Lihat ke Halaman Asli

Hidup Lurus, Kok Malu?

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13763926571073024818

[caption id="attachment_272123" align="aligncenter" width="300" caption="Kok malu?"][/caption] Tulisan ini saya bikin sudah cukup lama, tapi sepertinya masih relevan untuk diangkat lagi. Apalagi mengingat sekarang ini makin banyak saja kawan saya yang jatuh dalam jurang keminderan.. *halah* :) Sepanjang hidup, saya sering bertemu dengan orang yang minder dengan dirinya sendiri. Malu dengan apa yang sudah ia kerjakan, karena merasa belum pernah meraih (achievement) apa-apa. Malu dengan nilai ujian minim, yang ia kerjakan dengan jujur, tanpa mencontek. Malah sebagian dari orang yang saya temui, merasa minder dengan profesi yang ditekuni orangtuanya--kata mereka, orangtua mereka "hanya" buruh kasar, tukang cuci, tukang tambal ban, tukang jaga pintu kereta api. Lha, aneh, bukankah itu cara mencari nafkah yang halal? Makanya, pertanyaan saya cuma satu, "Kok malu?" Ya. Kenapa harus malu? Memangnya apa yang membuat malu? Kalau ada kawan saya yang mengaku malu dengan nilai rendahnya (tapi bukan hasil menyontek), atau pekerjaan dia yang hanya pesuruh, atau pekerjaan orangtuanya yang menurut dia "rendahan", pasti langsung saya toyor. Hehehe.. :D Kawan, jangan malu. Sekecil apapun hasil dari upaya kita, tetaplah merupakan hasil dari jerih payah yang jujur. Berbesar hati, bahkan bangga-lah, karena kamu mampu tetap JUJUR. Beberapa tahun lalu, saya sering bertemu dengan seorang loper koran bernama Thamrin--saya memanggilnya dengan sebutan Bang Thamrin. Dia rajin menjajakan korannya kepada para penumpang. Termasuk kepada saya. Karena dulu saya sudah berlangganan koran The Jakarta Post dan tabloid dwimingguan PULSA, kalau di bus, bolehlah saya membeli koran lain. Bukan apa-apa, saya senang saja bisa menambah penghasilan orang lain. Apalagi jika orang lain tersebut, sang loper, adalah orang berbudi baik, sudah saya kenal dan anggap kawan sendiri. Suatu hari, saya ajak dia duduk di sebelah saya, karena waktu itu bus belum terlalu penuh. Eeeeh reaksi dia malah minder. "Wah, jangan, Mbak, saya cuma tukang koran," kata dia. "Lho, memangnya kenapa kalau tukang koran? Masa ngga boleh ngomong sama penumpang? Saya juga cuma penumpang kok, Bang," jawab saya. :D Dari situ, dia mulai mau bicara dengan saya. Setiap pagi. Pertama-tama sih cerita soal hal-hal ringan. Lama-lama dia curhat soal hidupnya. Singkat cerita, dia ini rupanya orang  seberang. Merantau di Jakarta hanya bermodalkan beberapa lembar baju. Tinggallah dia di rumah temannya. Macam-macam pekerjaan yang dia lakoni. Mulai dari jadi pedagang asongan, sampai menjadi loper koran. Pernah dia diajak bekerja yang gampang dapat uang: jadi maling/rampok, tapi dia menolak. "Tak apa saya dapat uang sedikit-sedikit, yang penting hati tenang karena uang yang saya dapat ini rezeki halal," kata dia. Nah.. Kalau begitu, kenapa harus malu sejak awal dan merasa diri CUMA tukang koran? Toh yang ia kejar adalah rezeki halal. Mungkin saat ini dia jadi loper. Tapi siapa tahu, ke depannya, dia jadi pemilik kios koran, lalu tambah lagi dua kios... Siapa tau kemudian dia jadi penerbit, lalu punya percetakan, dan seterusnya... Bukankah hidup itu roda--kadang kita di atas, kadang di bawah. Ketika kita di bawah, tetaplah bersemangatlah dan berpengharapan. Karena Tuhan tidak akan membiarkan kita SELALU di bawah. Dan, ketika kita sedang berada di atas, rendah hatilah, karena suatu ketika Tuhan akan mengembalikan kita di bawah guna mengajarkan tentang apa itu nikmatnya berada di atas. Jika saat kita di atas berlaku seenak udel, maka ketika kita jatuh, tak akan ada orang sudi mengulurkan tangan--sekadar untuk menyemangati moral kita. Jadi, siapapun kamu (dan orangtuamu)--penyapu jalanan, tukang sampah, tukang es cendol, tukang koran, tukang pel, OB, pegawai eselon VIII--saking bawahnya (ada gak ya? hehehe..), kondektur bus, sopir bus, masinis kereta--selama pekerjaan yang kamu lakukan halal, jangan minder! Jangan biarkan idealisme dirimu dihancurkan oleh senyum ejekan sebagian orang yang ngga mengerti sulitnya hidup. Yang penting, be smart. Inget pepatah: Life is hard. It's even harder if you are dumb. hehehe.. :D Tapi dumb or smart, tidak ditentukan oleh pendidikan (IQ). Yang penting luaskan wawasan--runcingkan EQ dan ESQ. Rajinlah membaca. Rajinlah merenungkan hidup dan semesta ini. Pada dasarnya, saya percaya, Tuhan sudah memberi kita (semua manusia) modal otak agar kita mau menggunakannya (menjadi cerdas). Lalu, jadilah KREATIF. Karena yang membuat dunia ini benar-benar berputar (tanpa terasa membosankan) adalah KREATIVITAS. Percaya apa nggak, hayooo?? :) Dan kamu yang kebetulan profesinya tinggi: dokter, pengacara, direktur, CEO, dan sejenisnya, stay humble. God loves warm-hearted and humble rich people. Don't you wanna be loved by God? :) Have a great Tuesday, comrades!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline