Kebijakan pemerintah membangun jalan tol sudah dimulai sejak era Orde Baru, mulai dari tahapan feasibility study, tender untuk pemilihan investor, perencanaan teknik, konstruksi bahkan beberapa jalan tol sudah berhasil dioperasikan di era Presiden Soeharto.
Ketika terjadi krisis moneter tahun 1998, banyak proyek infrastruktur yang kemudian berhenti. Nilai tukar rupiah yang merosot, membuat industri pendukung di bidang konstruksi harus menaikkan harga produknya yang berimbas pada nilai investasi yang membengkak. Investor jalan tol saat itu memilih untuk menghentikan proyeknya dan memperhitungkan kembali kelayakan investasinya.
Baru di sekitar tahun 2003, ketika kondisi ekonomi mulai stabil, beberapa proyek jalan tol dilanjutkan tahapan investasinya mulai dari berupa feasibility study ruas-ruas baru sampai melanjutkan konstruksi yang sempat terhenti di tahun 1998. Di masa-masa sekitar tahun 2003 -- 2005 inilah beberapa ruas yang jadi bagian dari jalan tol Trans Jawa sudah diinisiasi dan beberapa sudah terdapat investornya.
Di sekitar tahun 2003 sampai dengan 2010, tahapan pengadaan tanah adalah isu yang krusial menjadi momok bagi para investor yang berinvestasi di jalan tol. Hal ini dikarenakan kewenangan pengadaan tanah ada di tangan pemerintah yang bekerja tanpa ada time frame yang tegas dan mengikat serta tidak adanya mekanisme penetapan harga tanah yang menjamin kepastian dari sisi investasi, padahal investor harus membiayai biaya operasional pengadaan tanah.
Belum lagi pembebasan tanah aset milik instansi pemerintah untuk kemudian dialihkan menjadi aset milik Kementerian PU (sebagai kementerian pemilik tanah aset jalan tol), membutuhkan waktu yang panjang dari sisi birokrasi administratif. Karena tidak adanya kepastian biaya dan waktu inilah yang membuat beberapa investor kemudian tidak mampu melanjutkan untuk menyelesaikan pembangunan jalan tolnya (ada yang kemudian memakai istilah mangkrak :)).
Sebagian besar biaya investasi pembangunan jalan tol menggunakan dana pinjaman dari Perbankan yang saat itu baru mau mencairkan pinjamannya jika pengadaan tanah sudah 100% selesai. Itu pun awalnya tidak banyak Perbankan yang tertarik memberikan pinjaman kredit pada para investor jalan tol, karena di beberapa ruas (terutama tol luar kota) hitungan estimasi volume trafficnya tidak terlalu ramai.
Karena bisnis jalan tol adalah bisnis jangka panjang, investor harus memiliki pendanaan equity yang cukup kuat untuk bisa survive sampai dengan pinjaman dari Perbankan cair untuk kepentingan konstruksi atau bahkan untuk pengoperasian jalan tol karena biasanya di awal-awal masa operasi, traffic belum terlalu ramai padahal kewajiban mengembalikan dana pinjaman sudah harus dilakukan.
Kemudian muncul UU No. 2 tahun 2012 yang mengatur mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang secara aturan diharapkan lebih memberikan kepastian pada investor terkait waktu dan biaya. Menyusul ada beberapa Perpres di tahun 2012 dan 2014 terkait pengadaan tanah di era Presiden SBY yang terbit untuk memberikan arahan yang lebih jelas agar pembangunan infrastruktur berjalan ke arah yang seharusnya.
Di era Presiden Jokowi, muncul Pepres No. 102 tahun 2016 yang memberikan arahan lebih detail dan tegas terkait mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Setelah munculnya Perpres inilah kemudian pembangunan infrastruktur berjalan dengan masif karena adanya jaminan dari pemerintah terkait opsi penggantian biaya operasional pengadaan tanah yang sudah dikeluarkan oleh investor atau opsi pihak pemerintah sendiri yang langsung berinteraksi dengan pemilik tanah sekaligus membayarkan uang pengganti tanah yang terkena proyek.
Keberanian mengambil langkah tegas berupa konsinyasi ke pengadilan untuk sebagian kecil warga yang tidak menyetujui harga tanah juga menjadi faktor yang mempercepat penyelesaian. Pemerintah juga mendorong investor untuk segera memulai proses konstruksi begitu tanah sudah bebas, jika tidak dilakukan maka Pemerintah akan mengambil alih hak konsesi dari investor dianggap tidak responsif.