Lihat ke Halaman Asli

Seperti Apa "Quick Count" dan Bagaimana Ia Bekerja?

Diperbarui: 17 April 2019   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi surat suara DPD (foto: kompas.com)

Pemilihan kepala daerah mewarnai hampir setiap hari di seluruh penjuru negeri ini. Dari ujung timur hingga ujung barat, semua berpartisipasi termasuk tidak memilih sama sekali(?) 

Suatu keheranan saya pada suatu berita di saat pemilih banyak tidak berdatangan tapi terjadi penggelembungan suara, apakah pada saat hari pencontengan atau pencoblosan itu ada "hantu" yang bekerja atau ada jokinya? 

Nah, terlepas dari masalah hantu atau bukan, joki atau bukan. Setiap kali pemilihan umum, termasuk kelak pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan anggota DPR, DPD, hingga DPRD akan ramai diwarnai yang namanya perhitungan cepat dari masing-masing tim pendukung atau tim sukses masing-masing. 

Mulai dari besar sampai kecil dibagi per-wilayah dan jumlah kursi keterwakilan di lembaga yang direpresentasikan. Tentu perhitungan itu akan berbeda jika yang dipilih adalah pemimpin rakyat, pemimpin masyarakat suatu daerah negara, propinsi hingga kabupaten atau kota. 

Lembaga-lembaga konsultan politik, lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pencitraan personal hingga pencitraan tim sudah melengkapi peralatan mereka dengan alat survey yang namanya Quick Count atau hitung cepat. 

Dalam UU Pemilu tidak dimasukkan hitung cepat ini sebagai hasil resmi, sering disebut hasil tidak resmi atau hasil bias. Bahkan ada laman hitung cepat yang dicekal karena menimbulkan keresahan. Juga ada yang tidak menyetujui proses pengumuman hitung cepat

Namun masyarakat memerlukan kecepatan informasi untuk mengetahui jagoannya atau wakil-wakilnya yang disenanginya memenangi "pertarungan" ini. 

Biaya besar pada calon pemimpin, para calon wakil rakyat mulai dari membuat spanduk, baliho, kaos, baju, jaket, tas, stiker, pin tak terhitung besarnya. Mulai dari puluhan juta, ratusan juta hingga milyaran rupiah anggarannya. 

Dihitung-hitung pengusaha juga bukan apalagi pegawai negeri ikut-ikutan, apakah mengorbankan tabungan atau pinjaman atau belas kasihan? Itu semua kita serahkan etikanya kepada para peserta pemilihan umum. Tentu ada partai sebagai motor penggerak massa yang diakui UU akan menjamin mereka semua dengan berbagai syarat dan ketentuan yang berlaku layaknya operator politik. 

Konsekuensi politik dan komitmen politik adalah harga mutlak, harga mati yang harus dijalani sesuai kesepakatan politik atau janji-janji kepada induk pengusungnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline