Sejak gencatan senjata pada tahun 1953, hingga kini Semenanjung Korea menjadi salah satu tempat yang rentan stabilitas keamanannya. Tahun 1959 merupakan sejarah dimulainya perkembangan nuklir Korea Utara di bawah kerangka perjanjian dengan Uni Soviet. Tiga dekade berikutnya, Korea Utara mulai memanfaatkan teknologi nuklir untuk militer dan terus berkembang hingga mencapai puncaknya saat negara tersebut resmi meninggalkan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir di tahun 2003. Alasan utamanya adalah pentingnya senjata nuklir bagi strategi keamanan Korea Utara demi melindungi kedaulatannya dari ancaman negara Amerika Serikat dan sekutunya di Asia-Pasifik, seperti Korea Selatan dan Jepang.
Konsekuensi Senjata Nuklir Terhadap Stabilitas Kawasan dan Perdamaian Dunia
Pengembangan senjata nuklir di Korea Utara berdampak langsung pada stabilitas di Asia Timur, khususnya bagi sekutu Amerika Serikat yang paling rentan terhadap ancaman serangan nuklir. Security dilemma yang tercipta akibat senjata nuklir Korea Utara memicu persaingan dalam membangun senjata nuklir diantara negara tetangga, meski kebijakan non nuklir sangat ketat. Kondidi ini dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan keamanan melalui senjata nuklir dan mengarah ke siklus persaingan militer yang semakin intensif. Uji coba nuklir secara berkelanjutan oleh Korea Utara di tahun 2013, 2016 dan 2017, dengan perkembangan kemampuan yang dapat dibawa oleh peluru kendali jenis Intercontinental Ballistic Missile (ICBM), menempatkan permasalahan ini menjadi skala internasional karena mampu menjangkau sasaran yang lebih jauh, seperti Eropa dan Amerika Serikat.
Ancaman nuklir Semenanjung Korea harus ditanggapi dengan serius, karena tidak hanya berdampak pada stabilitas Kawasan, namun juga memiliki konsekuensi yang tinggi pada terwujudnya perdamaian dunia. Kondisi ini dapat menyebabkan persaingan teknologi dan memicu proliferasi senjata nuklir. Kenyataannya, Korea Utara dengan program nuklirnya telah merusak kepercayaan masyarakat internasional terhadap Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, yang berakibat terkikisnya standar organisasi internasional. Hal yang paling tidak diantisipasi dan harus dicegah adalah kemungkinan konflik nuklir antara Korea Utara dan Amerika Serikat atau sekutunya di Asia Timur. Kebijakan politik yang agresif dengan pengambilan keputusan yang salah perhitungan sangatlah tidak diharapkan, karena dapat memicu perang nuklir yang akan menghancurkan Semenanjung Korea, bahkan merusak lingkungan dan kemanusiaan yang signifikan di seluruh dunia.
Peran Strategis Indonesia
Terlepas dari fakta bahwa beberapa upaya telah dilakukan untuk melarang pengembangan senjata nuklir, seperti The Six-Party Talks, penghentian program tersebut belum terbukti berhasil. Desakan Amerika Serikat kepada China untuk mendukung sanksi ekonomi bagi Korea Utara melalui PBB tidak cukup untuk mencegah penyebaran senjata nuklir. Indonesia sebagai negara yang memiliki peran penting di Asia-Pasifik dan anggota Gerakan Non-Blok (GNB), dapat berperan aktif dalam mencegah berkembangnya ancaman nuklir di Semenanjung Korea. Hal ini sangat penting mengingat banyaknya WNI yang berada di semenanjung korea (34,205) serta negara terdekat seperti jepang (21,739), hongkong (168,214) dan Taiwan (238,639) yang akan menerima dampak dari ketegangan senjata nuklir. Indonesia dapat menggunakan peran kepemimpinannya, berkontribusi diplomatik, meningkatkan kerjasama bidang pendidikan dan teknologi serta meningkatkan kapabilitas pertahanan demi mewujudkan kedaulatan dan perdamaian dunia.
1. Memanfaatkan Kepemimpinan dalam Forum Internasional.
Indonesia memiliki potensi di tingkat internasional, melalui keterlibatannya dalam organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), International Atomic Energy Egency (IAEA) dan Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ). DI PBB, Indonesia dapat menggunakan suara diplomatiknya untuk mendukung Non-Proliferasi Nuklir. Sedangkan sebagai salah satu anggota Dewan Gubernur IAEA, dapat menjadi modal yang penting dalam mendorong pelucutan senjata nuklir serta menyuarakan penggunaan nuklir untuk tujuan damai. Sementara itu, Indonesia harus mengambil kesempatan untuk dapat berperan sebagai juru bicara bagi negara-negara di Asia Tenggara yang khawatir akan konsekuensi dari eskalasi senjata nuklir sesuai dengan perjanjian SEANWFZ, sebagai bentuk komitmen anggota ASEAN yang bebas dari nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya. Potensi-potensi ini apabila dimanfaatkan maka dapat memperkuat posisi Indonesia dan diyakini akan memperoleh dukungan negara lain untuk memperluas cakupan zona bebas senjata nuklir, termasuk Semenanjung Korea.
2. Mendorong Diplomasi Multilateral Melalui ASEAN dan Gerakan Non-Blok.
Indonesia memiliki posisi strategis sebagai anggota ASEAN dan Gerakan Non-Blok untuk mendapatkan dukungan internasional yang lebih luas dalam mengatasi masalah nuklir Semenanjung Korea. Sebagai negara Non-Blok, Indonesia dapat menawarkan netralitas untuk berdialog antara Korea Utara dan negara-negara besar seperti AS, Jepang, dan Korea Selatan demi kepentingan yang lebih utama, yaitu perdamaian dunia. Hal ini dapat dilakukan, mengingat sejarah panjang diplomasi Indonesia dengan pendekatan kemanusiaan, sehingga mendapatkan kepercayaan internasional menjadi mediator negara-negara konflik. Harapannya, Indonesia dapat memberikan solusi berbasis nilai-nilai kemanusiaan dalam mengatasi ketegangan di Semenanjung Korea. Terlebih lagi, Korea Utara sendiri sangat bergantung secara ekonomi pada negara tetangga dan membutuhkan dukungan diplomasi, meskipun membatasi masyarakatnya dari pengaruh luar. Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan pendekatan jalur diplomatik, dengan mengedepankan stabilitas negara melalui kesadaran menjaga lingkungan dan kemanusiaan dari kerusakan akibat senjata nuklir.
3. Penguatan Kerjasama Pendidikan dan Riset Teknologi.
Dengan sumber daya manusia yang besar, Indonesia memiliki kesempatan berpartisipasi aktif dalam riset dan pendidikan mengenai non-proliferasi nuklir. Melalui pelibatan akademisi dan menjadi bagian dari pusat penelitian regional, Indonesia dapat membangun pengetahuan mengenai penggunaan nuklir untuk tujuan damai, sebagai solusi inovatif untuk menanggulangi ancaman nuklir di Asia. Salah satu potensi besar untuk mengembangkan teknologi energi nuklir untuk tujuan damai adalah BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) atau saat ini tergabung dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), mampu meningkatkan kemampuan teknologi Indonesia, juga akan memberikan kesan positif bahwa pengembangan teknologi nuklir harus bermanfaat bagi kepentingan manusia, bukan untuk senjata. Peluang kolaborasi teknologi semakin luas untuk dijalin dengan negara tetangga, memberikan manfaat lebih untuk lingkungan dan kemanusiaan melalui perwujudan stabilitas negara dengan mencegah konflik perang nuklir.
4. Meningkatkan Kapasitas Pertahanan Tanpa Menjadi Bagian dari Aliansi Militer.
Indonesia masih perlu meningkatkan kapasitas dan kemampuan sistem pertahanan demi menjaga kedaulatan dan stabilitas di kawasan, sebagai bentuk antisipasi terhadap setiap potensi ancaman apabila terjadi eskalasi konflik di Semenanjung Korea. Peningkatan kapasitas militer ini harus berfokus pada pertahanan diri, menghindari konflik militer secara langsung, dan tidak bertendensi untuk membangun aliansi dengan negara lain. Meningkatkan kemampuan pertahanan sangat penting untuk menjaga stabilitas dari potensi ancaman, sekaligus sebagai investasi ke depan dalam membangun sistem pertahanan udara yang handal seiring dengan dinamika lingkungan strategis. Meningkatkan kapasitas pertahanan seringkali menimbulkan security dilemma, dimana negara lain akan melihat peningkatan kekuatan atau memicu perlombaan senjata. Dalam konteks internal, penyerapan anggaran untuk meningkatkan pertahanan dapat menyebabkan alokasi sumber daya ke sektor lain menjadi berkurang. Oleh karena itu, keputusan memodernisasi kekuatan militer harus berhati-hati dan mempertimbangkan secara matang yaitu fokus pada pertahanan diri tanpa terlibat dalam konflik atau aliansi militer yang nantinya berakhir ketegangan politik dan melemahnya ekonomi nasional.
Kesimpulan