luar negara, bertemu banyak kawan-kawan baru yang mau berteman baik denganku, lalu aku menuliskan semua, ke dalam narasi yang isinya hayalan belaka. Tapi di sana aku mengukir tekad, meski kutahu betul jika kau tahu, pasti akan langsung kau cegat. Semuanya akan berujung pada alasan betapa ringkihnya aku, seolah aku bagaikan seekor semut di tengah komunitas gajah, ke manapun aku bergerak aku terancam akan terinjak kapan saja.

Anehnya, ada dorongan kuat dalam diriku untuk memutuskan agar tak berhenti. Aku sudah mantap menyudahi kehidupanku yang terasa abu-abu. Maka kuungkapkan padamu sejujurnya, dan sudah dapat kuprediksi, bahwa aku tak kan mendapatkan restumu semudah itu. Namun, karena kasihmu yang suci, pada akhirnya kau menguatkan diri melepasku pergi.

Aku bahagia, tapi tahukah kau? Pertama kali ku injakkan kakiku di dunia yang baru, aku seolah baru keluar dari gua Plato. Semuanya tampak menyilaukan bagiku, hingga saking silaunya, aku sempat ingin kembali berlindung ke dalam gua. Hanya saja aku berfirasat, jika aku kembali ke dalam gua, aku akan mendapati situasi yang berbahaya juga, orang-orang di dalamnya akan tidak mempercayaiku, kehidupanku di dalamnya akan amat berbeda daripada kehidupanku sebelumnya. Kehidupan yang kemudian akan ku artikan sebagai kematian dari seluruh harapanku. Maka aku memutuskan untuk bertahan, dan berjalan.

Dan kau mengiringi perjalananku, dekat maupun jauh kau kan selalu dekat dengan rangkaian doamu. Hingga suatu hari kau berdecak bangga, anakmu yang ringkih ini mendapat sedikit kesempatan untuk merasakan jalan-jalan ke luar Indonesia. Malam hari kau terus terjaga untuk siap meneleponku agar tidak terlambat ke bandara, siang malam kau berdoa untuk keselamatanku, dan agar ku dapatkan yang terbaik untukku.

Akan tetapi, Tuhan nampaknya ingin membuat kita tak bosan. Hidup kita tetap dihiasi lika-liku cobaan dan ujian.  Bahagia terasa sesaat, namun kesedihan sesaat terasa sangat lama. Dan ku tahu sejak dulu kau sudah hidup menderita, ingin sekali ku bahagiakanmu dan memberikan yang kau mau. Namun, hingga kini ku belum mampu mewujudkannya. Aku sedih dan mengeluh mengapa hidup kita terus-menerus begini. Namun, kau sejukkanku dengan perkataan penuh arti, “Jangan sedih, inilah cara Tuhan agar membuat kita senantiasa bersyukur, dan tidak takabbur. Yang penting kita harus tetap berusaha, dan tidak lupa berdoa untuk selalu menggapai ridho-Nya.”

Perkataan itu melegakkan hatiku, sekaligus buatku malu. Menyadari aku sebagai manusia, yang jelas tak punya harta atau pun apa-apa, tapi masih saja sering sombong untuk hal-hal yang tak ku punya. Tapi, kau mengajariku, ibu… untuk tidak bersikap seperti itu. Tanpa lelah kau menasehatiku, tanpa lelah kau mendukung yang terbaik untukku, tanpa jengah kau memaafkanku meski kau sedang marah, tanpa lelah kau menyiapkan segalanya untukku meski badanmu kian melemah. Terima kasih, ibu… meski aku terlalu malu untuk menyampaikannya padamu… karena belum ada dariku yang mampu kupersembahkan untukmu. Namun, kusampaikan rasa ini ke dunia, agar suatu saat dunia pun dapat menyampaikannya--padamu. Atas seluruh pengorbananmu, maafkan aku jika aku hanya mampu memberikan kalimat-kalimat sederhana. Namun, hanyalah itu, yang kupunya. “Terima Kasih, Ibu.”

Peluk dan cium,

Anakmu




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline