Gerakan 30 September 1965 adalah sebuah tonggak sejarah yang pernah dialami oleh negara Indonesia. Gerakan ini merupakan sebuah peristiwa pilu yang pernah ada dalam guratan kelam jejak sejarah di Indonesia. Dalam peristiwa ini negara Indonesia harus kehilangan 6 orang jenderal dan 1 perwira dalam sebuah tragedi berdarah dalam satu malam menjelang dini hari. Oleh sebab itu untuk mengenang para jenderal dan perwira yang menjadi korban tragedi tersebut pemerintah di Indonesia mengabadikan tanggal 30 September menjadi hari libur nasional.
Gerakan 30 September 1965 ini lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan sebutan G30SPKI. Gerakan ini dipelopori oleh tokoh PKI yaitu DN Aidit dan para simpatisan partai komunis yang menghendaki adanya perubahan dalam diri bangsa Indonesia namun gagal dalam memenuhi idealisme tujuan mereka. Kegagalan dalam gerakan tersebut berdampak buruk bagi mayoritas anggota partai komunis di Indonesia misalnya saja ada beberapa dari mereka menjadi tahanan politik lalu dipenjara dan sebagian harus di eksekusi mati.
Peristiwa kelam G30SPKI ini juga selain berdampak buruk pada para pelaku gerakan tersebut di masanya ternyata juga berdampak buruk bagi keturunan mereka di masa yang akan mendatang. Banyaknya ketidakadilan serta justifikasi buruk terhadap mereka karena dianggap berpotensi atau mewarisi kesalahan masa lalu dari para pendahulunya. Pengkerdilan, deskriminasi serta dikucilkan di lingkungan sosial bermasyarakat adalah rutinitas sehari-hari yang harus mereka alami walaupun mereka sendiri tidak tahu-menahu bahkan terlibat langsung dalam gerakan komunis tersebut.
Ketidakadilan yang diterima oleh mantan simpatisan PKI dan keturunannya juga disebabkan karena kurang efektifnya upaya pemerintah dalam menindaklanjuti kasus kesenjangan HAM di masyarakat Indonesia, walaupun pemerintah sendiri sudah berusaha untuk melakukan usaha pembinaan agar mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Namun tetap saja itu belum cukup untuk menghilangkan stigma negatif yang telah melekat erat dalam diri mereka. Para mantan tahanan politik ini juga mengalami deskriminasi oleh kebijakan pemerintah terutama pada masa orde baru misalnya mereka tetap dikenakan kewajiban untuk melapor secara berkala kepada pihak berwajib guna mencegah peristiwa serupa tidak terulang kembali. Selain itu para mantan tahanan politik ini juga mendapatkan KTP khusus yang dilabeli "ET" yang menandakan bahwa mereka adalah mantan tahanan politik dan tidak memiliki peluang untuk medapatkan pekerjaan di bidang pemerintahan.
Pembatasan terhadap profesi tertentu nyatanya dan faktanya telah menyalahi kebebasan hak asasi dari setiap warga negara di Indonesia tanpa terkecuali keturunan dan mantan tahanan politik PKI. Pembatasan tersebut tertera pada SK No. 32/ABRI/1977 tentang pemecatan sebagai pegawai TNI karena dituduh terlibat PKI. Mendagri No. 32/1981 tentang pembinaan dan pengawasan bekas tahanan dan bekas narapidana G30SPKI. Larangan menjadi PNS, anggota TNI/Polri, Guru, Pendeta dan lain sebagainya mereka yang tidak bersih lingkungan.
Selain mendapatkan stigma negatif dari masyarakat dan di deskriminasi oleh kebijakan pemerintah terutama di era orde baru, para mantan terpidana PKI dan keturunannya harus menelan respon negatif lainnya yang berasal dari keturunan para pahlawan revolusi yang juga melayangkan gugatan atas ketidaksetujuan mereka terhadap kebijakan pemerintah mengenai pemberian santunan kepada generasi keturunan PKI, menurut mereka bila mempertimbangkan hak asasi sebagai warga negara di Indonesia mereka merasa juga berhak mendapatkan hak yang serupa.
Kesenjangan hak asasi yang dialami oleh mantan simpatisan dan keturunan PKI ini seharusnya sudah mulai redup, apabila timbul kerjasama antara masyarakat, pemerintah dan kemajuan media yang dapat merangkul ketidakadilan yang mereka alami selama ini menjadi sebuah harapan baru kedepannya untuk menciptakan bangsa Indonesia yang lebih berintegritas. Misalnya saja seperti hal yang dilakukan oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengambil sikap tegas atas penghapusan klausul terhadap keturunan PKI agar dapat mendaftar menjadi TNI. Hal serupa yang perlu diadaptasi oleh kebijakan di negeri ini adalah berkaca dengan konflik yang hampir serupa namun dengan penyelesaian yang lebih baik seperti yang dilakukan di Thailand dalam menyikapi konflik Pattani atau konflik di Ethiopia yang menemukan jalan damai setelah 2 tahun mengalami konflik perang saudara.
Hal yang bisa kita garis bawahi dalam hal ini adalah dalam suatu negeri perlu adanya kerjasama di setiap elemen masyarakat mulai dari rakyat hingga pemerintah selaku wakil rakyat yang nantinya juga ditunjang dengan kemajuan media yang sportif dalam menyikapi permasalahan yang ada. Media tersebut juga tidak boleh condong kepada pihak penguasa dalam kepentingan yang mengatasnamakan keperluan apapun. Perlunya kebijakan yang menjamin terhadap peran aktif serta penyetaraan dan pemerataan hak asasi yang seharusnya bersifat universal bagi seluruh rakyat di Indonesia tidak terkecuali mantan tahanan politik PKI dan keturunannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H