Menjadi Pribadi Yang Otentik: Kesadaran dan Tanggung Jawab
Tinjauan Filosofis Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Manusia pertama-tama ada, berjumpa dengan dirinya (kesadaran), muncul di dunia dan menentukan dirinya (kebebasan dan tanggung jawab).
Menjadi pribadi yang otentik merupakan impian dan dambaan semua manusia. Menjadi pribadi yang otentik berarti seseorang memiliki keselarasan atau keseimbangan atau lebih tepatnya kematangan dalam dimensi emosi, spiritual, intelektual, tindakaan, afeksi dan lain-lain. Maka seluruh peziarahan hidup manusia tidak lain dan tidak bukan adalah penyelarasan seluruh dimensi yang ada dalam dirinya. Ketika seseorang telah mencapai keselarasan tersebut ia dapat dikatakan sebagai pribadi yang otentik, yakni dapat dipercaya, asli dan sejati.
Di samping itu, ke-otentikan diri tidak dipahami sebagai sesuatu yang statis. Bahwa kita tidak perlu memperjuangkannya setelah kita sudah mencapainya. Tetapi ia harus diperjuangkan secara terus menerus untuk dipertahankan dan dikembangan. Sebab, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dinamis, yang selalu terbuka pada perubahan dan perkembangan, dimana dapat mempengaruhi kesejatian dirinya. Manusia yang menyadari ke-berada-annya di dunia ini dalam bingkai kebersamaannya dengan yang lain pun turut memberi dampak pada pembentukan kesejatian dirinya. Hal ini yang digeluti oleh para filsuf eksistensialis, yang merefleksikan manusia dalam kaitannya dengan fenomena hidup sehari-hari. Sebab, Eksistensialisme memberikan tekanan yang sangat kuat pada yang konkret dan yang real.
Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu, dan bereksistensi yaitu menciptakan dirinya secara aktif, berbuat menjadi dan merencanakan.[i] Disamping itu, bereksistensi harus diartikan secara dinamis, artinya menciptakan dirinya secara aktif. Dengan kata lain, manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Maka eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konret dan pengalaman eksistensial.[ii] Tujuannya adalah membuka ilusi kehidupan sehari-hari dan meminta perhatian manusia pada suatu pandangan yang serius mengenai tanggung jawab mereka.[iii]
Jean-Paul Sartre, seorang filsuf Perancis di abad 20 adalah salah satu pemikir Eksistensialis yang membicarakan manusia sebagai subjek yang eksistensial. Menurutnya, Eksistensialisme juga merupakan filsafat tentang 'ada', tetapi dia menolak untuk membakukannya menjadi satu-satunya hakikat pemikiran. Ia menganggap bahwa Eksistensialisme merupakan pengalaman personal manusia sebagai subjek. Dia menyebut 'etre-en soi' terhadap objek kesadaran manusia dan 'etre-pour soi' terhadap kesadaran manusia itu sendiri. Tujuan kesadaran manusia menurut Sartre adalah menjadi 'etre-en soi- etre-pour soi' atau 'kesadaran yang penuh pada dirinya.
Dua hal yang mau ditelaah penulis dalam pembahasan ini adalah soal Kesadaran dan Tanggung Jawab, yang secara khusus diperhatikan oleh Sartre sekaligus mau dihubungkan dengan pembentukan karakter manusia. Tetapi sebelum masuk pada inti pembahasan, hendaklah kita mengenal secara singkat biografi dari tokoh tersebut.
A. Biografi Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre merupakan tokoh eksistensialisme yang lahir pada 21 Juni 1905 di Paris. Ayahnya bernama Jean Baptiste seorang perwira Angkatan Laut Prancis dan ibunya Anne-Marie. Ketika berusia 15 bulan ayahanya meninggal karena menderita penyakit usus. Sejak saat itu Sartre diasuh oleh ibu dan kakek-neneknya., yaitu Charles dan Louise Schweitzer. Charles (kakek Sartre) adalah seorang guru bahasa dan pengarang buku bahasa Jerman.[iv] Figure kakeknya ini memberi pengaruh bagi Sartre dikemudian hari.
Sejak kecil Sartre memiliki tubuh atau fisik yang lemah, sehingga menjadi cibiran sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu, ia adalah pribadi yang suka menyendiri dan menghabiskan waktunya untuk melamun dan berkhayal. Namun, hal ini berbeda dengan kemampuan intelektualnya. Sartre dikenal sebagai anak yang cerdas, dan mempunyai semangat tinggi dan ketekunan dalam belajar. Pada usia yang ke tujuh belas tahun, ia memulai enam tahun studinya di Universitas Sarbone untuk mendapat aggregation, suatu ujian yang memberi peluang karier akademis dalam filsafat. Pada 1928 ia gagal dan parahnya mendapat peringkat terakhir dikelasnya. Namun, dari penundaan itu ia bertemu Simone de Beauvoir, seorang tokoh feminis yang menjadi kekasih seumur hidup. Mereka sering bersama dan menjadi kekasih intelektual juga. Sartre lulus sebagai peringkat pertama pada ujian tersebut dan Simone de Beauvoir peringkat sesudahnya. Pada tahun 1929 mengikuti wajib militer. Ia sempat ditahan Nazi pada 21 juni 1940 hingga akhirnya melepaskan diri pada maret 1941.[v]