Lihat ke Halaman Asli

Firman Hakim

Bukan penulis ulung

Polemik Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN

Diperbarui: 24 April 2022   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Antara

"Soe Hok Gie pernah berkata makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi

Penulis perlu mengingatkan kembali memori ingatan semenjak disahkanya revisi undang-undang KPK yang mendapat protes serta gelombang demonstrasi aksi refomasi dikorupsi dari masyarakat pada tahun 2019 yang lalu hingga menelan korban jiwa yakni alm immawan randy, alm yusuf kardawi, alm bagus putra, alm maulana suryadi dan alm akbar alamsyah tentunya menjadi duka cita yang mendalam bagi kita semua selaku masyarakat bahkan penolakan skala besar revisi UU KPK tidak di gubris oleh DPR RI maupun pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi. 

Tentunya publik khawatir dengan masa depan pemberantasan korupsi karena revisi undang-undang tersebut berpotensi melemahkan dari segi kelembagaan KPK dan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Bahkan kita mengetahui bukan hanya dari aspek subtansi isi (materil) yang berpotensi melemahkan KPK namun akan tetapi dari prosedur atau proses pembentukanya pun terkesan tertutup, kurang partisipatif, minim masukan dari masyarakat dan cacat secara formil.

Penulis jadi teringat dengan pemaparan dalam sebuah serial diskusi webinar Omnibus Law yang di paparkan oleh Bapak Herlambang Perdana Wiratraman akademisi FH Unair mengenai 5 indikator kejahatan legislasi (Legislative Crimes) yang merujuk pada jurnal Newman F. Baker yakni orienation to limited-dominant political economy power (borgeouis law oligarchy law), cruelty process, forgery content, limited participation dan legalised violation of human rights

Selain dari pada itu proses pemilihan panita seleksi pimpinan (pansel) KPK kontroversial yang melahirkan pimpinan KPK yang mempunyai rekam jejak yang bermasalah tidak boleh luput dari benak pikiran kita. Sejak pemberlakuan revisi UU KPK baru yakni Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kian sangat terasa hambatanya dalam kerja-kerja pemberatasan korupsi misalnya sebagai bukti contoh ketika KPK penyidiknya kehilangan jejak sebuah mobil truk yang diduga menyimpan dokumen terkait kasus dugaan suap penurunan pajak di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu) di Kec. Hampang, Kab. Kota Baru, Kalimantan Selatan.

Lalu tatkala KPK hendak akan melakukan penggeledahan dan penyitaan dalam kasus eks komisioner KPU RI Wahyu Setiawan yang melibatkan Kader PDIP Harun Masiku yang sampai saat ini sudah 2 tahun buron terdapat kendala ketika KPK tidak bisa menyegel kantor PDIP bahkan penyidik KPK pernah ditahan di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Hal ini buntut dari prosedur birokrasi penegakan hukum yang panjang tentunya berhubungan dengan izin dari Dewan Pengawas KPK.

Tidak kalah menarik pula kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjadi sorotan juga teman-teman karena untuk pertama kalinya KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) berdasarkan pasal 40 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang berbunyi "KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tipikor yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu 2 tahun." 

Sangat disayangkan, hemat penulis bahwasanya kasus BLBI ini menimbulkan kerugian yang besar terhadap negara. Sebagai ikhtiar konstitusi penolakan terhadap revisi UU KPK lewat jalur konstitusional pun pernah di tempuh lewat Judicial Review, akan tetapi sayang seribu sayang ditolak oleh MK baik uji formil maupun uji materil tapi ada pula sebagian yang dikabulkan mengenai uji materil mengenai proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan hanya dengan memberitahukan kepada Dewan Pegawas.

Waktupun berjalan rentetan skenario pelemahan KPK mencapai titik puncaknya yang mengaharuskan pegawai KPK menjadi ASN karena buntut dari revisi UU KPK berdasarkan pasal 1 ayat (6) yang menyatakan "Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara"

Menurut penulis status alih pegawai KPK menjadi ASN kian terasa aroma ganjilnya dengan di adakanya proses TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) yang diselenggarakan oleh KPK dan BKN (Badan Kepegawaian Nasional) yang mana dalam pelaksanaanya banyak ditemukan maladminstrasi dan melanggar HAM yang merugikan pegawai KPK. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline