Lihat ke Halaman Asli

Khayalan Tingkat Tinggi

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Laki-laki kepala empat itu duduk sambil menopang kaki di atas meja. Nyaman sekali ia duduk di kursi empuk itu layaknya seorang raja di atas singgasana. Senyum pongahnya pun terkembang. Memamerkan sejumlah gigi yang berbaris tak rapi. Merasakan nikmatnya kesuksesan bak kejatuhan bintang. Di sebuah ruangan sejuk ber-AC dan nyaman tak terkira.

Ilustrasi : www.shutterstock.com

Langit luas di sana bagai miliknya. Ditemani gedung-gedung menjulang yang tergambar di kaca jendela, ia merasa pantas untuk berbangga. Jalan melingkar-lingkar yang disemuti jutaan kendaraan di bawah sana hanyalah hiasan tak bernyawa. Karena di dalam ruangan itu…, dilingkari meja gagah bertuliskan CEO itu…., ia merasa telah menjadi penguasa ibukota!

“Haaaah… tak sia-sia kerja kerasku selama ini…” Sambil melipat kedua tangan guna menumpu kepala, pandangan laki-laki itu menyapu langit-langit ruangan yang bersih dan bebas sarang laba-laba. “Istri dan anak-anakku sudah bahagia…. Sampai mati pun mereka akan selalu bahagia….”

Ada rasa haru bergemuruh di dadanya. Mengingat betapa ia sangat mencintai keluarganya. Apapun akan dilakukannya demi kebahagiaan orang-orang yang ia cintai. Ibarat kaki jadi kepala, kepala jadi kaki.

Tiba-tiba saja pintu ruangan terbuka lebar. Sesosok wanita cantik muncul di bingkai pintu. Penampilannya sungguh elegan nan menawan, khas seorang sekretaris. Sesaat laki-laki tersebut sempat terperanjat. Mukanya berubah pucat. Cepat-cepat ia bangkit dari kursi empuk itu dan mengambil posisi berdiri di dekat jendela kaca. Rikuh, tak berkutik. Seketika senyum pongahnya tadi lenyap bagai tersapu badai gurun.

“Pak Sis, dipanggil Pak Rudy di ruang HRD…..” ucapsekretaris cantik itu yang entah mengapa rautnya lebih mirip jeruk purut di mata laki-laki tersebut.

“Oh, baik…. Terima kasih informasinya, Mbak Shinta…,” angguk laki-laki itu. Lalu tanpa menunggu lagi, dengan langkah seribu ia berlalu dari ruangan tersebut. Sang sekretaris pun hanya mampu menggeleng-geleng kepala menatap punggung laki-laki tersebut dari kejauhan hingga menghilang. Sekilas ada sorot iba terpancar di matanya.

“Kenapa, Shinta? Kok bengong?” Seorang rekan kerja sang sekretaris menepuk bahunya tiba-tiba. Sang Sekretaris cantik itu menoleh cepat, terburu mengoyak lamunannya.

“Eh..oh… kamu Winne… Ah, nggak… aku cuma… merhatiin Pak Sis..”

“Pak Sis?”

“Iya… udah beberapa hari ini, sejak Pak Richard sakit… aku liat Pak Sis sering berlama-lama di ruangan Pak Richard, Win….”

“Ah, masa? Kan Pak Sis memang harus ngebersihin ruangan Big Boss dengan hati-hati… Wajar donk kalo dia harus lebih lama di dalam ruangan itu…”

“Wajar gimana? Udah beberapa hari ini aku nge-gap dia duduk di kursi Big Boss sambil ongkang-ongkang kaki di atas meja…”

“What?”

“Hmmm…. kasian… kata orang-orang, sejak istri dan anaknya meninggal karena kecelakaan, Pak Sis berubah…. jadi kurang normal…”

“Gila, maksudmu?” Winne memiringkan telunjuknya di jidat.

“Entahlah, Win…. Akhir-akhir ini, aku memang menangkap gelagat itu. Mungkin… hari ini bisa menjadi hari terakhirnya bekerja di sini. Pak Rudy sudah memanggilnya….”

Seusai mengucapkannya, Sang Sekretaris pun hanya mampu tertunduk pilu. Ada sedikit sesal menyeruak karena telah melaporkan Pak Sis kepada Pak Rudy, Manajer HRD, tadi pagi. Namun hal tersebut harus ia lakukan sebelum semuanya terlambat. Ruangan Pak Richard, bos-nya, bukanlah ruangan yang tepat digunakan sebagai ‘taman bermain’ atau sekedar ‘pelepas khayal’. Karena di ruangan tersebut bergantung keputusan milyaran bahkan trilyunan rupiah yang menyangkut hajat hidup ribuan karyawan perusahaan. Bukan hanya hajat hidup Pak Sis seorang…..

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline