Di moment penghujung akhir tahun ini, rasanya perlu mengingat kembali peran dan tantangan profesi perawat. Dari beberapa media online, diberitakan adanya penolakan masyarakat kepada perawat dan tenaga kesehatan lainnya, saat mereka pulang ke rumah, peristiwa ini dikabarkan telah terjadi di beberapa daerah, bahkan dari pengakuan salah seorang perawat, dia kerap kali mendapat stigma negative dan sindiran dari masyarakat setempat dimana mereka tinggal.
Menyikapi peristiwa yang dulu pernah terjadi pada seorang perawat, kalau boleh jujur sebetulnya tenaga kesehatan yang paling rentan mengalami perlakuan diskriminasi adalah perawat, saya katakan demikian karena peran perawat sering kali tidak nampak pada public, padahal mereka tengah berjibaku berkorban 24 jam merawat pasien di Rumah Sakit, yang tentu paling beresiko terinfeksi covid-19.
Contoh lain misalkan media Tempo merilis hasil survey Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia pada tanggal (11/04/2020), dikatakan bahwa 140 perawat pernah dipermalukan oleh orang lain karena bekerja sebagai perawat yang menangani pasien covid-19, dan 135 perawat pernah diminta meninggalkan tempat tinggalnya, data tersebut menunjukkan betapa perawat sangat rentan mendapatkan perlakuan diskriminasi dari masyarakat, duh gusti betapa ironis bukan.
Begitu juga nasib paling naas, terjadinya penolakan jenazah seorang perawat, yang hendak dikebumikan di Yogyakarta, tempo hari begitu ramai diperbincangkan di media social, sebagian warganet merasa prihatin dan menyesalkan peristiwa tersebut, sebagian yang lain juga, mendukung adanya upaya penolakan tersebut, lantaran takut tertulari oleh virus dari jenazah yang hendak disemayamkan, sehingga pemakaman jenazah sempat tertunda dan pada akhirnya dikebumikan di tempat lain,
Rasanya kok tidak adil, perawat yang berkorban di garda paling depan, namun paling rentan mengalami stigma dan diskriminasi, saya kira media juga harus fair dalam menyajikan berita berdasarkan bukti, sehingga paling tidak dapat meredam berita yang justru merugikan perawat. Stigma dan diskriminsi harus segera diakhiri, agar tidak menimbulkan persoalan lebih rumit di kemudian hari.
Menurut saya ada beberapa sebab yang cukup kuat, mengapa stigma negative dan diskriminasi terjadi di tengah masyarakat, beberapa diantaranya; Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang cara penularan covid-19, bagaimana media membentuk dan melaporkan epidemic/wabah, karakteristik penyakit yang mudah menular, serta adanya prasangka dan rasa takut yang berlebihan.
Saya akui memang pemberitaan di media social, telivisi maupun grup WhatsApp dan lain-lain, apalagi di tengah maraknya berita hoax yang beredar saat ini, ternyata kerap menimbulkan perasaan panic, khawatir dan paranoid atau ketakutan masyarakat awam, yang berlebihan terhadap penularan covid-19, hal ini kemudian menimbulkan respon dari masyarakat, dimana respon yang terjadi adalah berupa stigma negative dan diskriminasi kepada tenaga kesehatan.
Sejak mewabahnya virus corona di tanah air, banyak diberitakan oleh media mengenai terbatasnya ketersediaan alat pelindung diri/ APD di beberapa Rumah Sakit, juga sempat diberitakan tenaga kesehatan yang sedang menggunakan APD seadanya, namun pada saat yang sama pemberitaan demikian telah merubah persepsi dan pemahaman masyarakat, tentang penanganan pasien covid, sehingga timbul anggapan bahwa tenaga kesehatan yang merawat pasien di Rumah Sakit harus dijauhi, karena mereka khawatir tenaga kesehatan membawa virus saat pulang ke rumah mereka.
Kejadian ini sayangat disayangkan, padahal tidak semua pasien yang dirawat adalah pasien covid, dan kita semua harus percaya bahwa, setiap Rumah Sakit mempunyai ruangan khusus yang digunakan untuk menangani dan merawat pasien covid, dan tentu tidak semua tenaga kesehatan juga merawat pasien covid, Di Indonesia hanya sejumlah Rumah Sakit tertentu saja, yang ditunjuk sebagai Rumah Sakit rujukan pasien covid, demikian juga di Surabaya hanya beberapa rumah sakit tertentu saja, yang digunakan dalam penanganan pasien covid.
Saya menduga terkait pemberitaan di media social, tenaga kesehatan yang hanya menggunakan APD apaadanya tersebut, karena keterbatasan alat, adalah tenaga kesehatan yang bukan sedang merawat pasien covid, dan saya meyakini bahwa semua tenaga kesehatan pasti akan melaksanakan SOP dengan baik, lebih-lebih ketika mereka sedang merawat pasien covid.
Seharusnya stigma negative dan diskriminasi tidak sampai terjadi, bilamana masyarakat mengerti, walaupun tenaga kesehatan sedang merawat pasien covid, namun tidak serta merta mereka kontak secara langsung, tanpa menggunakan APD yang lengkap, sehingga kecil kemungkinan terpapar oleh virus tersebut, oleh karena itu masyarakat tidak perlu khawatir mengenai masalah ini, mari kita bantu pemerintah agar tidak timbul masalah lain akibat wabah virus ini. Media harus membantu menyebar luaskan berita baik semacam ini, untuk kembali meyakinkan seluruh masyarakat.