Dingin menusuk hingga mencapai minus lima Derajat Celcius. Kabutpun perlahan merayap diantara rindang deretan pohon cemara. Padahal waktu sudah beranjak siang. Mestinya terik mentari mampu menghangatkan suasana hari ini. Tetapi alam sepertinya kompak untuk menolak cahaya Sang siang yang bergolak menerobos rimbunnya dedaunan. Tak sedikitpun hangat kami rasakan. Beberapa orang diantara rombongan bahkan menggunakan sekian lapisan pakaian penghangat untuk menghindari dingin. Cemoro Kandang, demikian sebutan yang kami tahu. Lokasi yang merupakan jalur umum bagi para pendaki untuk menuju Kalimati.
Ya, kami serombongan pendaki yang sedang memutus penat di Cemoro Kandang, sekira satu jam berjalan kaki melewati padang Lavender dari arah Ranu Kumbolo. Hamparan luas rerumputan yang kebanyakan diselingi dengan tanaman Bunga berwarna ungu ini adalah pemandangan yang luar biasa indah. Apalagi pada saat bulan April hingga Juni. Bulan-bulan tersebut, Bunga Lavender sedang merekah. Sebagian orang berpendapat bahwa pancaran warna purple yang dihadirkan bunga Lavender mampu memberikan efek relaksasi bagi pandangan mata. Apalagi disekitar tanaman Bunga tersebut ada gradiasi warna hijau rerumputan, birunya langit serta kilauan kekuningan pantulan cahaya Matahari. Perpaduan antara warna warni alam nan menakjubkan. Hamparan ini juga dikenal sebagai Oro-oro Ombo. Tuhan benar-benar Maha Kuasa, membuat decak kagum bagi siapapun. Termasuk kami, sekelompok pendaki yang tergiur akan indahnya cerita manis tentang kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BTS).
Memutuskan untuk singgah sesaat di Cemoro Kandang memang sudah direncanakan sejak dari Ranu Kumbolo, danau cantik yang berada di jalur lokasi pendakian Gunung Semeru.Sempat satu malam kami beristirahat di tempat ini. Danau Ranu Kumbolo cukup luas,dan dijadikan sebagai sumber mata air bagi para pendaki. Pemandangan di Ranu Kumbolo sungguh menggoda mata. Sejak dari pos 4, kami sudah bisa melihat kerlingan airnya yang jernih. Ingin rasanya segera berlari menuju tepi danau ini dan merasakan sejuknya air Danau Celah Angin, demikian penduduk setempat mengartikan. Masing-masing dari kami berdelapan mengabadikan setiap momen yang berlatarkan Ranu Kumbolo.Apalagi pada saat tiba di pos empat, matahari sudah hampir terbenam. Pancaran warna temaram senja yang mulai menebar jingga sungguh memanjakan mata. Elok nian. Pekik girang kami hampir bersamaan mampu memecah hening. Semua menatap takjub kearah danau Ranu Kumbolo. Lelah seketika sirna. Perjuangan berjalan selama enam jam dari awal pendakian di Desa Ranu Pani seakan terbayar lunas. Padahal masih harus berjalan sekira 20 menit hingga mencapai tepi Ranu Kumbolo dan lokasi untuk mendirikan tenda.
Ranu Kumbolo sendiri berada di ketinggian 2.400 meter diatas permukaan laut. Luas lokasi sekitaran danau ini mencapai 15 hektar. Jika musim kemarau, udara di Ranu Kumbolo menjadi sangat dingin. Diperkirakan antara minus 5 hingga minus 20 derajat celcius. Informasi ini memang kami terima sudah sejak jauh hari. Persiapan matang telah dilakukan dengan menyiapkan pakaian penghangat dan beberapa pakaian pelengkap lainnya seperti kupluk, sarung tangan dan beberapa kaos kaki tebal. Walaupun pendakian kami lakukan bukan pada waktu kemarau, namun tetap saja tim menganjurkan agar perlengkapan pakaian benar-benar diperhatikan. Saya sendiri menyiapkan pakaian dalam yang memang khusus untuk pendakian, selain karena tidak tahan cuaca dingin, alergi yang saya derita menjadi penyakit yang sungguh menyiksa.
Keindahan Ranu Kumbolo, luasnya hamparan oro-oro Ombo maupun uniknya kawasan Cemoro Kandang adalah kisah yang sering kali menjadi oleh-oleh dari para pendaki. Belum lagi soal pemandangan puncak Mahameru yang bisa dilihat dari Kalimati. Rasanya bukan seorang pendaki gunung yang tangguh jika belum menjejakkan langkah hingga puncak Semeru. Semangat seolah memuncah jika membayangkan bahwa akhirnya saya akan berada pada atap tertinggi di langit Pulau Jawa. Di ketinggian 3.676 meter diatas permukaan laut dan menghabiskan malam pergantian tahun di puncak Semeru, akan menjadi cerita manis untuk anak cucu kelak, selain kebanggan bathin atas kemampuan diri sendiri. Tidak hanya menaklukkan salah satu Seven Summit Indonesia, tapi juga menaklukkan gejolak mental diri memburu harapan.
Saya dan beberapa rekan sengaja memilih pendakian ke Semeru pada saat malam pergantian tahun. Selain memang mencari momen yang tepat, kebetulan waktu libur panjang akhir tahun bisa saya manfaatkan untuk menyalurkan hobi yang sudah mendarah daging sejak putih abu-abu dulu. Di tahun 2004 pendakian ke Semeru pernah saya lakukan, namun gagal karena kondisi badai di daerah Arco Podo menuju Pucak Mahameru, menghalangi kelompok kami untuk meneruskan pendakian. Sepuluh tahun menunggu, persiapan yang jauh lebih baik mengiringi doa saya agar bisa menggapai ketinggian 3.676 di puncak Mahameru.
Jika mengulang cerita tentang indahnya Gunung Semeru dan kawasan lain di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN-BTS), mungkin sudah menjadi cerita biasa-biasa saja. Apalagi keindahan kawasan tersebut sudah difilmkan dan menjadi salah satu film box office Indonesia. Hampir setiap hari, pos perijinan pendakian di Desa Ranu Pani selalu dipenuhi antrian para pendaki. Tidak hanya dari dalam negeri saja, pendaki-pendaki dari luar negeripun banyak yang sudah merasakan langsung udara Semeru.
Desa Ranu Pani merupakan desa terakhir dan menjadi pintu masuk menuju jalur pendakian Semeru. Berada dalam wilayah Kabupaten Lumajang, Ranu Pani adalah jalur trek favorit para pendaki. Selain karena sudah diketahui secara umum, jalur inipun menjadi jalur yang ‘dirawat’ oleh pengelola Taman Nasional BTS. Desa Ranu Pani berada diketinggian 2.000an meter diatas permukaan laut. Hawanya sejuk dan penduduk setempat mengandalkan pertanian sayur-mayur sebagai penghasilan sehari-hari. Sepanjang jalur kanan dan kiri jalan dari arah Desa Tumpang, Kabupaten Malang, menuju Desa Ranu Pani dipenuhi dengan tanaman sayur. Kol, daun selada dan daun bawang, menjadi area tanaman dengan pemandangan yang menarik, karena ditata apik. Daerahnya berbukit dan kontur tanah yang cocok untuk jenis sayuran tersebut, menjadikan desa-desa sepanjang jalur itu sebagai daerah penghasil dan pemasok kebutuhan sayuran di Kabupaten Malang dan sekitarnya.
Saya dan beberapa rekan pendaki tiba di Kota Malang sekitar pukul 24.00 tengah malam. Jam Sembilan pagi keesokan harinya, sesuai janji dengan Hamid, teman sekaligus guide selama pendakian, kami akan dijemput di tempat penginapan. Waktu kurang lebih selama delapan jam benar-benar kami maksimalkan untuk beristirahat. Beberapa diantaranya bahkan langsung tidur tanpa membersihkan badan lebih dulu. Ya, bisa dimaklumi. Perjalanan panjang selama satu hari penuh harus kami tempuh dari Kalimantan menuju Pulau Jawa.
Tepat jam Sembilan pagi, Bro Hamid, demikian Ia biasa dipanggil menjemput kami menggunakan angkot. “Mesti angkot bro, biar gampang untuk urusan dijalan” Hamid menjelaskan. Entah apa maksudnya, tapi yang jelas konsep backpackerpun mulai berlaku. Kali ini bro Hamid berbaik hati menjemput kami langsung di tempat penginapan, tanpa harus berkemas lagi menuju stasiun kereta api Kota Malang, karena biasanya, Stasiun Kota Baru Malang menjadi meeting point para pendaki. Sempat saya melihat kelompok-kelompok pendaki yang nongkrong di seputaran alun-alun depan stasiun. Bermacam-macam tampilan mereka. Umumnya berdandan ala anak gunung. Bandana dikepala, boot shoes dan celana cargo. Yang paling menonjol tentu tas punggung yang gedenya nauzubillah. Saya dan rekan sebenarnya tampil sama seperti teman pendaki lainnya. Berasa cool dan nyaman dengan gaya eksotis begitu. Bukan soal menyombongkan diri, tapi memang perlengkapan yang banyak untuk keperluan selama empat hari di gunung yang mengharuskan kami mengangkut hampir semua perlengkapan ‘dapur’ pendakian.
Dari Stasiun Kota Malang kami mengarah ke Desa Tumpang. Dua jam perjalanan dihabiskan diangkot biru khas Kota Malang. Banyak cerita yang terlontar. Gelak tawa seringkali menyelingi perbincangan santai kami. Mulai dari urusan kerja hingga urusan agama jadi bahan omongan yang menyenangkan. Sesekali keseriusan kami muncul saat masuk pada ranah politik tanah air. Bukan hal yang aneh saat diantara kami beradu argument soal pilihan masing-masing. Ujungnya tetap pada bingkai bhinneka tunggal Ika, sepeti halnya kami yang berasal dari berbagai turunan, namun porosnya pada satu tujuan, Puncak Mahameru.
Waktu dua jam akhirnya menjadi sangat singkat. Jam sebelas pagi kami tiba di Desa Tumpang. Disini ada pasar yang menjadi lokasi untuk berbelanja keperluan selama melakukan pendakian. Hamid mengisyaratkan kami untuk transit sejenak guna mencari keperluan lain atau setidaknya menelepon keluarga. Sebelumnya, Desa Tumpang menjadi pemberhentian terakhir para pendaki untuk kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan mobil jeep menuju Desa Ranu Pani. Namun ada kesepakatan baru antara pengurus dan pengelola transportasi disana bahwa mobil jeep ngetem di Desa Gubug Klakah, desa yang berada dipertengahan antara Tumpang dan Ranu Pani.
Setelah menyelesaikan urusan ‘dapur’ di Tumpang, kami meneruskan perjalanan menuju Pit Stop Mobil Jeep di Desa Gubug Klakah. Di Desa ini kami berganti kendaraan dari angkot biru ke Mobil Jeep terbuka. Tugas bro Hamid ternyata hanya sampai sini. Sudah ada Bro Wahyu, guide yang lain yang akan mendampingi kami selama pendakian. Perjalanan kami lanjutkan.
Dua jam bukan waktu yang singkat. Berdiri terus-menerus selama perjalanan dari Desa Gubug Klakah menuju Desa Ranu Pani cukup mengencangkan urat-urat kaki. Kami berenam, laki-laki, berdiri di bagian belakang jeep, sedangkan dua orang rekan wanita duduk didepan berdampingan dengan supir (bersambung).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H