Kecenderungan menggunakan objek-objek yang sudah dikenal dalam dunia seni rupa sebagai perspektif untuk mengamati kenyataan dalam mengangkat gagasan-gagasan terlihat pada semua karya dalam pameran ini. Wacana seni rupa yang menggunakan objek yang sudah dikenal dan dekat dengan kita, membutuhkan cara representasi yang bisa mengurai ide-ide yang ingin dikomunikasikan.
Dalam hal ini seorang seniman memilih dengan cara menggambar di atas kertas merupakan cara yang tepat, karena menggambar sering kali lebih akrab menguraikan ide-ide.
Menggambar pada sehelai kertas dengan tinta hitam putih dan juga berbagai media dan medium yang digabungkan dengan warna-warna tinta dan pensil pada kenyataannya bukan hanya mengekspresikan pemikiran-pemikiran yang mendalam, melainkan juga mengaktifkan satu rentangan luas makna-makna yang telah ada dan mengendap dalam ingatan bahasa visual dan budaya kita.
Makna seni tidak terbakukan dalam suatu relasi tunggal dengan objek-objek atau peristiwa-peristiwa di dunia. Makna muncul dalam relasi-relasi dari persamaan dan perbedaan yang dimiliki visual di dalam kode bahasa makna. Identitas -seperti juga kesadaran- terstruktur seperti bahasa.
Hal ini pararel dengan keyakinan para perupa Banten ketika memilih medium Drawing - Dalam Ruang (Responses), diwujudkan dalam pameran gambar (drawing) dengan topik "menggambar hati" yang tentunya makna tidak terletak dalam objeknya. Melainkan kitalah yang memastikan/ menetapkan makna atas hal-hal yang kita lihat pada karya-karya gambar (drawing) yang sedang tergantung pada dinding ruang dalam Kopi Rona tempat pameran berlangsung.
Makna yang muncul kemudian adalah kontruksi sistem representasi yang mengingatkan kita terhadap segala yang berhubungan dengan objek yang dilihat.
Sehingga topik "menggambar hati" menghadirkan banyak interpretasi berbagai imaji yang memiliki relasi dengan hati, yang terlihat hampir pada semua karya yang dipamerkan bisa merepresentasikan apa yang ditetapkan dengan tanda visual, yang kemudian bisa berbicara apa saja sesuai dengan apa yang dikontruksikan. Namun apakah semudah itu makna yang ingin disampaikan bisa terkomunikasikan?
Padahal dalam senirupa kini tanda itu penuh tafsir, selalu ada hambatan yang besar dalam mencari nilai-nilai melalui perpektif yang menggunakan bahasa visual yang sudah dikenal (dalam hal ini "menggambar hati"). Sebab tanda-tanda yang ada pada gambar sudah terkepung pendapat-pendapat umum, tanda-tanda itu sudah dimaknai secara umum yang diproduksi pada pengetahuan seni tradisi maupun modern.
Representasi dominan justru tidak lagi punya ruang bagi pemaknaan baru yang coba disajikan pada visual gambar yang sudah diartikan sebagai awal kenalan dengan seni rupa. Dalam kondisi semacam itu masalah personal seorang perupa adalah masih memiliki keyakinan tersisa untuk mencari makna-makna dalam kenyataan.
Melalui gambar merupakan cara personal yang masih punya ruang spiritual yang tidak bisa diterobos, apalagi dominasi tanda-tanda tekno-industrial, dan gambar mengajak kita kembali mengingat spirit itu masih ada.