Lihat ke Halaman Asli

Firmauli Sihaloho

Bataknese who Grown in West Sumatera & Working in Riau Province

Pentingnya Literasi Energi demi Indonesia Bebas Emisi

Diperbarui: 23 Oktober 2021   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustrasi Tumbuhan Alga (Pexels.com)

Warnanya hijau dan kerap dijumpai di kolam berukuran kecil hingga besar. Bahkan juga bisa hidup di aquarium. Jika disentuh, benda ini terasa berlendir dan basah. Ledakan populasinya kerap menjadi masalah karena menganggu pemandangan.

Tapi siapa sangka, tumbuhan Alga itu bisa diubah menjadi sumber energi. Organisme ini bisa menjadi sumber energi alternatif pengganti minyak bumi. Bahkan, jenis bahan bakar nabati ini dijuluki sebagai Biofuel Generasi Ketiga atau Blue Energy.

Pertumbuhan Alga yang begitu cepat, apalagi di daerah yang beriklim tropis, mendorong berbagai negara untuk mengembangkan potensi ini, termasuk Indonesia. Bagaimana tidak, melansir Oilgae.com, alga bisa menghasilkan hingga 10 ribu galon per acre. Sementara Kedelai biasanya menghasilkan kurang dari 50 galon minyak per acre dan tumbuhan rapa seperti Bunga Matahari hanya menghasilkan kurang dari 130 galon per acre.

Maka tak heran, pemerintah Indonesia saat ini memasukkan tumbuhan Alga sebagai sumber Energi Baru Terbarukan. Hal itu tergambar dari keberhasilan Pertamina dalam mengembangkan fasilitas 5000 liter microalga photobioreactor. Dan proyek itu kini bersiap untuk mencapai skala komersial budidaya dan produksi pada tahun 2025.

Budidaya dan pengolahan alga ini dinilai mampu mengurangi limbah serta mengurangi polusi. Kemudian, proses fotosintesis Alga bisa mengendalikan polusi udara, khususnya gas rumah kaca karbondioksida (CO2) yang saat ini menjadi perhatian dunia atas perubahan iklim yang ekstrim.

Selain ramah lingkungan, tumbuhan Alga juga membawa efek domino bagi masyarakat dari sektor ekonomi dengan menjadi pembudidaya Alga. Mengingat Alga mampu berkembang di kolam terbuka, danau dan laut.

Energi ramah lingkungan berikutnya ialah Biodiesel 30 atau B30. Bahan bakar hasil percampuran minyak kelapa sawit atau fatty acid methyl ester (FAME) sebesar 30 persen dengan campuran solar sebesar 70 persen ini menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di dunia yang menggunakan B30.

B30 diklaim lebih ramah lingkungan. Hal itu terbukti dari berbagai uji coba yang dilakukan, yakni  nilai cetane yang lebih sedikit sehingga bisa terdegradasi dengan mudah, tidak mengandung sulfur dan senyawa aromatic sehingga emisi yang dihasilkan lebih ramah terhadap lingkungan.

Bahkan, pada tahun 2020 lalu, Kementerian ESDM memperkirakan penggunaan Biodiesel pada pasar domestik sebesar 8,4 juta kiloliter mampu mengurangi gas emisi rumah kaca sebesar 22,4 juta ton c02 equivalent.

Dampak positif lainnya ialah pengurangan impor bbm, menghemat devisa hingga membuka lapangan kerja baru, baik offshore dan onshore.

Yang lebih penting dalam pengolahan B30 ini adalah Indonesia memiliki kebun kelapa sawit yang begitu luas. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Perkebunan, pada tahun 2020 total luas lahan kelapa sawit lebih dari 14 juta hektare dengan produksi mencapai 48,2 juta ton. Angka itu menjadikan Indonesia sebagai negara pemasok terbesar kelapa sawit di dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline