Lihat ke Halaman Asli

Firman Fadilah

Simple man with a simple love.

Penari Ular

Diperbarui: 17 Juni 2022   04:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

oleh Firman Fadilah

Mulanya, Ranjit sempat ragu jika Fikar mau mengikuti jejaknya sebagai pawang ular. Ke empat kakaknya menolak mentah-mentah ketika Ranjit mengajak mereka untuk belajar dalam kelas pawang ular.

"Lebih baik menjual kain daripada berkawan dengan ular berbisa itu!" ucap salah satu dari mereka. 

Namun, delapan tahun lalu, Fikar lahir. Anak laki-lakinya menjadi lima. Saat itu Ranjit tahu, Fikar berbeda. Ia tumbuh menjadi anak yang menyukai ular. Harapannya bersemi sebab ia memiliki penerus untuk usaha sekaligus tradisi di desanya. Ia sungguh tak peduli kepada aktivis peduli satwa yang mengatakan bahwa memaksa ular untuk menari adalah suatu bentuk eksploitasi. 

Bahwa ular seharusnya hidup di hutan, bukan dalam keranjang kecil yang dipertontonkan. Bahwa taring ular harusnya runcing dan berbisa, tidak untuk dikikir apalagi dipatahkan agar hilang racunnya. 

Pikir Ranjit, membuat orang terhibur dan bahagia adalah tujuan hidup. Kesedihan seharusnya tidak memiliki tempat di kehidupan yang sementara ini. Semua orang harus merasa bahagia. Semua harus tersenyum supaya hidup jadi bermakna. Maka, ia memilih untuk menjadi pawang ular seperti ayah dan kakek buyutnya. 

Saat pungi ditiup, kepala ular akan menyembul dari dalam keranjang. Badannya meliuk-liuk mengikuti melodi pungi yang seolah menghipnotisnya. Seketika itu, tudung di lehernya merekah seperti sedang menyiapkan kuda-kuda untuk meyerang mangsa. Ular itu bergoyang. Melihatnya, orang-orang merasa senang. Mereka tertawa sambil melempar koin ke dalam kaleng biskuit. 

Dari situ, uang terkumpul. Ia bisa menghidupi istri dan lima anak laki-lakinya. 

"Ini usaha bagus. Sudah jadi tradisi di keluarga kita," ucapnya.

Sayangnya, tak banyak yang menekuni pekerjaan ini. Zaman telah bergeser. Hiburan bisa didapat dalam genggaman tangan. Oleh karena itu, ia ingin anak-anaknya menjadi pawang ular, menghibur orang-orang selepas beribadah dari kuil. Pekerjaan apalagi yang lebih menyenangkan selain membuat orang tersenyum? Namun, empat dari lima anak laki-lakinya menolak. Hanya Fikar yang menyukai ular. 

Mulanya, seekor ular kobra masuk ke rumahnya. Fikar tak tahu dari mana ular itu datang, dari hutankah atau lepas dari kandang kebun binatang. Ia pegang saja ular itu tanpa rasa takut sama sekali, tanpa peduli gigitan kobra bisa membuatnya meregang nyawa. Malahan, Fikar memeliharanya. Ia bersahabat dengan ular, bermain, mandi, dan tidur pun satu ranjang bersama ular. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline