Lihat ke Halaman Asli

Diaspora Bangsa Arab dan Arabisme di Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bangsa arab merupakan salah satu rumpun bangsa besar di dunia yang melakukan diaspora, selain bangsa China dan India. Bangsa arab hampir ada di seluruh penjuru dunia, mulai dari negara-negara di Asia, Afrika eropa, Amerika maupun Australia. Proses diaspora bangsa Arab pada dasarnya terjadi karena beberapa faktor di antaranya perdagangan, penyebaran agama, perperangan, ataupun pengungsian yang diakibatkan konflik berkepanjangan yang terjadi di beberapa negara Arab.

Istilah diaspora (bahasa Yunani kuno διασπορά, "penyebaran atau penaburan benih") digunakan (tanpa huruf besar) untuk merujuk kepada bangsa atau penduduk etnis manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka; penyebaran mereka di berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang dihasilkan karena penyebaran dan budaya mereka. Mulanya, istilah Diaspora (dengan huruf besar) digunakan oleh orang-orang Yunani untuk merujuk kepada warga suatu kota kerajaan yang bermigrasi ke wilayah jajahan dengan maksud kolonisasi untuk mengasimilasikan wilayah itu ke dalam kerajaan.

Berdasarkan data International Organization for Migration, saat ini terdapat  jutaan  penduduk dunia keturunan bangsa Arab yang tersebar di berbagai negara , dan berdasarkan data Suryadinata  saat ini terdapat lebih kurang 5 juta penduduk Indonesia keturunan bangsa Arab.

Brazil 10,000,000

Indonesia 5,000,0000

France 4,000,000

United States 3,500,000

Argentina 2,000,000

Venezuela 1,600,000

United Kingdom 500,000

Tentu saja seiring diaspora bangsa Arab ke berbagai negara di Dunia, mereka membawa budaya dan identitas mereka sebagai bangsa Arab ke negara-negara lain.  Tak jarang keturunan bangsa Arab memainkan peranan sentral di negara-negara tempat dia berdiaspora, bahkan di Amerika Latin tercatat 8 Presiden merupakan keturunan Diaspora Arab.

Julio César Turbay, President of Colombia from 1978 to 1982 (Lebanese)

Elías Antonio Saca, President of El Salvador from 2004 to 2009 (Palestinian)

Abdalá Bucaram, President of Ecuador from August 1996 to February 1997 (Lebanese)

Jamil Mahuad, President of Ecuador from August 1998 to January 2000 (Lebanese)

Carlos Saúl Menem, President of Argentina from 1989 to 1999 (Syrian)

Carlos Flores Facussé, President of Honduras from 1998 to 2002 (Palestinian)

Jacobo Majluta Azar, President of Dominican Republic from July 4, 1982 to August 16, 1982 (Lebanese)

Bangsa Arab telah lama menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa Indonesia, diaspora bangsa Arab ke Indonesia sebagian besar karena faktor perdagangan dan penyebaran agama Islam. Seán McLoughlin (2013:125) mengatakan bahwa agama memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah diaspora dan transnasionalisme. Agama dapat memperkuat etnisitas ketika suatu bangsa melakukan diaspora.

Menurut banyak ahli, umumnya orang Arab yang berdiam di Indonesia berasal dari Hudramaut, sebuah daerah pesisir di Tanah Arab paling selatan, yaitu di Yaman sekarang. Kedatangan mereka ke Indonesia umumnya untuk berdagang, menjual barang-barang jadi dan membeli rempah-rempah. Kontak dagang itu sendiri telah berlangsung sejak dulu kala, jauh sebelum kedatangan bangsa eropa. Terdapat pula warga keturunan Arab yang berasal dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika lainnya di Indonesia, misalnya dari Mesir, Arab Saudi, Sudan atau Maroko; akan tetapi jumlahnya lebih sedikit daripada mereka yang berasal dari Hadramaut.

Di daerah asalnya, mereka sebenarnya juga terbagi menjadi berbagai suku bangsa (qabilah) dan perkauman, serta tergolong ke dalam beberapa lapisan sosial. Identitas kesukubangsaan dan pelapisan sosial tersebt paling mudah dikenal dari nama kaum atau hamula (kelompok kekerabatan). Karena itu bagi masyarakat Arab nama kaum sangat penting artinya. Kelompok kekerabatan ditelusuri sampai kepada tokoh cikal bakal. Dengan demikian orang Arab dapat menelusuri identitas dirinya sejak dari keturunan siapa ?, sub-qabilah apa ?, dan akhirnya dari keluarga (klan) siapa ?. Menurut kebudayaan Arab, nama keluarga seseorang adalah berdasarkan garis laki-laki (patrilineal).

Masyarakat Arab di Hudramaut mengenal beberapa pelapisan sosial. Pertama adalah golongan Baalwe atau Al Alwe yang terdiri dari sayid (tuan) dan syarif (orang yang terhormat). Gelar Sayid biasanya digunakan oleh orang-orang yang merasa masih keturunan Husin, sedangkan gelar Syarif digunakan oleh orang-orang yang merasa masih keturunan Hasan. Untuk anak perempuan dari golongan pertama ini dibei gelar Syarifah. Husin dan Hasan adalah cucu Nabi Muhammad dari anak perempuan Fatimah. Golongan ini umumnya berperan dalam bidang keagamaan, perdagangan dan politik. Di Indonesia yang tergolong dalam lapisan ini antara lain keturunan Sekh Abu bakar, Al Idrus, Al Atas, Al Ahbsyi, dan Al Haddad dan sebagainya.

Kedua, adalah golongan Al Qabail (yang memanggul senjata), yaitu lapisan yang menjadi pemimpin qabilah, penguasa, dan sultan-sultan. Karena kekuasaannya, golongan ini sering lebih menonjol dari pada golongan pertama. Kelompok kekerabatan yang tergolong lapisan ini antara lain, Al Kethiri, Al Fas, Al Faris, Al Makarim, Al Jabri, Bin Thalib, Bin Mari, Bin Badar, Bin Khamis dan sebagainya.

Ketiga, adalah golongan Masyaik atau Masikh yang merupakan orang-orang yang mempunyai keahlian dalam ilmu pengetahuan, khususnya keagamaan. Di Indonesia antara lain termasuk keturunan dari Keluarga Al Bafathol, Al Hawazir, Al Amudi, Al Ishak, Al Bajabir, Bin Afif, dan seterusnya. Keempat, adalah golongan Al Qerwan, yang biasanya terdiri dari kelompok keluarga yang memiliki keterampilan khusus, seperti tukang kulit, tukang besi, tukang kayu, tukang emas dan sebagainya. Kelima adalah golongan Al Khertan atau para petani.

Di Indonesia sendiri penggolongan di antara sesama mereka lebih ditentukan oleh penyesuaian diri, yaitu adanya golongan yang menganggap asal-usulnya masih "murni" dan golongan yang terlahir dari perkawinan laki-laki Arab dengan wanita setempat. Pada zaman dulu para pedagang itu tidak ada yang membawa istri dari negeri sendiri. Golongan pertama disebut walaiti, dan golongan peranakan disebut muwallad. Golongan kedua ini sering dianggap rendah oleh golongan pertama, karena memiliki darah keturunan pribumi. Akan tetapi golongan kedua inilah yang paling mau berbaur dengan penduduk setempat, sehingga kedudukan sosial orang Arab lebih mudah diterima dari pada suku bangsa keturunan asing lain.

Penyebaran nilai nilai, bahasa, identitas dan budaya arab ke negara lain inilah yang kemudian dikenal dengan Arabisasi. Fenomena Arabisasi ini juga terjadi di Indonesia. Cukup banyak kita lihat bagaiman fenomena pembauran budaya arab dan budaya lokal di Indonesia, mulai dari bahasa, pakaian, kebiasaan dalam perkawinan dan perjodohan, makanan dan lain sebagainya.

Pertanyaannya adalah, apakah fenomena ini baik dalam memperkuat keberagaman di Indonesia ataukah lambat laun dapat menelan budaya budaya lokal yang ada?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline