Lihat ke Halaman Asli

Paris, The City of Love

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13444447562015907037

Kota pusat mode dunia ini tak pernah kalis dari popularitas. Bukan saja karena Menara Eiffel atau Montmartre yang terkenal itu. Berbagai bangunan masih menyimpan kisah masa lalu yang sayang dilewatkan. Saya melancong ke kota setting utama novel  The Da Vinci Code ini, beberapa waktu lalu.

EUROSTAR, kereta cepat itu, baru saja mengantar saya tiba di Paris. Empat jam perjalanan dari London membuat badan lumayan pegal. Tapi siapa peduli rasa lelah jika sudah berada di Paris? Hanya hasrat berkeliling yang menggoda berkibar-kibar. Melewati kesibukan di stasiun kereta Gere du Nord, seorang tua menghentikan saya di depan pintu keluar. Dia menawarkan diri mengembaikan kereta dorong yang saya bawa. Rupanya dia menginginkan dua euro untuk setiap pengembalian troli. Segera saja mobil yang menjemput saya melesat, membelah jalanan kota Napoleon Bonaparte itu. “We’re going to rue Theodore de Banville,” ucap Francois, si sopir, dalam bahasa Inggris tak fasih. Saya hanya menganggung enteng, lebih tertarik pada pemandangan di luar. Hanya dalam 20 menit, saya sudah berada di Quality Hotel Pierre Arc de Triomphe Etoile, persisnya di sisi Avenue de Wagram. Setelah rihat sejenak dan membersihkan badan, saya berjalan kaki menuju Champs Elysees, jalan paling populer di kota ini. Di sinilah “parade” berbagai butik terkenal dunia. Tinggal sebut: Dior, Gucci, Boss, Chanel, serta toko parfum paling diminati, Shepora, sampai Planet Hollywood. Di jalan ini pula Louis Vuitton menempatkan tas berukuran raksasa sebagai pembungkus butiknya. Tak salah kota ini dijuluki kota fashion. SELEPAS CHAMPS-ELYSEES, saya menumpang sightseeing bus. Setelah melewati Place de la Concorde, saya tiba di Rue de Rivoli. Di sisi kanan berdiri kukuh Musee du Louvre, museum yang menympan ribuan benda bersejarah. Ketika saya tengah menikmati kemegahan bangunan itu,tiba-tiba seorang turis asal Amerika berkata cepat dan menunjuk ke arah museum, “Robert Langdon melewati malam nahasnya di dalam sana.” Saya hanya mengangguk pelan. “Dia membaca The Da Vinci Code,” batin saya. Museum ini memang menjadi setting utama novel dan film kontroversial The D a Vinci Code yang dibintangi Tom Hanks. Keinginan untuk tahu tentang kota ini kian besar. Bayangan St.Joan of Arc—dikenal juga sebagai Jehanne d’Arc—yang sempat dikenal sebagai penentang gereja itu, seketika membawa saya mengunjungi Notre Dame. Di gereja ini, patung berkuda perempuan yang mati pada usia 19 tahun itu diabadikan. Saban hari, salah satu tujuan wisata religius itu menyerap ribuan pengunjung. Bangunannya memiliki ukuran detail yang rapi. Terdapat enam pintu di bagian depan. Tapi hanya satu pintu yang berfungsi sebagai tempat keluar masuk pengunjung. Bukan hanya bagian dalam yang dipenuhi pelancong. Banyak juga yang terlihat mengisi pelataran tempat The Huncback of Notre Dame berdiam ini. Meskki prosesi keagamaan tengah berlangsung di dalam gereja, pengunjung tetap diberi ruang menikmati ritual keagamaan, sekaligus menyaksikan peninggalan sejarah yang tersisa. Ukiran di atas batu menghiasi hampir di setiap dindingnya. Terdapat sebuah tulisan sebagai penghormatan kepada tentara Amerika yang membantu Prancis. Prasasti bagi sejumlah orang yang berjasa kepada gereja banyak terdapat di bagian bawah bangunan bersejarah ini. Ada sebuah mesin, laiknya mesin ATM, yang akan mengucurkan cendera mata berupa koin gereja jika Anda memasukkan dua euro ke dalamnya. Pun, tak sedikit penjual yang menjajakan berbagai  cendera mata khas Prancis. Oya, ada larangan keras menggunakan kamera di dalam rumah ibadah ini. Saya melanjutkan kunjungan ke Trocadero, tempat pertunjukan teater yang juga berfungsi sebagai museum perfilman.  “Inilah kawasan yang menjadi salah satu inspirasi lagu ciptaan Melly Goeslaw,” kata saya dalam hati. Tak jauh dari Trocadero, selain Musee d’Art Moderne, gagah berdiri Plcae de l’Alma, yang berada dekat sekali dengan terowongan maut yang merenggut nyawa Lady Diana dan Dodi al-Fayed pada Agustus 1997. Sungai Seine yang membelah Paris mengalir tak jauh dari situ. Sisi-sisi sungai yang berpasir pantai dan memiliki tempat berjemur dipenuhi turis lokal dan mancanegara. Pada musim panas seperti ini, mereka mengubah suasana sungai menjadi pantai dengan lanskap keramaian Kota Paris. Montmartre menjadi tujuan saya berikutnya. Di sini saya memanjakan mata dengan menikmati keindahan seluruh Paris dari ketinggian. Sebuah gereja serupa masjid begitu menarik perhatian. Paduan warna yang kontras antara biru langit dan warna bangunannya yang putih terang menciptakan harmoni pemandangan yang sangat indah. Sementara itu, pasar seni di wilayah ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pelancong. Banyak sekali turis  yang menggunakan jasa pelukis untuk sekadarmenggambar wajah mereka, di atas kanvas atau selembar kertas tebal. Di Montmartre, Anda bisa melukis wajah asli atau sekadar karikatur. Ada juga sebuah toko  yang menjual buku-buku tua, lengkap dengan seorang pemalsu tanda tangan penulisnya. “Mereka bukan kriminal. Itu bagian dari servis mereka, hanya untuk kesenangan semata,” kata seorang kawan kepada saya. DISNEYLAND PARIS MENJADI destinasi Saya selanjutnya. Berbagai tokoh dalam komik dan film Disneyland menjadi menu utama. Lokasinya hanya sejam perjalanan dari tempat Saya menginap. Sesungguhnya, kereta yang Saya tumpangi dari London bisa langsung menuju taman impian ini. Tapi itu hanya jika Saya memutuskan menginap di Disneyland Resort. Opera musikal Tarzan, Pinokio, Indiana Jones, atau bahkan setting dalam pesawat luar angkasa film Armageddon menjadi salah satu hiburan yang menarik. Hanya dengan 39 Euro, Anda bisa mendapatkan karcis terusan untuk bisa menikmati semua hiburan yang ada di dalamnya. Seharian saya menghabiskan waktu di tempat ini. Pertunjukkan stuntmen menjadi atraksi yang menarik. Di tengah kobaran api dan desing peluru, Disneyland menyajikan proses pembuatan film laga dengan melibatkan audiens. Di akhir aksinya, mereka menampilkan potongan-potongan adegan yang dijahit rapi sehingga tampak seperti adegan aksi film-film Hollywood. Tour Eiffel alias Menara Eiffle saya kunjungi saat malam tiba. Mereka yang sudah pernah bertandang ke ikon Paris itu tentu paham betul wajah “perempuan” ini kala malam. Kerlipan lampu saling menyahut dari kaki hingga ujung menara yang disinari warna emas itu. Champ de Mars—sebuah taman kota—yang diapit Eiffel dan Ecole Militaire, dipenuhi ratusan orang yang tiduran atau sekadar duduk-duduk membunuh malam dan melewati saat-saat indah bersama pasangan. Di sudut taman, seorang pemuda membelai mesra rambut kekasihnya yang tergerai. Keduanya bersitatap, lalu kecupan hangat mendarat di kening sang gadis. Malam terasa begitu romantis. Inilah yang membuat Paris disebut City of Love, Surga para pecinta. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline