Lihat ke Halaman Asli

Duh, Kotaku…

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_75139" align="alignleft" width="300" caption="Warga membersihkan got di depan rumah mereka, Senin 15 Februari pukul 19.10 WIB"][/caption] Banjir kembali mengepung Bandarlampung. Hujan deras 1,5 jam dimulai pukul 18.00 WIB, Senin 15 Februari, menyebabkan sungai-sungai dan drainase di kota ini meluap. Permukiman warga pun tergenang. Agar air tak masuk rumah, banyak warga terpaksa membentengi halaman dengan karung-karung pasir. Di Jalan Kartini, jalanan macet. Sejumlah motor dan mobil harus mogok lantaran alat sistem perapian kendaraan basah kena air. Jalan protokol itu tergenang air setinggi betis. Penyebabnya, air Sungai Way Simpur di sebelah kiri Mall Kartini meluap. Sungai ini berhulu di Bukit Palapa, Bukit Kaliawi, dan daerah dataran tinggi Telukbetung Utara. Badan sungai yang sempit dan dangkal memang selalu tak mampu menampung kelebihan air dari DAS (daerah aliran sungai) luas itu. Banjir Senin malam tadi memang tak separah pada 18 Desember 2008, ketika air seolah mengepung kota. Meskipun demikian, cukup merepotkan warga yang permukimannya terkena musibah kelebihan air itu. [caption id="attachment_75140" align="alignright" width="300" caption="Sungai meluap, Jalan Kartini tergenang dan lalulintas macet. Senin 15 Februari pukul 19.20 WIB"][/caption] Para pengendara juga dibikin susah. Air yang menggenangi jalan-jalan menyebabkan mereka tak bisa mengebut. Kemacetan pun terjadi di sejumlah simpul jalan. Sampai pukul 21.00 malam, polisi terpaksa bekerja keras mengatur lalulintas di bawah rintik gerimis. Padahal, biasanya mulai pukul 19.00 malam, polisi tak lagi harus menjadi rambu hidup karena arus kendaraan sudah surut. Saya yang lahir dan besar di Bandarlampung, mengikuti setiap detail perkembangan Kota bermoto Tapis Berseri ini. Sesungguhnya, berdasarkan kontur lahan, kota ini tak harus menjadi langganan banjir. Secara umum, Bandarlampung dibagi menjadi dua kawasan: atas dan bawah. Kawasan bawah adalah daerah di pesisir Teluk Lampung. Sedangkan kawasan atas merupakan dataran tinggi, jauh dari pantai. Dari 13 kecamatan di Bandarlampung, hanya tiga kecamatan yang berada di kawasan bawah. Yakni, Panjang, Telukbetung Selatan, dan Teluk Betung Barat. Sementara 10 kecamatan lainnya berada di kawasan atas. [caption id="attachment_75141" align="alignleft" width="300" caption="Benteng dari karung pasir di rumah gedong Jalan Ratu Dipuncak. Senin 15 Februari, pukul 19.15 WIB "][/caption] Kawasan bawah, sebagaimana nasib daerah-daerah pesisir di Indonesia memang menjadi langganan banjir. Wilayah ini secara teoritis lumrah terkena banjir akibat hujan deras dan pengaruh pasang surut air laut. Sedangkan kawasan atas, biasanya aman dari banjir. Tetapi, dua puluh tahun terakhir, kawasan atas Bandarlampung juga sudah menjadi langganan banjir. Sejauh ini sudah banyak analisis mengenai penyebab banjir di Bandarlampung. Bahwa, pembangunan yang dikebut tidak mengindahkan segi-segi keseimbangan alam. Aset-aset ekologi musnah digilas roda pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Sejumlah kawasan kota yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan air hujan atau cekungan banjir, diuruk. Rawa-rawa dan persawahan juga ditimbun. Lalu, disulap menjadi permukiman, pusat bisnis, atau kampus. Sungai-sungai semakin menyempit dan dangkal akibat di bantarannya berdiri bangunan-bangunan. Pemilik pabrik, ruko, dan warga seperti seenaknya memancang beton bangunan dengan mencatut bibir sungai. [caption id="attachment_75142" align="alignright" width="300" caption="Polisi atur lalulintas di Jalan Teuku Umar, Kedaton. Senin 15 Februari, pukul 20.15 WIB"][/caption] Berbagai bangunan yang didirikan juga tidak lagi menyediakan ruang terbuka hijau yang memadai. Tanah-tanah ditutupi aspal dan beton. Semua aktivitas tidak ramah lingkungan itu, serta merta mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air hujan. Celakanya, kawasan-kawasan yang dulunya berfungsi sebagai penampung air sudah nyaris tidak ada lagi. Maka, ketika turun hujan lebat, banjir pun mengancam. Air ditumpahkan dari langit untuk menghukum warga kota yang semberono dalam memperlakukan lingkungan hidup. Kita memang tidak patut mencari kambing hitam atas musibah alam itu. Semua kita, baik pemerintah maupun masyarakat, punya andil sama besar dalam menyebabkan alam tak sudi lagi bersahabat dengan kita. Sungguh, tidak harus menjadi jenius untuk tahu bahwa ada yang keliru dalam teknis pembangunan di Bandarlampung. Pembangunan masih melulu mengakomodasi kepentingan pemodal. Asal ada uang, apapun bisa dikerjakan. Rambu-rambu pembangunan, misalnya koefisien dasar dan garis sempadan, karena itu, lazim dilanggar. Bahkan, kawasan yang semula difungsikan sebagai paru-paru kota dan daerah tangkapan air, boleh disulap untuk kepentingan bisnis. [caption id="attachment_75144" align="alignleft" width="300" caption="Saat banjir mengepung Kota Bandarlampung. 18 Desember 2008, pukul 17.30 WIB"][/caption] Masyarakat terus membangun dengan semaunya. Sementara pemerintah tidak punya kebijakan untuk mengerem berbagai aktivitas yang tidak ramah lingkungan. Apa yang hendak dibangun, silakan digarap. Risiko-risiko dari pembangunan itu mari kita rasakan bersama-sama. Inilah yang bisa kita tangkap dari bagaimana kota dibangun dan dibikin menjadi modern. Pertumbuhan kota, tentu saja, selain membawa manfaat juga mengandung risiko terhadap lingkungan. Positifnya, memungkinkan tersedianya lapangan kerja, mengencangnya denyut aktivitas ekonomi, dan bertambahnya pendapatan daerah. Sementara risikonya berupa anjloknya kualitas udara, tanah dan air, serta kerawanan sosial. Ini semua segera memerosotkan kualitas hidup masyarakat. Lantaran ada sisi positif dan negatif itulah, semua aktivitas pembangunan wajib direncanakan dan dikerjakan dengan penuh pertimbangan. Bahwa, pembangunan harus berwawasan lingkungan. Yakni, mengusung konsep pembangunan perkotaan berkelanjutan. Sebuah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup generasi mendatang. Kualitas hidup manusia berkorelasi positif dengan mutu lingkungan. Semakin tinggi mutu lingkungan, semakin baik pula kualitas hidup manusia. Maka, muncullah istilah pembangunan berwawasan lingkungan itu. Tetapi, justru ini pula yang belum dilakukan banyak kota di Tanah Air, termasuk Bandarlampung. Saya percaya, belum terlambat untuk kembali memulihkan lingkungan hidup. Tetapi, semua itu butuh komitmen yang kuat dari semua pihak. Pemerintah dan masyarakat mesti mengekor dengan teguh prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang bermanfaat bagi generasi mendatang. Karena itu, langkah yang pertama kali mesti diayun adalah merehabilitasi aset-aset ekologi dan menyelamatkan yang masih tersisa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline