Lihat ke Halaman Asli

Candu di Negeri Subur

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_121014" align="alignleft" width="197" caption="Petani mulai menggarap lahan untuk kembali menanam, tetapi harga pupuk kini melambung. (Dok: Budi Bagus Darmawan/Lampung TV) "][/caption] PETANI di Tanah Air kembali meratap. Mereka menghadapi musim tanam dengan harga pupuk melambung. Pilu yang terus berulang dari tahun ke tahun, sejak bahan peningkat produksi itu menjadi demikian vital. Setiap menjelang musim tanam, kaum penyedia bahan pangan bagi masyarakat itu selalu bermasalah dengan pupuk. Baik akibat material penambah unsur hara itu tiba-tiba menghilang dari pasaran, maupun lantaran harganya yang sekonyong-konyong meroket. Tahun ini, petani menjerit karena pemerintah menaikkan harga eceran tertinggi pupuk 20 hingga 40 persen sejak 9 April kemarin. Kenaikan ini jelas memukul petani. Sebab, sistem pertanian yang terbangun sekarang sudah hampir mustahil meniadakan peran pupuk buatan pabrik. Sementara, harga jual hasil panen tidak kemudian bisa ikut naik menyusul melangitnya harga sarana produksi itu. Sungguh, sejak puluhan tahun terakhir, kebutuhan akan pupuk kimia di lahan pertanian memang semakin melesat. Ketergantungan petani kepada pupuk buatan itu kemudian menjadi ironi sekaligus paradoks bagi negeri berlahan subur ini. Kalau subur, mestinya petani tak butuh pupuk. Tetapi faktanya, bahan beracun itu harus menyatu bersama pacul dan caping petani demi menghasilkan panen melimpah. Realitas yang segera merobohkan semboyan bahwa kita negeri kolam susu, negeri di mana tongkat dan kayu bisa menjadi tanaman. Sekarang, dengan barang bernama pupuk itu, lahan-lahan pertanian kita laksana kecanduan morfin. Ia harus terus disuntikkan agar tanah tetap bergairah. Dan, dosisnya wajib ditambah dari musim tanam ke musim tanam berikutnya. Kalau tidak, bibit yang disemai tidak akan tumbuh dan berbuah. Tanah yang subur itupun merana akibat perlakuan keliru. [caption id="attachment_121016" align="alignright" width="197" caption="Pupuk, stok ada tapi harga meroket. (Dok: Budi Bagus Darmawan/Lampung TV)"][/caption] Secara jujur dikatakan, pemerintah punya andil dalam menjerat petani sehingga begitu bergantung kepada pupuk. Pada zaman Orde Baru, pemerintah punya ambisi mencapai swasembada pangan. Lalu, petani dipaksa memakai pupuk buatan demi mendongkrak hasil panen. Sihir yang terbukti ampuh untuk membuat petani meninggalkan pupuk organik. Sejak itu, para petani lebih menyukai pupuk kimia dibandingkan kompos. Sebab, makanan tumbuhan bikinan pabrik itu terbukti mampu mendongkrak hasil panen. Padahal, hasil lebih baik dibanding penggunaan kompos di lahan pertanian itu hanya diperoleh pada pemakaian pertama pupuk kimia. Tetapi, para petani kita yang umumnya berpendidikan rendah, sama sekali tidak menyadari itu. Ketika hasil produksi merosot, mereka justru menambah jumlah pupuk kimia yang disuntikkan ke tanah. Pupuk kimia memang mengandung unsur hara dan nutrisi lebih banyak dibanding kompos. Tetapi ia tidak mampu menetralkan tanah supaya tetap subur, justru merusak lahan. Pupuk buatan terbukti tidak ramah lingkungan. Bahan penyubur dan perangsang buah bikinan pabrik itu sulit diserap tanaman, sukar diurai air, dan meracuni buah yang dihasilkan tanaman. Dengan demikian, kita sesungguhnya saban hari memakan bahan pangan beracun. Kesehatan manusia, karena itu, menjadi merosot oleh sebab penggunaan pupuk kimia dalam sistem pertanian. Ini barangkali yang menjelaskan mengapa orang sekarang relatif berumur pendek dan gampang diserang penyakit. Berbeda dengan leluhur kita yang berumur panjang dan tetap hidup sehat sampai tua. [caption id="attachment_121019" align="alignleft" width="197" caption="Jerami di belakang petani Tanggamus, Lampung ini, tampak dibakar. Padahal, bisa menjadi kompos yang ramah lingkungan. (Dok: Budi Bagus Darmawan/Lampung TV)"][/caption] Sebagian pupuk kimia yang tidak diserap tanaman akan menumpuk di tanah dan tidak dapat diuraikan. Maka, tanah menjadi tandus. Mikroorganisme yang berguna menggemburkan tanah tidak bisa hidup di sana. Kerusakan lingkungan dan terancamnya kesehatan manusia itu tentu saja harga teramat mahal yang harus kita tebus. Itu bermula dari kebijakan pemerintah dalam menata sistem pertanian yang tidak memikirkan dampak. Belakangan, banyak orang mulai berpikir menghentikan penggunaan pupuk kimia. Cuma, gerakan kembali ke alam itu, tentu saja bukan perkara mudah. Lahan-lahan pertanian kita, terutama persawahan, hampir seluruhnya telah tercemari racun dari pupuk buatan. Untuk menghilangkan toksin itu perlu waktu paling tidak tiga tahun dengan sistem rotasi tanaman semusim. Tidak mudah karena lahan pertanian yang hendak dinetralkan lagi kesuburannya, pastilah tidak bisa berproduksi pada tahun-tahun awal. Detoksifikasi lahan itu harus dilakukan bertahap. Sebidang demi sebidang. Sementara petani yang sudah telanjur terpukau sihir pupuk buatan tentu saja tidak gampang dibujuk menggunakan pupuk organik. Meskipun begitu, gagasan kembali kepada penggunaan pupuk alami ini tidaklah mustahil. Bahan baku pupuk organik itu tersedia dengan gratis dan dalam jumlah besar. Satu hektare sawah yang dipanen akan menghasilkan setidaknya 15 ton jerami. Petani biasanya membakar batang-batang padi itu agar mereka bisa mulai mengolah lahan untuk kembali menaman. Sungguh cara yang keliru. Sebab, jerami yang tidak ada harganya itu justru menyuburkan lahan jika dibiarkan membusuk di persawahan. Sekarang yang harus dilakukan adalah meyakinkan petani agar bersedia meninggalkan pupuk kimia. Petani harus percaya, penggunaan kompos mampu memangkas biaya produksi tetapi hasil panen tidak kalah dibanding pemakaian pupuk pabrikan. Memang pekerjaan berat. Sebab, harus mengubah paradigma banyak orang yang telanjur tergila-gila kepada pupuk kimia. Catatan: Tulisan yang lebih mirip keluhan ini hasil bincang maya dengan Kawan Syam, Kompasianer yang juga belum sukses meyakinkan petani kembali ke pupuk alami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline