Lihat ke Halaman Asli

Agni dan Agni (Bag. 1)

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Agni!

Jantung Agni berdegup kencang memandang wajah cantik itu dari kejauhan. Ya, tak salah lagi. Itu Agni. Perempuan bernama sama, yang ia kenal sejak sekolah dasar. Dulu, nama serupa itu membuat Agni-perempuan dan Agni-laki-laki--dirinya--menjadi bahan ledekan seantero sekolah. Ada yang meledeki mereka kembar. Ada pula yang meledek jodoh.

Jodoh. Satu kata yang asing di telinga Agni saat itu. Betapa tidak, mereka hanyalah bocah berusia 10 tahun, ketika takdir mempertemukan. Agni-perempuan adalah murid pindahan. Kulitnya hitam manis, rambutnya lurus sebahu, bibirnya tipis keunguan dan matanya syahdu. Kedua bola mata syahdu itu membelalak indah ketika Agni mengetahui, ada seorang bocah laki-laki bernama sama dengan dirinya.

"Kok bisa ya?" seru Agni-perempuan kecil kala itu.

"Gue juga nggak tau deh," jawab Agni-laki-laki ingusan sambil berlalu. Dari sudut matanya, Agni-laki-laki menyadari bahwa Agni-perempuan penasaran.

Singkat cerita, mereka menjadi sahabat. Pergi dan pulang sekolah bersama, karena kok ya kebetulannya mereka bertetangga. Hanya beda tiga rumah.

Seiring waktu, Agni-perempuan tumbuh menjadi gadis rupawan. Tomboy, lepas dan meriah. Sementara dirinya, Agni-laki-laki, menjadi pribadi pendiam, sensitif dan tenang. Kontras, seperti langit dan bumi. Kontras, tapi, entah bagaimana, saling membutuhkan. Tanpa langit, bumi tak terlindungi. Tanpa bumi, langit hanya angkasa sepi tak berbatas.

"Agni, apa loe pernah berpikir, kenapa nama kita bisa sama, padahal gender kita berbeda?" tanya Agni-perempuan suatu hari.

Agni-laki-laki cuma tersenyum. Beberapa tahun sebelumnya, ia pernah bertanya hal serupa kepada orangtuanya. "Kata nyokap gue sih, nama gue, Agni, diambil dari bahasa Islandia, yang artinya orang yang ditakuti. Sekaligus dari bahasa Sansekerta, yang artinya api," jawab Agni-laki-laki.

Bibir Agni-perempuan segera berbentuk O, tanpa suara. "Kalau nyokap gue bilang, nama Agni itu artinya suci, dalam bahasa Yunani," kata Agni-perempuan. "Tapi kok bisa ya, nama yang sama digunakan untuk cowok dan cewek?" kicaunya lagi.

"Ya bisa aja kali. Nama Dian juga bisa dipakai sama cowok dan cewek kan? Andi juga. Audi juga. Hmm.. Apa lagi ya.."

"Ah, iya ya," Agni-perempuan tertawa terbahak. Agni-laki-laki, dirinya, hanya tersenyum bijak. Sungguh cantik dan enerjik Agni remaja. Tanpa sadar, Agni-laki-laki mulai merasa jatuh cinta.

Namun, ia ragu mengartikan kedekatan Agni-perempuan terhadap dirinya. Apakah hanya karena nama yang sama, atau memang Agni-perempuan tertarik kepadanya. Ia jadi merasa tak percaya diri setiap kali berada di hadapan Agni-perempuan.

Padahal, jika berada di tengah siswa lain, terutama gadis-gadis ABG, Agni adalah cowok populer. Ia tampan. Posturnya menjulang dan kakinya jenjang. Kulitnya terang dan mata yang agak sipit memperjelas garis keturunan Jepang yang mengaliri darahnya. Agni juga ramah, santun dan selalu siap membantu siapapun. Apalagi terhadap perempuan. Ibunya selalu mengajari dia agar menghormati perempuan. Perempuan adalah amanah, begitu pesan sang ibu kepadanya. Jadilah, Agni disukai--bahkan digilai--para gadis-gadis di sekolahnya.Tak ayal, para bocah laki-laki di sekolah terpecah dua. Sebagian menghormatinya, sebagian lain membencinya.

Hanya di hadapan Agni-perempuan, dirinya merasa lemah. Merasa tak percaya diri. Merasa takluk. Merasa tertolak. Tapi, tetap saja, ia terpesona.

'Ah, sudahlah,' Agni menggelengkan kepalanya, seakan ingin menepis benaknya dari ingatan hangat tersebut.

Tapi, apa yang Agni lakukan di sini?

"Ngeliatin apa, Bro?" tegur Samuel.

"Hmm? Nggak. Hanya memperhatikan mereka," jawab Agni. Kalem. Sam mengikuti arah mata Agni.

Lantas Sam tersenyum sambil mendengus pelan, "Mereka wartawan. Jangan sampai ngeh ada kita di sini."

Agni mengerjapkan mata, menyanggupi. 'Hmm.. Wartawan? Sejak kapan Agni jadi wartawan? Ya, memang pantas sih dengan sifat supelnya,' desis Agni dalam hati.

"Kalau diperhatikan, yang itu cantik-cantik ya," ujar Sam, sambil menunjuk beberapa wartawati. Salah satu yang ditunjuknya adalah Agni-perempuan. Jantung Agni mendadak berhenti. Tapi ia sudah terlatih untuk menyembunyikan emosinya.

"Jarang-jarang lho ada wartawan kriminal cantik. Sayang, kita nggak bisa mendekati, apalagi mengencani mereka. Bahaya, Bro. Bahaya," Sam terkekeh, memperlihatkan barisan gigi yang sudah tidak utuh. Salah satu gigi seri Sam pecah saat ia menerima pukulan seorang anggota geng kartel, demi melindungi Agni.

Senyum tipis. Cuma itu yang bisa Agni tunjukkan kepada Sam yang dihormatinya. Sam tidak tahu, betapa dadanya bergemuruh. Mendadak, perasaan yang sudah lama tertidur, meletup. Ia sungguh merindukan perempuan bernama Agni, yang kini berada 100 meter di seberangnya. Agni yang sedang berceloteh dengan kawan-kawannya. Sesekali tertawa terbahak. Tawa yang sama sejak dulu.

Agni menghela nafas berat. Ia memejamkan mata rapat-rapat, mencoba menghalau aliran perasaan dari hatinya yang terdalam. Ternyata ia masih mencintainya. Masih mencintai Agni, setelah belasan tahun terpisah.

Entah apa Agni menyadari kehadiran dirinya atau tidak. Sungguh ingin ia menunjukkan diri di depan Agni. Ingin melihat reaksi Agni. Apakah perempuan itu akan terkejut? Atau marah? Atau malah memeluknya? Pertanyaan-pertanyaan yang menyiksa, tapi harus ditahannya mati-matian, demi keselamatan Agni sendiri.

"Bro.." Sam menepuk pundaknya. Agni menatap laki-laki yang usianya 10 tahun lebih senior itu. "Demi kebaikan dia, lepaskan," ujar Sam. Agni tidak terkejut bahwa Sam juga menyadari deburan jantungnya. Sam pasti mengenali sinar matanya. Sinar mata kerinduan. Rindu kembali kepada kehidupan normal. Rindu kembali mencintai dan dicintai. Rindu yang harus ditahannya demi tugas.

"Suatu hari, Bro. Suatu hari.." Sam berlalu. Artinya Agni harus mengekornya. Menjauhi kerumunan para kuli tinta.

Sekilas, ia kembali menoleh. Setengah berharap Agni-perempuan menangkap sosoknya. Kemudian, matanya menangkap cincin melingkar di jari manis kanan Agni.

'Ah, dia sudah menikah,' Agni mengatur nafas. Sakit. Sakit sekali rasanya. Namun, ia tak berdaya. 'Tak apalah. Semoga dia bahagia. Yang penting, dia aman..'

Agni menghilang di balik rimbunnya hutan beton, menuju ke markasnya.

Bersambung ke Agni dan Agni (Bag.2).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline