Lihat ke Halaman Asli

Firza Brilliant P.

Mahasiswa Universitas Airlangga 2023

Pakaian Preloved di Tengah Tren Fast Fashion, Relevankah?

Diperbarui: 30 Mei 2023   13:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Artificial Photography on Unsplash 

Bersamaan dengan menjamurnya tren thrifting, para penjual baju bekas—terutama dalam platform daring, mulai menggunakan istilah “preloved” sebagai bagian dari branding usaha mereka. Istilah preloved atau pre-loved sendiri terbentuk dari prefiks “pre” dan kata sifat “loved” yang dapat dimaknai sebagai barang yang dicintai oleh pemilik terdahulunya. Penggunaan istilah ini pada media cetak pertama tercatat pada tahun 1970-an. Istilah pre-loved banyak digunakan sebagai eufemisme untuk menjual barang bekas bersama dengan penggunaan kata “pre-owned”.

Meskipun begitu, sebagian banyak orang juga mengaitkan penggunaan istilah ini dengan sentimen di balik pemakaian suatu barang sebelum kemudian dijual atau diserahkan ke pada orang lain. Ketika suatu barang sebelumnya dicintai, hal ini berarti barang tersebut digunakan dan dirawat dengan baik, sehingga masih berada dalam kondisi yang bagus ketika berpindah kepemilikan. Komunitas yang terbentuk dari budaya pre-loved memastikan bahwa barang-barang yang dijual dan dibeli benar-benar telah terkurasi dengan baik.

Namun dengan semakin maraknya fenomena fast fashion, apakah penggunaan kata pakaian pre-loved masih relevan dewasa ini? Dipopulerkan oleh Zara, salah satu perusahaan mode internasional terbesar, model industri fast fashion mulai merebak pada tahun 1990-an. Dengan turunnya harga produksi dan tenaga kerja, tren fesyen dapat dengan cepat berubah. Siklus produksi yang cepat dapat dengan mudah memenuhi permintaan pasar atas pergantian tren fesyen, bahkan micro trends sekali pun. Apabila pada abad ke-18 dan ke-19 tren fesyen bisa bertahan sampai satu dekade, pada masa kini tren fesyen dapat mengalami pergantian hanya dalam waktu satu sampai dua tahun saja.

Menyikapi pergantian tren ini—disertai dengan lazimnya gaya hidup konsumerisme, banyak orang terus memperbarui isi lemari pakaian mereka. Pakaian-pakaian lama atau pascakonsumsi sebagian didonasikan, dibuang, dan banyak pula yang dijual. Pakaian fast fashion yang dijual setelah jangka waktu pemakaian yang pendek ini sama sekali tidak menyiratkan nuansa pre-loved, ketika orang-orang menjadi mudah untuk mencampakkan baju yang telah ketinggalan mode atau sedikit rusak.

Menurut UN, industri fesyen berkontribusi sebesar 20% air limbah dan 2-8% emisi gas rumah kaca (GRK) secara global. Industri tekstil juga merupakan salah satu kontributor terbesar dari limbah plastik yang mencemari lautan, menghasilkan jutaan ton mikroplastik dari serat-serat tekstil yang terlepas saat proses pencucian.

Tren thrifting sering kali digaungkan sebagai solusi untuk mengatasi fast fashion dan menciptakan budaya fesyen yang lebih berkelanjutan (sustainable) atau ramah lingkungan. Hal ini sebagian besar benar adanya. Pakaian mengalami rentetan proses produksi yang panjang sebelum menjadi produk yang siap dijual di toko retail. Mulai dari produksi fiber, kain, sampai distribusi menghasilkan emisi karbon dan penggunaan energi yang besar. Apabila seseorang membeli barang thrift ketika membutuhkan pakaian, tidak ada emisi karbon dan penggunaan energi yang dihasilkan dari proses produksi pakaian baru. Meskipun begitu, akan menjadi masalah apabila produk thrift hanya dipakai dalam waktu yang singkat dan kemudian berakhir di pembuangan.

Poin penting yang perlu digarisbawahi dari fenomena fast fashion ini adalah perilaku konsumerisme. Sejatinya, upaya terbaik untuk mengurangi dampak industri fesyen terhadap lingkungan adalah dengan memperpanjang daur hidup pakaian sehingga permintaan untuk produksi pakaian akan menurun.

Budaya untuk memperpanjang daur hidup pakaian telah lama dipraktikkan sejak dahulu. Terutama pada tahun 1300-an atau masa Renaisans, saat Eropa mengalami depresi ekonomi sehingga masyarakat memenuhi kebutuhan berpakaian dengan melungsurkan pakaian, memperbaiki pakaian lama, menukarkan pakaian, maupun membelinya dari penjual retail pakaian lama layaknya thrifting (Herjanto et al., 2016). Praktik memperbaiki pakaian, menggunakannya sampai tidak layak pakai, dan mengalihfungsikan kain dari pakaian yang tidak layak pakai merupakan gaya hidup zaman dahulu yang kurang relevan di zaman sekarang.

Mengembalikan gaya hidup untuk memperpanjang daur hidup pakaian merupakan solusi terbaik untuk mengatasi dampak buruk industri fesyen terhadap lingkungan. Menghargai, mencintai, dan menjaga dengan baik barang-barang yang kita punyai merupakan sebuah perwujudan rasa cinta terhadap bumi ini, so that it will be continuously loved, and never will be pre-loved.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline