Lihat ke Halaman Asli

Tolong Selamatkan Mereka...

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_204450" align="alignleft" width="300" caption="Nelayan Kuala Kambas, Lampung Timur, meratapi rumah mereka yang baru saja dibakar Polhut dan Polisi, Kamis 15 Juli. (Dok: Supriyono/LTV)"][/caption] KAMIS sore, 15 Juli, pastilah menjadi hari paling buruk dalam sejarah ratusan nelayan Kuala Kambas, Lampung Timur. Gubuk-gubuk tempat mereka tinggal, dibakar aparat gabungan dari polisi kehutanan dan Brimob yang datang membawa senjata api. Para pencari ikan itu sekarang mengungsi dengan masa depan yang masih tidak jelas. Usai membikin sengsara orang kecil di Kuala Kambas, pada Sabtu siang, 17 Juli, petugas bersenjata itu kembali beraksi. Kali ini mereka membumi-hanguskan permukiman nelayan Kuala Sekapuk. Di sini, ratusan rumah juga dibakar. Beberapa warga yang melawan, ditangkap lalu dibawa ke Mapolres Lampung Timur. Para nelayan itu diusir dengan keji karena bermukim di kawasan konservasi Taman Nasional Way Kambas. Setelah permukiman mereka rata dengan tanah, sekarang para korban penggusuran itu tinggal di tenda-tenda darurat. Mereka mendirikan tempat berteduh seadanya, sebagian di tepi sungai, pekarangan kosong, dan di depan puskesmas. [caption id="attachment_204453" align="alignright" width="300" caption="Api dengan cepat menghanguskan gubuk-gubuk nelayan Kuala Sekapuk, Sabtu 17 Juli. (Dok: Supriyono/LTV)"][/caption] Di bawah atap plastik dan terpal itu para lansia dan balita tidur berdesak-desakan dengan sesama pengungsi. Guyuran hujan kian menyusahkan kaum kecil yang gubuk-gubuk mereka baru saja dihancurkan aparat pemerintah atas nama pelestarian alam. Mereka terancam kelaparan lantaran stok makanan terus menipis. Sungguh, kita kecewa atas aksi brutal aparat Polhut dan kepolisian itu. Sebab, sebetulnya masih banyak langkah bisa mestinya terlebih dulu diayun sebelum mengusir nelayan Kuala Kambas dan Kuala Sekapuk. Umpamanya lewat pengosongan permukiman secara bertahap. Dengan penanganan yang tidak komprehensip dipastikan muncul masalah-masalah baru. Terutama soal-soal kemanusiaan. Atas penggusuran tersebut, sekarang ratusan jiwa manusia kehilangan tempat tinggal dan mata pencarian. Sukar dibayangkan apa yang bakal terjadi andai mereka tidak segera punya permukiman dan sumber nafkah baru. Sebagian besar dari nelayan itu, kita percaya, sungguh-sungguh kaum susah. Mereka datang dan bermukim di pesisir yang masuk wilayah Taman Nasional Way Kambas semata-mata demi bertahan hidup. [caption id="attachment_204455" align="alignleft" width="300" caption="Bocah-bocah nelayan Kuala Kambas ini sekarang tinggal di bawah tenda-tenda darurat. (Dok: Supriyono/LTV)"][/caption] Tidak ada yang bisa membantah bahwa hutan Taman Nasional Way Kambas sudah rusak berat. Oleh sebab itu wajib dipulihkan. Di antaranya dengan menjamin tidak ada lagi perambahan dan permukiman di kawasan konservasi itu. Masalahnya adalah apa model yang akan dipakai guna menyelamatkan fungsi ekologi hutan dataran rendah tersebut. Mengharamkan segala kegiatan yang merusak kawasan jelas sebuah kemutlakan karena memang seharusnya begitu. Akan tetapi, kita tidak ingin aksi represif masih menjadi pola menggusur warga. Jangan lupa, keberadaan kampung nelayan Kuala Kambas dan Kuala Sekapuk bukanlah baru. Nelayan dari berbagai penjuru Indonesia telah sejak belasan tahun datang dan menetap di sana. Aparat Polhut yang biasa berpatroli, sudah tahu sejak awal ada cikal bakal permukiman nelayan, tetapi tidak segera menertibkannya. Kalau kawasan itu memang terlarang didiami, mestinya sedari awal orang-orang itu diusir. Melakukannya juga mudah karena yang dikerasi cuma segelintir orang. Para nelayan itu pun pastilah tidak melawan ketika dihalau pulang ke daerah asal karena memang bersalah menduduki lahan yang bukan haknya. [caption id="attachment_204456" align="alignright" width="300" caption="Polhut bersenjata otomatis seperti hendak memburu teroris, pada operasi pembakaran perkampungan nelayan. (Dok: Supriyono/LTV) "][/caption] Tetapi faktanya, mereka dibiarkan berdatangan dan membentuk perkampungan, lalu digusur karena dianggap berpotensi merusak kawasan perlindungan alam. Pembiaran yang berlangsung lama itu merupakan bentuk inkonsistensi dari aparat Balai TNWK. Sudah tahu kawasan konservasi harus bebas dari kegiatan yang merusak, mereka malah menoleransi berlama-lama kehadiran permukiman. Sekarang memang tak relevan mencari siapa yang salah dalam kasus ini. Semuanya sudah telanjur. Kini, perhatian kita wajib tercurah kepada nasib ratusan kepala keluarga nelayan yang tengah telantar usai gubuk-gubuk mereka dibakar. Pihak Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah mesti segera mencari cara menolong ratusan warga yang baru saja kehilangan tempat tinggal. Masalah yang mendesak terpecahkan adalah pengadaan resettlement (permukiman baru) bagi para nelayan yang sekarang hidup menderita. Pemerintah mesti segera menyediakannya. Itu sebagai konsekuensi dari perintah konstitusi bahwa orang-orang telantar dipelihara negara. Yang perlu didialogkan lagi adalah bagaimana cara warga memperoleh tempat tinggal baru itu. Apakah lewat subsidi atau secara swadaya. [caption id="attachment_204457" align="alignleft" width="300" caption="Polhut menyiapkan berbotol-botol minyak tanah untuk membakari ratusan gubuk nelayan Kuala Kambas dan Kuala Sekapuk. (Dok: Supriyono/LTV)"][/caption] Kita percaya, di Lampung Timur masih tersedia kawasan pantai untuk menampung para bekas nelayan Kuala Kambas dan Kuala Sekapuk. Masalahnya tinggal lagi soal apakah negara, lewat para aparatnya, punya cukup kemauan politik dalam menolong sesama warga negara. Kita sepakat, TNWK harus diselamatkan karena ia aset ekologi teramat penting. Di sana tersimpan beragam hidupan liar yang wajib diawetkan. Akan tetapi, nasib manusia jelas lebih penting dibanding soal-soal pelestarian alam. Sebab, manusia justru menjadi alasan mengapa lingkungan hidup perlu dilestarikan. Sejauh ini kita gampang memergoki berbagai paradoks pelestarian alam itu. Seekor gajah mati, misalnya, bisa menggegerkan dunia. Lalu, kita menyiapkan dana dan tenaga besar demi menyelamatkan aneka satwa agar tidak punah. Tetapi, pada saat sama, kita sering menjumpai ada manusia yang diperlakukan tidak manusiawi demi apa yang disebut konservasi. Dalam konteks pelestarian alam, nilai manusia seolah lebih rendah dibanding flora dan fauna. Kita tidak ingin paradoks seperti ini juga terjadi dalam menangani nasib bekas nelayan Kuala Kambas dan Kuala Sekapuk.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline