Lihat ke Halaman Asli

Untuk Kita Biasa, untuk Orang Lain (Bisa Jadi) Luar Biasa!

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi ini, Senin, 21 April 2014, sekira pukul 06.18 WIB, kekasih saya menelepon. Bukan. Bukan untuk mengucapkan "Selamat Hari Kartini". ^_^ Dia menelepon untuk memberi kecupan pagi. Ahay! *ngakak* Nggak ding, sebetulnya dia menelepon untuk membicarakan sesuatu yang kaitannya dengan Curriculum Vitae (CV) alias Daftar Riwayat Hidup. Maklum, beberapa hari lalu ia mengirimkan CV-nya guna saya cermati. Dia merasa CV-nya kurang "nendang", jadi meminta saya memeriksanya. Yes, begitulah salah satu enaknya punya kekasih editor. Ehem. *promosi deh Nina* ^_^

Begitu menerima email darinya, saya langsung membukanya dan jadi agak-agak merinding membaca CV lelaki, yang baru seumur jagung menjadi yayang saya ini. Bagaimana nggak merinding, file CV-nya yang berformat .doc itu saja sudah berukuran 200 KB sendiri: Font tahoma ukuran 10, sebanyak 5 halaman. Aiiiih... Belum lagi attachment referensi yang dimasukkan ke folder tersendiri, mencapai 9 MB. Wow.. keren! ^_^

Jadi, kemarin malam saya bilang, "Ampun deh, Daeng ni orang hebat, Sayang skill Daeng tu. Banyak yang butuh orang dengan kualifikasi Daeng. Kenapa ngga coba main di Pusat? Tidak seharusnya orang Makassar takut merantau kan? Hehehe.. Rada nekat lah sedikit, kayak kami, orang Padang." Begitu saya katakan, melalui Blackberry Messenger (BBM).

Mungkin agak tersinggung dia reply, "Heee.. di mana daerah yang tidak ada orang Makassar? Madagaskar saja bisa dilalui hanya dengan kapal phinisi yang kecil."

Membaca balasan sang Daeng saya jadi tertawa sendiri. "Hihihihi... Makanya, masa pelaut ulung kalah sama ahli masak?" saya tulis lagi begitu, dan dia menyahuti dengan emoticon tertawa.

Lalu tadi pagi, dia bertanya lagi, "Bagian mana di CV saya yang kelihatannya hebat? Nggak hebatlah itu. Biasa saja."

"Nah, begitulah kecenderungan manusia. Lupa menghargai dirinya sendiri. Sampai-sampai menganggap biasa kehebatan dirinya. Mungkin buat Daeng, itu biasa. Tapi buat orang lain, buat saya, luar biasa itu," jawab saya.

"Ah itu kan karena kita dekat," godanya.

"Aihhh.. kalau kita ni tidak dekat, maka saya tidak akan tahu sifat Daeng yang kadang terlalu merendahkan diri sendiri. Dan kalau kita tidak dekat, mustahil saya berani berkomentar begini kepada Daeng. Yang ada saya sudah mlipir duluan, kabur. Takut dianggap menggurui. Dianggap mengajari ikan berenang," sahut saya panjang. Terdengar ia terkekeh di seberang sana.

"Jangan saya terlalu diangkat atau dipuji. Saya takut malah jadi riya'. Saya terbiasa rendah hati. Itu sifat yang diturunkan mama saya," ujarnya.

"Sifat begitu bagus untuk pribadi, tapi kurang bagus untuk karier. Daeng harus membedakan bahwa unjuk kemampuan itu bukan riya', tapi being professional. Sekarang coba cara pandangnya digeser. Apa Daeng nggak kasihan sama company (perusahaan) atau Non-Government Organization (NGO) atau Perusahaan Modal Asing (PMA) meng-hire orang yang kurang cakap hanya karena mereka ngga tahu kalau Daeng sebenarnya orang yang lebih tepat dan lebih capable? Seharusnya mereka bisa meng-hire Daeng. Tapi karena Daeng enggan unjuk diri, jadinya mereka luput melihat berlian di depan mata," jelas saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline