Lihat ke Halaman Asli

Firyal Nur Afnania

Mahasiswi UIN

Inner Child yang Terluka

Diperbarui: 7 Desember 2024   17:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Kata "innerchild" saat ini mungkin sudah tidak asing lagi di telinga remaja gen Z, gen Z biasanya menggunakan kata ini sebagai alasan untuk memenuhi hawa nafsunya, contoh simpelnya beberapa hari lalu saya bertemu dengan teman saya yang bahagia sekali saat bermain bianglala kemudian ia mengatakan "aku sedang memenuhi innerchild ku". Sebenarnya apa sih innerchild itu?

Menurut UNESCO, "Pengalaman masa kecil membentuk kemampuan seseorang untuk belajar, mencintai, dan tumbuh." Pernyataan ini menegaskan bahwa segala hal yang kita alami pada masa kecil, mulai dari perhatian yang kita terima hingga rasa aman yang kita rasakan, meninggalkan jejak mendalam. Jika pengalaman tersebut negatif, seperti pengabaian emosional, kekerasan verbal, atau kehilangan, maka luka emosional dapat muncul (UNESCO, 2024).

Setiap perjalanan hidup seseorang akan selalu memiliki jejak cerita di dalam setiap langkah nya, baik itu pengalaman kecil maupun pengalaman besar sekalipun. Innerchild akan hadir sebagai jejak langkah kehidupan kita. Umur berapa kalian memahami makna dari innerchild? Entah berapa banyak langkah kehidupan yang telah kalian lewati akan selalu membekas di kehidupan kalian.

Lalu bagaimana dengan innerchild yang terluka? Seberapa kalian dengan innerchild dikehidupan kalian? Inner child yang terluka adalah cerminan dari pengalaman masa kecil yang tidak terpenuhi, baik itu kasih sayang, perhatian, atau rasa aman. Luka ini sering kali tidak disadari, tetapi dampaknya bisa terasa dalam kehidupan dewasa. Ketika kita bertanya, "Seberapa kalian dengan inner child di kehidupan kalian?" jawaban itu sering kali terselubung di balik perilaku, emosi, dan pola pikir kita sehari-hari.

Misalnya, apakah kalian pernah merasa sulit mempercayai orang lain? Atau mungkin, ada perasaan takut gagal yang terus menghantui meskipun situasinya tampak baik-baik saja? Kedua hal tersebut bisa jadi adalah cara inner child kita berteriak, meminta perhatian untuk luka-luka yang belum sembuh.

Menurut para psikolog, inner child adalah "bagian dari kepribadian kita yang terbentuk berdasarkan pengalaman masa kecil." Namun, bagian ini bukan hanya soal kenangan. Ia adalah esensi emosional yang terus hidup, membawa suka dan duka dari masa lalu. Pendapat lain mengatakan, inner child adalah kepribadian yang terbentuk dari pengalaman seseorang, bagaimana seseorang tersebut dicintai atau sebaliknya, hal tersebut didapatkan semasa kanak-kanak (Surianti, 2022).

Ketika inner child terluka, ia menciptakan pola perlindungan diri yang terkadang justru menjadi penghalang. Contohnya, seseorang yang pernah merasa tidak cukup baik di masa kecil mungkin tumbuh dengan kebiasaan berlebihan membuktikan diri, atau sebaliknya, menarik diri dari segala tantangan karena takut gagal. Untuk lebih dekat dengan inner child, kita perlu menghadapi luka tersebut dengan penuh kesadaran dan cinta. Salah satu langkah pertama adalah mengidentifikasi perasaan yang muncul. Perasaan marah, sedih, atau kecewa yang intens terhadap situasi tertentu sering kali mengindikasikan luka dari masa kecil. Kemudian, cobalah untuk memberikan ruang bagi inner child untuk berbicara. Bayangkan diri kalian sebagai anak kecil yang butuh dipeluk, dimengerti, dan divalidasi. Tidak ada salahnya untuk memberi waktu, berbicara dengan diri sendiri, atau bahkan menuliskan surat kepada inner child kalian.

Kapan sih inner child itu muncul? Biasanya rasa inner child muncul ketika, kita mengenang masa lalu dengan foto foto waktu kita masih kecil, atau juga bisa melihat mainan yang biasa kita mainkan waktu kecil atau juga waktu melihat mainan yang kita inginkan tetapi tidak bisa memilikinya karena sesuatu hal (Vista, 2022).

Memenuhi inner child tidak selalu tentang bermain-main seperti anak kecil, tetapi lebih kepada mendengarkan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh bagian diri kita yang terluka. Contohnya, teman kalian yang bahagia bermain bianglala mungkin sedang memberi ruang bagi dirinya untuk merasakan kebahagiaan sederhana yang dulu pernah terlewatkan. Ada sebuah terapi bernama Jungian, menurutnya dengan berhubungan kembali dengan inncer child, individu akan menumbuhkan rasa kasih sayang pada diri individu dan dapat menyembuhkan trauma masa lalu, yang dialami individu semasa kanak-kanak (Boudreu, 2024)

Namun, memenuhi inner child juga berarti belajar menetapkan batasan, memaafkan diri sendiri, dan menghadapi rasa sakit masa lalu dengan keberanian. Sebagaimana disampaikan oleh UNESCO, "Masyarakat yang harmonis dimulai dari individu yang berdamai dengan dirinya sendiri." Hal ini relevan untuk semua generasi, termasuk Gen Z, yang sering mencari cara kreatif untuk mengenal dan menyembuhkan diri mereka.

Jadi, bagaimana dengan inner child kalian? Apakah sudah cukup diperhatikan, atau masih membutuhkan pelukan hangat dari diri sendiri?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline