[caption id="attachment_170315" align="alignright" width="400" caption="Ilustrasi :www.myniceprofile.com"][/caption]
Seperti bintang-bintang Hilang ditelan malam Bagai harus melangkah Tanpa kutahu arah Lepaskan aku dari
Derita tak bertepi Saat kau tak disini Seperti dedaunan Berjatuhan di taman Bagaikan debur ombak Mampu pecahkan karang Lepaskan aku dari Derita tak berakhir Saat kau tak ada disini
Reff : Saat kau tak ada Atau kau tak disini Terpenjara sepi Kunikmati sendiri Tak terhitung waktu Tuk melupakanmu Aku tak pernah bisa Aku tak pernah bisa... (***)
Daffa melepaskan sepasang earphone dari telinga Rinjani yang masih terbaring dalam tidur panjangnya.
"Maaf, aku pinjam I-Pod-mu, Rin. Kamu suka lagu ini kan? Diza yang bilangin ke aku. Ternyata setelah dengerin lagu ini, aku jadi ikutan suka. Aku gak peduli kalau pun kamu suka lagu ini karena kangen Robby, karena sebenarnya lagu ini juga bikin aku kangen kamu.... " Sambil tersenyum laki-laki itu mengusap-usap rambut istrinya dengan lembut.
RINJANI. Ia sangat cantik di mata Daffa. Meskipun wajahnya begitu pucat, bahkan masih tak bergerak. Hanya terdengar desahan nafas teratur dari alat bantu pernafasan. Berbagai macam selang tampak berseliweran menempel di tubuh istrinya. Menandakan betapa tipisnya perbedaan hidup dan mati bagi Rinjani saat itu. Meski hatinya hancur melihat kenyataan yang ada, Daffa mencoba tegarkan diri menghadapinya.
Dengan perlahan Daffa menyentuh lembut pipi perempuan di pembaringan itu. Ia terus menelusuri lekuk wajah sang istri dengan ujung jemarinya. Betapa ia sangat merindukan tatapan Rinjani, walaupun seringkali tatapan itu menusuk relung hati. Seketika terbersit sebuah rasa syahdu yang membuat Daffa tak kuasa meneteskan air mata. Sungguh! Ia benar-benar merindukan sorot keindahan itu bersinar kembali.
Sudah beberapa minggu Rinjani terbaring kaku dalam kondisi koma. Belum ada perkembangan sama sekali. Dan baru kali inilah ia diperbolehkan lagi membezuk sang istri. Itu pun karena sebuah pengecualian. Mungkin ini terakhir kalinya ia bisa bertemu Rinjani sebelum berangkat ke Jerman.
Daffa masih teringat percakapannya berdua dengan Mami sore itu, seusai Papi membuat keputusan yang sangat menghujam jantungnya. Ia harus bercerai dengan Rinjani!
Ia tahu, Mami berusaha menenangkan hatinya saat itu. Beliau seperti dapat membaca kepedihan Daffa yang sedang terpukul.
"Sejak pertama Mami mengenalmu dulu, Mami tau kamu anak yang baik dan tegar, Daffa..”
Daffa termangu mendengar ucapan Mami.
“Tapi saya gagal melindungi Rinjani, Mi… Saya merusak kepercayaan Mami dan Papi”
“Bagi Mami, kau tak gagal, Nak. Mami paham betul sifat Rinjani dan sifatmu juga….,” ucap wanita itu sambil tersenyum lembut. “Mami percaya padamu…”
Daffa menghela nafas panjang. Berusaha melepaskan sesak yang membuncah di dada.Sesaat ditatapnya wajah ibu asuhnya yang bijaksana itu. “Makasi banget Mami masih mempercayaiku. Tapi tetap saja aku sudah mengecewakan Papi dan Mami. Aku benar-benar minta maaf, Mi…”
Mami menggeleng pelan sambil tersenyum tulus. “Kami yang seharusnya minta maaf padamu, Nak. Tak sepantasnya kami memperlakukanmu seperti ini. Tapi, tadi Mami sudah bicarakan baik-baik dengan Papi. Mami meminta Papi menimbang ulang keputusannya dan memberikan kesempatan sekali lagi demi keutuhan rumahtangga kalian berdua. Akhirnya… Papi memulangkan semua keputusan pada Rinjani jika ia sadar dari komanya nanti. Tapi dengan satu syarat, kamu gak boleh menemui Rinjani sampai ada keputusan yang diambilnya….”
Daffa terhenyak mendengar kalimat Mami barusan. Sebuah syarat yang sangat menyakitkan!
Sejenak Daffa mengatup mata dan bibirnya pun masih terdiam. Ia berusaha menenangkan segala gemuruh di dada. Ia tak tahu sampai kapan ia sanggup bertahan dalam kondisi seperti itu. Ia punya hati… ia punya jiwa… dan ia juga punya harga diri! Ia merasa terombang-ambing. Di satu sisi ia begitu kecewa terhadap sikap Papi, namun di lain sisi ia benar-benar tak ingin berpisah dengan Rinjani, apalagi dengan cara seperti ini.
“Maaf, Nak… Mami dengar kau berencana menangguhkan program beasiswa PhD-mu ke Jerman? Bukankah itu impianmu sejak dulu? Boleh Mami tau kenapa?”
“Mmmm…., saya hanya menunggu saat yang tepat, Mi...”
“Maksudnya?”
“Sejujurnya saya menunggu saat yang tepat untuk membicarakan hal ini pada Rinjani, Mi. Saya…. pengen banget membawa Rinjani ke sana . Tapi…. Menurut saya, Rinjani gak akan mau ikut seandainya saya mengajaknya saat ini. Saya gak ingin membuatnya terpaksa mengikuti kemauan saya, sedangkan hatinya gak bahagia. Tapi di sisi lain, saya merasa belum sanggup berpisah dengan Rinjani…. Mungkin saya masih butuh waktu untuk meyakinkannya ” ungkap Daffa pelan.
Seketika Mami terperanjat mendengar penjelasan itu. Entah apa yang ada dipikiran Mami sesudahnya. Mami terdiam sesaat sebelum akhirnya beliau mengucapkan kata-kata yang tak terkira sama sekali oleh Daffa.
“Pergilah, Nak. Kejar impianmu itu… Cukup sudah kau berkorban demi Rinjani. Mungkin akan lebih baik jika kau tak terombang-ambing dalam kondisi seperti ini. Berada di sini pun jelas akan lebih menyakitkan buatmu, karena Papi gak memperbolehkanmu menemui Rinjani lagi untuk saat ini. Tapi... apapun yang terjadi, kau tetaplah anak mami dan papi, Daffa.”
Itulah ucapan terakhir yang didengarnya dari bibir Mami yang langsung menyentuh dasar jiwa. Ucapan itu mungkin sedikit ‘menyentil’, namun ia tahu bahwa Mami sangat memahami kelelahan jiwanya menghadapi segala permasalahan yang bertubi-tubi sejak awal pernikahannya dengan Rinjani. Ia benar-benar tak tahu apakah itu sebuah solusi atau hanya sebagai pelarian saja? Ia harus menunggu hingga keputusan untuk berpisah itu keluar dari mulut Rinjani sendiri. Semua terasa menggantung dan cukup menyiksa batinnya. Maka, detik itu juga, Daffa bertekad untuksegera membuat keputusan demi masa depannya. Ya, aku tak bisa terus-menerus terpuruk seperti ini...!!!
Daffa tergugah dari lamunannya ketika suara Mami menyapa.
“Daffa… kau harus segera berangkat, Nak… “ ucap Mami sembari menepuk-nepuk bahunya perlahan.
Daffa menoleh sambil mengangguk. Entah mengapa, semua terasa begitu berat baginya. Ia pun bangkit sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Lalu sebuah kotak berwarna merah hati diserahkannya ke tangan Mami.
"Mi, bisa kan saya titipkan kotak ini untuk Rinjani kalau dia siuman nanti? Hari ini ulang tahunnya dan cuma kado ini yang bisa saya berikan untuknya sebelum pergi."
Mami mengangguk pelan. Beliau menatap Daffa dengan mata berkaca-kaca. Sejenak kemudian dipeluknya menantunya itu dengan penuh kasih sayang. "Hati-hati di jalan ya, Nak. Jaga dirimu baik-baik di sana... Maafin Mami gak bisa ngantar kamu ke bandara karena harus menemani Rinjani... "
Sekuat hati Daffa berusaha menahan berjuta rasa perih dan harunya. Mami dan Papi bagaikan orangtua kandungnya sendiri. Selintas ia merasa gamang harus pergi meninggalkan semuanya. "Saya pamit, Mi. Maafkan segala kesalahan saya. Tolong jaga Rinjani ya, Mi...."
Mami mengangguk sekali lagi. "Pamitlah... padanya, Daffa. Ia.. pasti.. mendengarkan ucapanmu....," ujar Mami mulai tersedu-sedu.
Daffa pun mendekati sosok perempuan yang masih terbaring kaku itu. Ia hampir tak sanggup menahan gejolak hatinya saat menatap wajah damai Rinjani. Dipeluknya perempuan itu dengan segenap jiwanya. Sebab mungkin itulah terakhir kalinya ia bisa bertemu dengan Rinjani. Ia sudah pasrah pada apapun yang akan terjadi. Dengan perlahan, ia pun membisiki sesuatu ke telinga istrinya. "Aku harus pergi, Rin. Maafkan aku karena gak bisa membahagiakan dan melindungimu selama ini... Aku mohon kamu harus tetap kuat ya? Kamu harus bangun dan ceria seperti dulu lagi..... Selamat Ulang Tahun, Istriku......... Aku.... mencintaimu....."
Seusai mengucapkan kalimat itu, dada Daffa kian bergemuruh oleh sesak perih di jiwa. Sambil mengecup kening istrinya, ia tak kuasa lagi menahan air mata yang membuncah. Entah mengapa akhir-akhir ini ia menjadi lebih melankolis. Padahal sejak dulu ia lebih mengutamakan logika daripada perasaannya. Bahkan menurutnya, menangis adalah hal yang sangat tabu bagi seorang lelaki! Namun yang terjadi kini justru sebaliknya... Mungkin kehadiran Rinjani telah mengubah jiwanya menjadi lebih perasa...
Mami menatap pemandangan itu dengan penuh haru. Ia pun harus melepas kepergian Daffa dengan isak tangis yang belum mau juga berhenti. Namun tiba-tiba saja Mami terperanjat melihat sebuah kejadian yang hampir tak terduga... Meski masih dalam kondisi koma, Rinjani menunjukkan reaksi atau respon untuk pertama kalinya! Jemari tangannya sedikit bergerak-gerak. Bahkan yang lebih mengagetkan lagi, sepasang embun hangat mengalir dari sudut mata Rinjani yang terkatup, saat Daffa telah pergi meninggalkannya. Sejenak Mami segera menyadari, mungkin Rinjani pun sedang menangis di alam bawah sadarnya...
***
(Bersambung)
*Catatan :
- Kisah ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh dan kejadian, hal tersebut hanyalah ketaksengajaan belaka….
- Jika teman-teman belum sempat membaca kisah-kisah sebelumnya bisa langsung klik di Bagian 1,Bagian 2, dan Bagian 3. Makasiiii…. :)
- (***) Lagu : Saat Kau Tak Di Sini, Penyanyi : Ajeng, Lirik-nya hasil nyomot di sini. Yuuuukkk... ngintip video klip-nya yang bikin termehek-mehek di sini. Suerrrr, aq sukaaaaaaaaaaaaaaa bangeeeeeeeeeeeeeetttttt!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H