Lihat ke Halaman Asli

Jangan Dipandang Sebelah Mata

Diperbarui: 13 Desember 2024   12:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekspresikan Dirimu (sumber: https://cdn.pixabay.com/photo/2017/07/15/15/50/fantasy-2506830_960_720.jpg)

Diskriminasi terhadap perempuan adalah masalah yang telah berlangsung lama dalam sejarah umat manusia. Meskipun terdapat berbagai upaya untuk mengatasi ketidaksetaraan gender, baik melalui peraturan, kebijakan, maupun gerakan sosial, kenyataan menunjukkan bahwa perempuan masih sering dipandang sebelah mata di banyak aspek kehidupan. Ketika membahas mengapa perempuan dipandang sebelah mata, kita tidak hanya berbicara tentang ketidakadilan terhadap mereka secara langsung, tetapi juga mengenai struktur sosial dan budaya yang sudah lama terbentuk yang memperlakukan perempuan sebagai kelompok yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Pandangan semacam ini, yang terus terpelihara dalam banyak masyarakat, telah memberikan dampak besar pada kehidupan perempuan di seluruh dunia.Warisan Budaya dan Norma Sosial
Salah satu alasan utama mengapa perempuan dipandang sebelah mata adalah karena adanya konstruksi sosial dan norma budaya yang membatasi peran mereka. Sejak zaman dahulu, banyak masyarakat yang memandang laki-laki sebagai simbol kekuatan, dominasi, dan otoritas, sedangkan perempuan lebih sering dianggap sebagai pihak yang lebih lemah, emosional, dan tidak mampu mengambil keputusan besar dalam kehidupan. Dalam banyak kebudayaan tradisional, peran perempuan terbatas pada tugas-tugas domestik, seperti merawat rumah tangga, mengasuh anak, dan menjadi pendamping suami. Pandangan ini secara tidak langsung mengarah pada stereotip bahwa perempuan tidak dapat mengelola urusan publik atau berperan di dunia politik, ekonomi, atau profesional.

Norma sosial yang mengatur peran gender ini semakin dikuatkan melalui saluran-saluran seperti keluarga, pendidikan, dan media. Sejak kecil, anak-anak diajarkan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah dan pemimpin, sementara perempuan adalah pengasuh dan pengurus rumah tangga. Hal ini tercermin dalam cara orang tua mendidik anak mereka, serta pilihan karier yang seringkali dipengaruhi oleh peran yang sudah ditentukan dalam masyarakat. Meskipun di banyak negara kebijakan kesetaraan gender semakin berkembang, pola pikir dan kebiasaan yang telah tertanam dalam masyarakat seringkali menjadi penghalang besar dalam upaya mewujudkan kesetaraan yang sesungguhnya.

Objektifikasi Perempuan dalam Media dan Iklan
Media memiliki peran yang sangat besar dalam memperkuat stereotip dan pandangan sebelah mata terhadap perempuan. Dalam banyak film, iklan, dan program televisi, perempuan sering kali digambarkan secara tidak adil dan merendahkan. Mereka lebih sering digambarkan sebagai objek seks atau sebagai peran pendukung bagi karakter laki-laki yang lebih dominan dan penting. Dalam banyak iklan, perempuan sering kali diposisikan dalam konteks penampilan fisik, seperti iklan kosmetik atau produk yang menekankan kecantikan. Media seperti ini menyampaikan pesan bahwa nilai perempuan hanya terletak pada penampilan fisik mereka dan bukan pada kemampuan atau kualitas intelektual mereka.

Selain itu, representasi perempuan dalam media seringkali terbatas dan tidak mencerminkan keragaman peran yang bisa mereka jalani. Ketika perempuan muncul dalam peran yang lebih cerdas, kompeten, atau aktif, mereka sering kali digambarkan sebagai pengecualian, bukan sebagai norma yang dapat diterima. Hal ini membatasi ruang bagi perempuan untuk berkembang dan mendapatkan pengakuan atas pencapaian mereka, sementara kesuksesan atau kegagalan mereka sering kali dipandang sebagai hasil dari kelakuan mereka sendiri, bukannya dari faktor eksternal yang memengaruhi.

Ketimpangan Pendidikan dan Akses terhadap Peluang
Salah satu faktor utama yang berkontribusi pada pandangan sebelah mata terhadap perempuan adalah ketidaksetaraan dalam akses pendidikan. Meskipun ada kemajuan besar dalam meningkatkan akses pendidikan untuk perempuan di banyak negara, terutama dalam dua dekade terakhir, ketimpangan tersebut masih sangat terasa di banyak bagian dunia. Di negara-negara berkembang, seringkali ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu melanjutkan pendidikan tinggi karena peran utama mereka adalah mengurus rumah tangga atau merawat keluarga. Hal ini membatasi kemampuan perempuan untuk memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk berkarier di berbagai bidang, baik itu dalam dunia profesional, politik, maupun sosial.

Pendidikan adalah kunci untuk pemberdayaan perempuan, dan ketika perempuan tidak diberikan kesempatan yang setara untuk mengakses pendidikan, mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri, memperoleh penghidupan yang layak, dan berkontribusi pada masyarakat secara maksimal. Ketimpangan ini memperburuk pandangan bahwa perempuan tidak cukup mampu untuk berkompetisi dalam dunia kerja, atau bahwa mereka lebih cocok menjalani peran-peran domestik dan mendukung laki-laki dalam peran publik.

Kekerasan Berbasis Gender dan Ketakutan Akan Penolakan
Kekerasan berbasis gender adalah masalah besar yang sering kali memperburuk pandangan sebelah mata terhadap perempuan. Kekerasan fisik, seksual, emosional, dan psikologis yang dialami perempuan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang "biasa" atau bahkan dianggap sebagai bagian dari budaya tertentu. Di beberapa masyarakat, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya ditoleransi, tetapi bahkan dianggap sebagai cara untuk mengendalikan atau mengatur perilaku perempuan.

Pandangan ini juga didorong oleh budaya yang menganggap perempuan sebagai pihak yang lebih lemah dan tidak memiliki kendali atas tubuh dan nasib mereka. Kekerasan terhadap perempuan sering kali dianggap sebagai hasil dari kelakuan atau perilaku perempuan itu sendiri, bukan sebagai akibat dari ketidaksetaraan yang sistemik dan budaya yang menindas. Lebih buruk lagi, perempuan yang melawan kekerasan atau yang menuntut hak-hak mereka sering kali dipandang sebagai "terlalu vokal," "kurang feminin," atau "melawan tatanan sosial." Ketakutan akan stigma sosial dan sanksi-sanksi ini sering membuat perempuan tidak berani untuk melawan, yang semakin memperburuk ketidaksetaraan yang ada.

Stereotip Gender yang Mengakar Kuat
Stereotip tentang perempuan juga merupakan salah satu alasan mengapa mereka sering dipandang sebelah mata. Banyak stereotip yang sudah terbentuk mengenai perempuan, seperti anggapan bahwa perempuan lebih emosional, lebih lemah, atau kurang rasional dibandingkan laki-laki. Stereotip ini tidak hanya merendahkan kemampuan perempuan, tetapi juga menghambat kebebasan mereka untuk mengejar cita-cita atau ambisi mereka tanpa takut dianggap melanggar norma-norma gender yang ada.

Ketika perempuan menunjukkan ketegasan atau kepemimpinan, mereka sering dianggap "terlalu dominan" atau "kurang feminin," yang memperkuat pandangan bahwa perempuan tidak seharusnya memegang posisi kekuasaan atau otoritas. Ini dapat membatasi peluang mereka untuk mengambil peran-peran penting di dunia politik, bisnis, atau ilmu pengetahuan. Dalam banyak kasus, perempuan yang sukses dalam karier mereka sering kali dipandang sebagai pengecualian, bukan sebagai contoh dari kemampuan perempuan secara umum.

Pandangannya bahwa perempuan dipandang sebelah mata adalah hasil dari kombinasi berbagai faktor yang saling berkaitan, mulai dari warisan budaya dan norma sosial yang membatasi peran mereka, hingga ketimpangan dalam pendidikan, media, dan kekerasan berbasis gender. Diskriminasi terhadap perempuan terjadi tidak hanya dalam bentuk ketidakadilan langsung, tetapi juga dalam bentuk ketidakadilan yang lebih halus dan sistemik yang telah mengakar dalam masyarakat. Untuk mengubah pandangan ini, diperlukan perubahan yang mendalam dalam struktur sosial, kebijakan publik, dan pola pikir masyarakat. Ini termasuk memastikan akses pendidikan yang setara, menghapus stereotip gender, mengakhiri kekerasan berbasis gender, dan memberikan ruang yang lebih luas bagi perempuan untuk berkembang dan berkontribusi dalam masyarakat tanpa takut dipandang sebelah mata. Dengan begitu, perempuan akan memperoleh kesempatan yang setara untuk menjalani hidup mereka sesuai dengan potensi yang dimiliki, tanpa dibatasi oleh norma yang tidak adil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline