Lihat ke Halaman Asli

Menjahit Lagi Sabuk Hijau yang Koyak

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_90591" align="alignleft" width="300" caption="Tambak udang, dulunya sabuk hijau...."][/caption] Hutan mangrove di Indonesia rusak parah. Begitulah keadaan yang kita saksikan sekarang. Laju degradasinya melesat dengan cepat selama periode kejayaan industri perudangan. Yakni pada pengujung tahun ‘80-an hingga akhir tahun ’90-an. Tingginya permintaan dari Jepang, negara-negara Eropa, dan Amerika Serikat segera merangsang orang membuka tambak-tambak udang baru. Ini kemudian menyebabkan vegetasi pantai yang selama ini membentengi daratan, harus dibabat untuk dijadikan tambak di sepanjang pesisir. Ketidaktahuan petambak dipercaya menjadi penyebab utama penghancuran habitat sub-sistem rantai makanan itu. Petambak berpikir, rindangnya daun bakau menghalangi masuknya sinar matahari dan mengurangi luas lahan tambak. Maka, pohon-pohon bakau harus dibasmi. Kemudian, akibat roda pembangunan tambak yang menggelinding cepat dan tidak terkontrol, hutan-hutan bakau yang tumbuh di pesisir tergilas dan terancam punah. Kecuali hancur akibat tambak, hutan-hutan bakau juga habis oleh sebab diubah menjadi peruntukan lain. Terutama reklamasi pantai dan lahirnya permukiman-permukiman di pesisir. Rusak parahnya hutan mangrove dicirikan oleh sedikitnya vegetasi yang menyusun hutan bakau dan jarangnya spesies tanaman yang tumbuh dekat pantai. Padahal, keragaman hayati hutan payau ini penting bagi keseimbangan alam. Sayang sekali, kesadaran masyarakat Indonesia akan arti pentingnya hutan mangrove datang cukup terlambat. Yakni, setelah gelombang tsunami meluluh-lantakkan Aceh pada pengujung tahun 2004. Andai kawasan pesisir Aceh saat itu masih dibelit sabuk hijau yang tebal, dipastikan dampak tsunami tidak akan sehebat itu. Tidak harus ada ratusan ribu nyawa melayang sia-sia. Belajar dari bencana kemanusiaan amat dahsyat itu, kini banyak orang mulai menyadari betapa pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan manusia. Ia berfungsi sebagai turap tanah pantai yang melandai, mengendapkan lumpur, dan menyerap air yang mengandung mineral. [caption id="attachment_90592" align="alignright" width="300" caption="Sekarang permukiman padat menjadi benteng bagi daratan... "][/caption] Pantai yang masih berhutan menjadi habitat dan daerah subur bagi berbagai spesies udang, ikan, kepiting, larva, serangga untuk mencari makanan. Daun-daun hutan bakau mengendap di dasar air, terurai menjadi bahan organik dan menjadi sumber makanan bagi jasad-jasad renik. Satwa-satwa super kecil itu kemudian dimangsa oleh larva ikan dan udang. Kehidupan di kawasan hutan bakau kemudian menjadi pasokan makanan bagi ikan besar di perairan lebih dalam. Punahnya hutan bakau, karena itu, segera menurunkan produksi ikan. Sebab, ada siklus rantai makanan yang terpotong. Sekarang, di tengah tumbuhnya kesadaran mengenai pentingnya peran hutan mangrove bagi kehidupan, berbagai langkah diayun untuk menyelamatkan vegetasi pesisir itu. LSM, pemerintah, dan masyarakat, mulai giat mengampanyekan mangrove. Ada yang terjun dalam usaha pembibitan, ada yang melakukan penanaman kembali hutan-hutan bakau yang kritis. Ada pula yang sibuk menyosialisasikan pentingnya pelestarian mangrove. Pendekatan budidaya udang berwawasan lingkungan juga mulai dilakukan. Udang dibesarkan di habitat aslinya dan memperoleh pakan yang disediakan alam. Segala bentuk pakan buatan dan obat-obatan diharamkan karena dipercaya akan mencemari lingkungan hidup. Bakti sosial Kompasianer ke Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA), Minggu 14 Maret besok, juga boleh disebut sebagai bentuk kesadaran itu. Aksi tanam bakau yang menjadi salah satu rangkaian kegiatan tersebut diikhtiarkan sebagai langkah nyata peduli lingkungan, khususnya kawasan pesisir. Kompasianers diharapkan tidak hanya mampu menulis isu-isu lingkungan hidup. Lebih dari itu, mereka idealnya harus juga punya langkah konkret dalam upaya pelestariannya. SMMA merupakan sejumput jamrud yang masih tersisa. Ia memang kawasan suaka margasatwa terkecil di Indonesia. Tetapi punya arti penting karena menjadi tempat pelestarian banyak satwa. Sementara letaknya yang di Ibu Kota negara, menjadikan kawasan konservasi ini sangat mudah terdesak lalu hancur. Oleh sebab itu, SMMA memang butuh perhatian serius. Mudah-mudahan bakti sosial Kompasianers 14 Maret besok bermanfaat bagi lingkungan hidup. Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline