Apakah pembaca sempat berpikir, bagaimana mungkin seorang gadis muda belia yang mengalami masa pingitan dapat memperjuangkan emansipasi perempuan sebangsanya tanpa 'berlobi-lobi' pada penguasa negeri seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang pada saat ini? Jawabannya adalah karena Kartini memiliki keberanian. Pada saat masa pingitannya, beliau berani melawan kesepian karena pingitan, berani melawan arus kekuasaan penjajahan dari dinding kabupaten yang besar dan kokoh, dimana tempat Kartini 'terpenjara'. Kartini tidak memiliki massa atau komunitas untuk membebaskan ia dari dinding kabupaten. Kartini tidak memiliki sejumlah uang untuk 'menyuap' para penguasa agar membebaskan dia. Kartini hanya memiliki kepekaan dan keprihatinan terhadap bangsanya yang menderita, terutama kaum perempuan. Rasa peka dan prihatinnya tersebut membuat ia tertekan sehingga membuat ia memiliki keberanian untuk menulis segala perasaannya melalui surat-surat kepada para sahabatnya, dan ia tulis pula dalam bentuk puisi dan prosa. Bakat sastra yang Kartini miliki adalah yang menjadi kekuatan baginya yang tidak memiliki kebebasan dan kekuasaan. Melalui sastra, ia dapat mengungkapkan segala kegelisahan yang terjadi terutama terhadap rakyat dan bangsanya.
Kartini bersyukur dapat menikmati pendidikan karena kebangsawanan orangtuanya, walaupun di sekolah, gurunya sering memberikan perbedaan antara siswa pribumi dan Eropa. Dalam salah satu suratnya, ia menceritakan kepada sahabatnya, Estelle Zeehandelaar:
"...kakekkulah (Pangeran Ario Tjondronegoro) yang mula-mula sekali memberikan putra-putra serta putri-putrinya pendidikan Barat. Kakekku adalah pelopor, adalah sungguh-sungguh seorang yang mulia. Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh."
Kepada sahabatnya ini, yang akrab dipanggil Stella, Kartini menceritakan bahwa gadis-gadis feodal dan golongan menengah, sulit untuk keluar rumah. Akan tetapi, Kartini merasa beruntung dapat masuk sekolah, Sekolah Rendah Belanda. Diskriminasi yang terjadi di sekolahnya, ia ceritakan pula kepada Stella:
"Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebudakan kami, tapi kami berusaha maju. Kemudian mereka mengambil sikap menantang terhadap kami. Kebanyakan guru tidak rela memberikan angka tertinggi pada anak Jawa, sekalipun si murid itu berhak menerimanya."
Setelah Kartini menamatkan sekolahnya, Kartini memasuki pingitan. Hal tersebut harus terjadi dan merupakan perintah, walaupun menjadi konflik jiwa bagi Kartini. Namun, apabila sudah menjadi perintah ayahnya, Kartini tak dapat melawan
"Aku pandang menjadi kebahagiaan hidup bila dapat dan boleh menyerahkan diri seluruhnya buat pekerjaan ini. Namun lebih baik daripada semuanya itu seluruhnya ialah Ayahku, Stella,. Katakanlah aku pengecut, goyah tapi aku tak dapat berbuat lain kalau Ayah melarang aku berusaha berbuat itu betapapun meraung dan merintih hatiku, aku akan terima larangan itu dan tawakal. Keberanianku tidaklah cukup, untuk makin melukai dan makin merendahkan hatinya, hati yang setia itu yang begitu menyayangi daku..."
Berpisah dengan teman-teman dan gurunya membuat ia tersiksa. Ia tidak diizinkan oleh ayahnya untuk melanjutkan sekolahnya ke HBS di Semarang bersama kakak lelakinya. Selama empat tahun hidupnya menjadi murung dan sedih, hingga adik-adiknya mengalami masa pingitan seperti dia. Dia yang sebelumnya tidak pernah mengenal adik-adiknya dapat bersama-sama hidup menjadi satu keseluruhan.
Setelah empat tahun dalam pingitan, pada tahun 1896, Kartini mendapatkan kebebasannya kembali dengan melihat dunia luar. Kartini dan adik-adiknya berkereta pergi ke Kedung Penjalin untuk menghadiri pentahbisan sebuah gereja baru. Itulah pertama kali bagi Kartini menghadiri kebaktian Nasrani. Dan bagi Kartini, apa yang ia lihat dan ia dengar disana meninggalkan kesan yang mendalam bagi ia dan adik-adiknya. Hal tersebut di kemudian hari membuat Kartini dengan tulusnya dapat menghargai agama Nasrani.
Dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon dan Stella, Kartini ceritakan pula tentang keadaan rakyatnya di luar sana. Pada awalnya, Kartini merasa dia yang paling menderita karena masa pingitan, tapi setelah melihat kenyataannya rakyatnya sangat menderita. Mereka hanya bisa makan satu kali sehari, malulah Kartini terhadap keangkaraannya. Seketika itu juga menderu di telinga Kartini, "Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkan kebebasanmu! Baru kemudian kalau kau telah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong yang lain. Kerja! Kerja! Kerja! Aku dengar begitu jelas, nampak tertulis di depan mataku."