FISIP UAJY mengadakan acara diskusi bertaraf internasional yang diikuti oleh narasumber dan peserta dari berbagai negara. Diskusi yang bernamakan International Diplomacy Colloquium tersebut dilangsungkan pada hari Jumat, 15 Mei 2020 pukul 15.00 - 17.00 WIB.
Tema yang diusung dalam dikusi ini ialah "Tantangan Kolaborasi dan Mobilitas Global Pasca COVID-19", dengan menghadirkan beberapa narasumber dari lima negara. Ekalyptha Setyo sebagai Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial, dan Budaya di KBRI Madrid, Spanyol, Florence Pattipeilohy sebagai Sekretaris Umum di KBRI Dili, Timor Leste, Susanne Susanto sebagai Staf Sekretariat Wakeppri di KBRI Berlin, Jerman, Vincentius Raymond sebagai mahasiswa exchange Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UAJY di De La Salle University Dasmarinas, Philippines, serta Vincent Elian Saera sebagai Mahasiswa Double Degree Prodi Teknik Sipil FT UAJY di National Cheng Kung University, Taiwan.
Agus Putranto selaku moderator membuka acara dan menjelaskan, "Kegiatan ini menjadi seri diskusi yang membuat individu siap menghadapai dunia dan normalitas baru dengan menghargai adanya mobilitas dan kolaborasi secara global."
Setiap negara mengalami realitas pandemi Covid-19 yang berbeda-beda mulai dari kebijakan pemerintah hingga perilaku masyarakatnya. Di kota Madrid, Spanyol kasus Covid-19 pertama kali dilaporkan pada tanggal 31 Januari 2020, setiap harinya kasus serupa semakin bertambah banyak hingga tanggal 14 Maret 2020 Spanyol resmi ditutup. Penutupan ini dikenal dengan istilah state of alarm. Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah Spanyol untuk memutus rantai penularan ialah memberikan kompensasi senilai 70% dari UMR dengan syarat yang bersangkutan harus mengganti kompensasi tersebut dengan jam kerja ekstra, melakukan pengetesan massal 60 ribu orang setiap harinya, memberlakukan karantina selama 14 hari bagi siapa saja yang memasuki wilayah Spanyol dan memberikan sanksi berupa denda bagi mereka yang tidak mematuhi protokol pemerintah.
"Kecaman sanksi yang diberikan paling ringan 100 Euro dan paling berat 600 Euro," tutur Eka.
Sama halnya dengan Spanyol, di Timor Leste, Jerman, dan Filipina juga diberlakukan lockdown atau penutupan wilayah negara atas segala aktivitas yang mengundang keramaian. Di Timor Leste istilah penutupan wilayah ini dikenal dengan nama state of emergency. Selain itu upaya pemerintah di Timor Leste ialah memberikan bantuan sembako, uang tunai sebesar $100 USD per kepala keluarga dan UMR 75% dari gaji 3 bulan. Akan tetapi yang dirasa kurang dari negara Timor Leste ini ialah kesadaran dari masyarakatnya.
"Masih banyak yang beraktivitas di luar rumah meskipun telah diberlakukan kebijakan social distancing dan state of emergency" jelas Flo selaku Sekretaris Umum KBRI Dili, Timor Leste.
Di Jerman ada beberapa faktor yang membuat negara tersebut dapat pulih dalam kurun waktu 2 bulan, diantaranya ialah sistem kesehatan, asuransi kesehatan, kesadaran individu, dan pemberlakuan sanksi berupa denda sebesar 25-500 Euro. Jerman terkenal dengan negara yang individualis.
Menurut penuturan Susan selaku Sekretaris KBRI Berlin, "Bangsa Jerman memiliki karakter yang individualis, jadi mereka tidak keberatan apabila dilaksanakan kebijakan social distancing, karena setiap harinya mereka sudah social distance dengan orang lain."
Sedangkan di Filipina, upaya pencegahan dan penularan relatif cukup ekstrim yaitu dengan menurunkan polisi dan aparat keamanan ke jalan raya. Selain itu juga terdapat pengingat bahaya berupa peti yang diletakkan di jalan-jalan.
"Bagi siapa saja yang melanggar aturan pemerintah dan keluar rumah seenaknya akan ditembak mati oleh aparat keamanan," tutur Vincent selaku mahasiswa exchange di De La Salle University Dasmarinas.