Belakangan ini, tepatnya pertengahan 2019-an, Indonesia sedang ramai-ramainya membicarakan isu Mental Health. Kondisi ini semakin menjadi-jadi setelah ditayangkannya Film Joker yang mengatasnamakan Mental Illness.
Tak sedikit para penonton Joker mengklaim bahwa sifat Joker adalah gambaran dirinya yang "katanya" ; orang jahat berasal dari orang baik yang tersakiti. Padahal kan, kalau niat hati ingin menjadi manusia baik ya pasti akan terus menjalani kehidupan dengan baik lah.
Pengguna sosial media khususnya di Twitter seakan berlomba-lomba dalam mencurahkan masalah psikologisnya. Banyak pula yang memperlihatkan bahwa mereka pun mengidap mental Illnes. Ada yang mengaku dirinya depresi, stres, dibawah tekanan, merasa sendiri, tidak berdaya, bipolar, dan ujung-ujungnya hampir bunuh diri.
Rasanya hidup ini sudah tidak ada privasi saja. Aib orang tua, teman, keluarga, pacar, suami, istri, kerabat dekat, bahkan diri sendiri dengan mudahnya dipublish begitu saja demi mendapat pengakuan "Mental Illness".
Tak jarang pula yang menjadikan mental issues tersebut sebagai tameng atau senjata agar orang-orang mengasihaninya sekalipun ia berbuat salah. Dengan begitu, orang-orang gak berani ngelakuin tindakan yang macam-macam demi keselamatan jiwanya. Contohnya selebgram kondang Karin Novilda atau Awkarin. Saat mengalami masalah pencurian karya, ia malah sempat-sempatnya mengikutsertakan Mental Illness yang diidapnya, padahal tidak ada yang nanya lho.
Pengakuan Mental Illness tersebut seakan menjadi tameng atau penghalang dari berbagai hujatan yang dilontarkan kepadanya. Padahal, jelas tindakan seorang influencer yang banyak disembah itu salah karena telah mencuri karya sosok rakyat biasa.
Waduh enak banget ya kalau salah tetap menjadi benar, iya dong, soalnya dia kan punya Mental Illness.
Saya jadi berpikir, apakah dengan mempunyai Mental Issues dan menyebarkan pada khalayak membuat orang-orang tersebut merasa keren? Mungkin sih ya, keren, keren aja gitu dapat perhatian dan menjadi tenang jika melakukan sesuatu yang bikin gak enak orang lain.
Munculnya web-based symptom checker atau aplikasi pengukur mental Illness akhirnya menjadikan para manusia melakukan analisis terhadap dirinya sendiri atau Self Diagnosis. Self Diagnosis yaitu mendiagnosis dirinya sendiri berdasarkan informasi yang didapat secara mandiri. Tentu saja, mendiagnosa sebuah penyakit mental tak semudah itu alias harus datang langsung kepada ahli bidangnya.
Situasi seperti ini seolah didukung oleh lingkungan serta lagu-lagu yang mengangkat tema Mental Issues, contohnya saja kumpulan lagu Kunto Aji dalam album Mantra-mantra serta lagu Secukupnya dari penyanyi Baskara Putra "hindia". Dua penyanyi tersebut hanya saya ambil sebagai contoh saja, ya. Aslinya masih banyak lagi.
Lirik-lirik yang disajikan dari lagu tersebut seolah menerangkan bahwa depresi itu tidak apa-apa, depresi itu hal yang wajar, menangislah, mengeluhlah karena "hari esok kan lebih baik"