Allah Yang Menentukan Hidup Matiku
SETELAH membayar ongkos, Romeo melompat turun dari angkot berwarna kuning pekat yang berhenti di persimpangan, tempat ia biasa turun. Sinar terik matahari saat siang menjelang sore itu mulai menyengati kulitnya. Ugh, batinnya mengeluhkan rasa panas, haus, dan ia harus berjalan kaki hampir sejauh satu kilometer lagi untuk sampai di rumahnya.
Ia mempercepat langkahnya melewati jalan yang di kanan kirinya didominasi oleh areal kebun yang dipenuhi tumbuhan jagung dan singkong. Rumahnya memang berada di lokasi yang baru dibuka, sebuah kawasan yang cukup sepi namun tenang. Tapi ternyata banyak juga di antara warga di kawasan itu yang berasal dari golongan masyarakat menengah ke atas, buktinya banyak berdiri bangunan-bangunan megah dan terkesan mewah di kawasan itu, menggambarkan kemapanan dan kondisi ekonomi pemiliknya. Mereka termasuk sekelompok orang-orang berduit yang ingin mengasingkan diri untuk mencari ketenangan, jauh dari hiruk pikuk dan semerawutnya kehidupan di kota.
Separuh jalan lagi, pikir Romeo saat melewati sebuah jembatan kecil, dan sekitar lima puluh meter ke depan akan ada jalan berbelok ke kiri yang langsung menuju ke kompleks perumahan tempat tinggalnya. Ia semakin bersemangat melangkahkan kakinya untuk menyelesaikan setengah kilo meter jalur sisa. Sudah terbayang di benaknya, sesampai di rumah ia akan langsung minum segelas air putih untuk menyegarkan tenggorokannya yang terasa mengering hebat, setelah itu, ufff, aku akan langsung merebahkan tubuh lelahku di atas ranjang berkasur tipis itu. Oh, nikmatnya, batinnya menghayal indah.
Saat hendak berbelok, pendengarannya diganggu oleh suara gaduh, teriakan, sumpah serapah, dan erangan kesakitan. Kepalanya refleks bergerak ke kanan, ke seberang jalan, tampak sebuah rumah kosong dalam kondisi rusak berat yang hampir-hampir ditutupi oleh semak belukar di sekelilingnya, dari sana rupanya sumber kegaduhan itu berasal. Besarnya rasa ingin tahu telah membuat hatinya berhasil memaksa kakinya untuk melangkah mendekati rumah itu. Memang, ada sedikit keraguan dan kekhawatiran memengaruhinya, tapi hasutan hatinya lebih kuat untuk terus memaksanya mendekati rumah itu.
Romeo berjongkok di depan sebuah jendela kayu yang hampir lepas dari engselnya, jantungnya berdegup kencang saat melihat seorang pria berkemeja ungu berdiri limbung di tengah ruangan, wajahnya tampak babak belur dengan mata kiri membengkak, biru lebam, dan darah kental memenuhi bawah hidunghingga ke dagunya. Sedangkan kedua tangannya dipegangi oleh dua orang pria kekar bertampang bengis. Didepannya, seorang pria kurus―berkulit hitam legam dan berjaket kulit cokelat kusam―tiada henti menyemburkan kata-kata kotor sambil melayangkan pukulan dan tendangan ke tubuhnya yang terus memperdengarkan lolongan kesakitan yang menyayat hati.
Romeo menggeram di tempatnya. Hawa panas menjalarinya, tangannya terkepal erat menyusul munculnya desakan di batinnya untuk melepaskan pria malang itu dari penderitaan, tapi ia masih menahan diri. Melawan seorang pria kurus itu walaupun tangan kirinya mengenggam sebilah pisau, kurasa aku masih sanggup, pikirnya. Tapi melihat kedua pria kekar yang otot-ototnya tampak mengeras dan menyembul dari baju kaos tanpa lengannya, membuat ia sedikit menimbang-nimbang kemampuannya―mampu atau tidak ia menolong pria teraniaya itu.
Tiba-tiba pria kurus itu melayangkan pandangan tajam ke arah jendela di mana Romeo sedang mengintip, seketika pemuda itu menarik kepalanya dari jendela. Huft, apa orang itu melihatku? cemas batinnya.
Alhamdulillah, gumam Romeo ketika pria itu memindahkan pandangannya kembali kepada pria malang di depannya.
Wajah pria kurus yang berhias gigi tonggos itu tampak masih diliputi kemarahan yang amat sangat. “Sudah, lepaskan saja manusia tak berguna itu!” serunya sambil membalikkan badan dan berjalan menuju kursi di sudut ruangan.
Mendengar seruan bernada perintah itu, spontan kedua pria kekar itu melepaskan pegangannya pada pria malang yang barusan menjadi samsak hidup itu. Pria malang itu langsung terkulai di lantai dengan kondisi tubuh seperti tak punya tulang, lemas tak berdaya.
Setelah duduk sejenak, pria kurus tonggos bangkit dari kursi, mendekat lagi, lalu berjongkok di sebelah pria malang itu. Kali ini pisau yang telah berpindah ke tangan kanannya, diacung-acungkannya di depan wajah pria malang itu. Pria kurus tonggos itu menggeram. Giginya bergemeretak. Nafasnya turun naik seperti tak sabar mengikuti alur pernafasan yang tenang. Sepertinya kemarahan pria kurus tonggos itu belum surut sedikitpun walaupun sudah membuat pria malang di hadapannya terkapar dengan tubuh babak belur. Ia kembali menyalak buas sambil menoyor kepala pria itu. “Boskusudah terlalu sabar memberimu tenggang waktu, sekaligus juga kehilangan akal bagaimana cara menagih kembali uangnya yang kaupinjam dan sudah kauhabiskan tanpa sisa.”
Pria berkemeja ungu yang babak belur itu diam saja, atau tepatnya orang itu dalam keadaan setengah sadar, jadi percuma saja si kurus tonggos menceramahinya karena ia tak akan meresponnya sama sekali.
Si kurus tonggos berkata lagi. “Rumahmu dan isinya yang sudah kami sita itu masih belum bisa melunasi utangmu itu, manusia super bodoh, bego, idiot! Bahkan setengahnya saja belum cukup!”
Pria kurus tonggos itu diam sejenak. Kali ini gagang pisau di tangan kanannya yang beraksi mematuk jidat pria malang itu. “Kau tau tidak?! Selama ini aku yang jadi bulan-bulanan kemarahan bos karena selalu gagal menagih utangmu itu. Aku putus asa. Bos juga sudah putus asa. Kau tak akan mampu melunasi utangmu itu. Jadi kaubayar saja utangmu itu pada malaikat maut. Matilah kau hari ini kerbau dongok!!!”
Si pria kurus tonggos mengangkat pisau di tangannya dan siap menghujamkannya kepada tubuh pria malang yang terlihat pasrah menerima maut.
Tiba-tiba, Braak!!! Daun Jendela yang dijadikan Romeo sebagai tempat menggantungkan tangan, lepas dari engselnya, dan tanpa ampun benda itu jatuh ke tanah dengan bunyi yang cukup keras.
Ketiga pria di dalam ruangan tampak terkejut hebat, serempak memandang tajam ke arah sumber suara, dan menemukan Romeo sedang melompat mundur, lalu membalikkan badan.
Pria kurus bergigi tonggos itu menggeram dengan mata menyala marah. “Cupeng, kau jaga manusia bodoh ini! Joker, kau ikut aku, kejar orang itu!”
Di saat kedua kakinya mulai berlari, sudut mata Romeo yang membandel menyempatkan diri melirik ke belakang, dilihatnya pria kurus bergigi tonggos dan seorang anak buahnya segera menghambur keluar rumah mengejarnya.
Romeo terus berlari menyusuri jalan dengan kepanikan memenuhi pikirannya. Ia berharap akan segera berpapasan dengan seseorang atau beberapa orang yang mungkin bisa meringankan bebannya melawan dua manusia yang sedang memburunya itu. Tapi, jangankan manusia, ayam pun tak tampak melintas di jalan itu. Hanya tampak pucuk-pucuk tumbuhan jagung dan singkong yang memenuhi sisi kanankiri jalan itu. Ia terus berlari dalam kepanikan, sehingga tanpa sadar ia telah meninggalkan jalan utama dan berbelok ke gang kecil, menyusuri jalan setapak sempit, membuatnya semakin jauh memasuki areal perkebunan. Namun, walaupun hatinya masih terus mencoba memaksanya untuk terus berlari, tapi rupanya kelelahan mutlak menguasai kedua kakinya. Ia berhenti dengan dada menyesak hebat, lalu menyandarkan tubuhnya di batang sebuah pohon, sambil mencoba menghirup udara segar sebanyak mungkin untuk memenuhi paru-parunya yang seakan-akan telah kehabisan oksigen. Tapi udara yang dihirupnya kuat-kuat malah membuat dadanya semakin menyesak. Dan baru disadarinya ternyata udara yang berbau tak sedap yang telah dihirupnya ketika pandangan nanarnya melihat gunungan sampah memenuhi lahan kosong di sekitar tempat itu.
Kedua orang yang mengejar Romeo sudah mendekat, tapi begitu melihat pemuda itu sedang asyik beristirahat ria sambil menyandarkan diri di batang pohon, telah menggoda pemburu itu untuk melakukan hal yang sama. Kedua pria yang semula begitu bernafsu mengejar Romeo langsung berjongkok, terduduk, dan menggeletak di tanah, kepayahan menghela nafas.
Tapi pria kurus bergigi tonggos itu benar-benar manusia yang keras hati, di saat nafasnya masih turun naik seperti orang kena serangan asma, ia masih sempat juga menyemburkan gertakan. “Awas kau… sini... biar kupisahkan kepalamu… dari batang lehermu!” ancamnya dengan terpatah-patah seraya mengacungkan pisaunya ke arah Romeo. Sedangkan temannya yang bertubuh kekar layaknya seorang binaragawan itu hanya diam, terduduk kelelahan, dan sibuk menghimpun oksigen berbau tak sedap di paru-parunya.
Puas beristirahat, kedua penjahat itu segera berdiri, atur posisi dan bersiap menyerang Romeo yang masih menyibukkan diri mengatur nafas, sambil mencoba mengumpulkan tenaga yang tersisa. Tapi Romeo juga bersiap menghadapi kemungkinan terburuk yang bakal menimpanya. Kini sepasang matanya menyala mengikuti setiap gerak-gerik kedua orang yang mengepungnya.
Pria kekar berkaos tanpa lengan dengan tato kelelawar di lengan kirinya, lebih dulu menyalak. “Bang, dia pasti sudahmelihat aksi kita tadi dan tau niat kita mau menghabisi orang sial itu. Jadi sekarang anak usil ini yang harus kita habisi untuk menutup mata dan membungkam mulutnya, selamanya.”
“Ya, anak usilan ini memang harus dilenyapkanl!” sahut si pria kurus bergigi tonggos, pandangan matanya menghunjam tajam ke arah Romeo. “Aku minta nyawamu!” ia segera menghambur menyerang Romeo dengan kombinasi pukulan dan tusukan pisau ke arah muka dan dada.
Walaupun jantungnya masih berdegup kencang, Romeo mencoba bersikap tenang dan waspada menghadapi serangan lawan. Dengan memiringkan tubuh ke kiri dan ke kanan, berkali-kali ia berhasil menghindari beberapa pukulan dan tusukan si tonggos, akibatnya pria tonggos itu semakin bernafsu menyerangnya secara membabi buta. Tapi justru itu yang diinginkan Romeo, memanfaatkan emosi lawan yang tak terkendali sekaligus mencoba menguras tenaganya. Ia terus mencoba meladeni serangan lawan dengan tenang dan lebih berhati-hati. Sesungguhnya, pisau di tangan lawan lebih membuatnya mirisdaripada pukulan dan tendangan lawan. Namun sejauh ini Romeo masih sanggup meladeni serangan si tonggos, bahkan sesekali mampu melepaskan serangan balasan yang membuat permainan pisau si tonggos kalang kabut.
Untung kedua penjahat ini tidak menyerangku bersamaan. Romeo masih sempat melirik pria berbadan kekar berkaos tanpa lengan dengan tato kelalawar di lengannya itu belum berbuat apa-apa, masih diam di tempatnya seakan hanyut menikmati menonton pertarungan yang berlangsung di hadapannya.
Itu lebih baik, kau berdiri aja yang manis di situ, jadilah penonton yang baik, harap Romeo.
Tapi,akhirnya sebuah bentakan menyapa pria kekar itu. “Joker, jangan diam saja kayak kerbau dongok!!! Bantu aku, cepat habisi orang ini!” teriak si pria tonggos menumpahkan kekesalannya melihat anak buahnya hanya berdiri bengong―tidak membantunya menyerang Romeo―di saat ia sudah kelelahan dan kehilangan akal untuk mengalahkan pemuda itu.
Payah nih tonggos, beraninya main keroyokan, keluh Romeo. Degup jantungnya semakin sulit diatur. Satu orang musuh belum dapat diatasinya, eh sekarang bertambah lagi satu orang, berbadan kekar pula. Mudah-mudahan cuma bangkainya aja yang besar, harapnya lagi.
“Eh… iya Bang!” sahut Joker tergagap, tersentak dari keterpanaannya dan segera menghambur ikut menyerang Romeo.
Romeo melompat mundur. Sejenak menimbang-nimbang kekuatannya untuk menghadapi kedua lawannya. Dan ia memang tidak punya pilihan lain selain harus menghadapi kedua lawan itu sekaligus. Tapi kali ini ia lebih berhati-hati, karena kedua orang bengis itu begitu sangat bernafsu ingin menghabisinya.
Pertarungan sengit kembali berlangsung. Berkali-kali Romeo hanya bisa terus mengelak dan menangkis serangan kedua penjahat itu, membuatnya bosan dan cukup kelelahan dalam posisi bertahan seperti itu. Ia terus mencari celah kelemahan dan kelalaian lawan. Sampai akhirnya ia melihat celah untuk menyerang balik. Ketika Pria tonggos itu mengarahkan tendangan lurus ke arah kepalanya, secepatnya ia menjatuhkan badan seraya melepaskan sapuan kilat yang berhasil menyapu satu kaki lawan yang bertumpu di tanah karena kaki satunya lagi masih terangkat saat menendang. Sapuan cepat dan keras itu menghempaskan tubuh pria kurus itu ke tanah, dan lebih sial lagi sebuah tunggul kayu menyediakan tempat mendarat yang menyakitkan untuk menyambut hempasan punggungnya.
Pria tonggos itu memekik tertahan. Sejenak ia menggeliat-geliat tanpa suara karena rasa sakit yang begitu hebat dengan cepat menjalari punggungnya, membuat mulutnya tak mampu melontarkan umpatan yang ada di pikirannya. Punggungnya terasa menggeletar hebat seperti kesetrum listrik.
Yeah, satu lawan telah ku-KO-kan! Romeo tak dapat menyembunyikan kegirangannya. Senyum puas menyeringai di wajahnya. O, oww, satu lagi. Ia buru-buru memperkuat kuda-kudanya.
Melihat si tonggos rebah―menggeliat-geliat, dan akhirnya meringkuk seperti udang bongkok sambil menggigit bibir karena menahan sakit―Joker si pria kekar langsung memburu Romeo dengan pukulan dan tendangan yang lebih liar dan ganas.
Romeo menyambut serangan itu dengan tangkisan dan serangan balik yang tak kalah mematikan. Ia tak mau lagi hanya terus bertahan sambil memapaki serangan lawan seperti sebelumnya. Semangat bertarungnya membesar, tenaganya seakan menguat hebat karena keadaan yang seimbang, satu lawan satu.Sambil bertarung ia terus memutar otak untuk merancang teknik terbaik dan mencari kelemahan lawan agar bisa melumpuhkan lawan bertubuh kekar itu.
Romeo menemukan kelemahan Joker. Pria kekar itu hanya mengandalkan kekuatan fisik―terasa dari deru pukulannya yang kuat dan berisi―tapi gerakannya serba kaku, akibatnya ia sering terlambat menarik tendangan atau pukulan kosong. Menyadari hal itu Romeo semakin mempercepat gerakan serangannya. Joker terpancing dan juga berusaha mengikuti kecepatan Romeo. Namun gerakannya yang serba lambat menghalangi usahanya untuk mengimbangi kecepatan Romeo, bahkan gerakannya jadi serba kacau, membuatnya cepat lelah dan kehilangan konsentrasi bertarung. Sampai pada suatu kesempatan Romeo melancarkan dua pukulan beruntun, satu pukulannya bisa ditangkis Joker tapi pukulannya yang satu lagi menghantam telak muka Joker.
Di saat pandangannya masih berkunang-kunang akibat terkena pukulan, dengan panik Joker mencoba melontarkan pukulan lurus, tapi dengan mudah Romeo mampu menghindari bahkan ia berhasil menangkap pergelangan tangan kanan Joker yang kembali terlambat menarik pukulan kosongnya. Cepat dan dengan sekuat tenaga Romeo memelintir tangan itu ke arah punggung Joker. Sekarang posisi Romeo berada di belakang Joker, tangan kirinya menarik rambut Joker ke belakang sehingga kepala Joker terdongak ke atas. Lalu kaki kanannya bergantian menghantam kedua betis Joker. Akibatnya Joker langsung jatuh berlutut dengan tangan kanan masih terpelintir di punggung dan kepala terdongak ke atas. Ini dia, benar-benar bebas tanpa hambatan! Dan tanpa ampun dari samping lutut kanan Romeo menelikung dengan leluasa berulang kali menghantam rahang Joker. Lalu ia melepaskan Joker yang sudah limbung, dan jatuh rebah seperti karung basah ke tanah.
Tampak darah mengucur dari sela bibir pria kekar itu, akibat bibirnya sempat tergigit ketika rahangnya disinggahi hantaman lutut Romeo.
Alhamdulillah, keduanya bisa ku-KO-kan, batin Romeo lega. Tapi, benar-benar keras hati nih orang.
Si pria tonggos tampak memaksakan dirinya berdiri. Sebelah tangannya berada di balik punggungnya untuk meredakan denyutan rasa sakit yang masih betah menyiksa punggungnya akibat jatuh dan menghantam tunggul kayu tadi. Dari raut wajah dan sorot matanya tampak sekali kemarahan dan kegeraman yang amat sangat. Segera ia atur posisi untuk mulai menyerang Romeo lagi. Kali ini ia tampak lebih berhati-hati―tidak mau menganggap remeh Romeo lagi―karena terbukti ia dan Joker sudah berhasil dirobohkan Romeo barusan.
Romeo juga tak mau bertindak gegabah. Ia kembali bersiap siaga menunggu serangan berikutnya dari pria tonggos yang masih menghunus pisau di tangannya. Romeo menggeser kaki kanannya ke samping bermaksud hendak memasang kuda-kuda. Tapi, astaghfirullah, tiba-tiba kakinya malah terperosok ke dalam lubang kecil yang tak tampak olehnya karena ditutupi rumput liar. Akibatnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh pasrah ke tanah. Belum sempat ia berbuat apa-apa, seketika kaki kanan pria tonggos itu sudah menginjak dadanya. Argh, sakit! Rongga dadanya terasa menyempit, sesak, dan sulit bernafas. Pria tonggos itu menurunkan tubuhnya, menjatuhkan lutut kanannya menghimpit dada Romeo, dan tanpa memedulikan keluhan kesakitan Romeo dengan cepat ia mengayunkan pisaunya ke arah leher pemuda itu.
Tapi rasa puji dan syukur yang terbersit di hati Romeo. Alhamdulillah! Allah belum mengijinkan pisau ini mencabut nyawaku, karena tangan kanannya yang bergerak refleks berhasil menangkap tangan lawan dan menahannya dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada agar hujaman pisau itu tidak menyentuh kulit lehernya, dan tangan kirinya segera membantu menahan.
Pria tonggos itu semakin bernafsu untuk terus berusaha menekan pisaunya ke arah leher Romeo. Sesaat terjadi dorongan dan tekanan turun naik bergantian. Sesaat pria tonggos itu berhasil menekan pisau di tangannya ke arah Romeo, tapi sesaat kemudian Romeo berhasil kembali mendorong tekanan pisau di tangan lawan menjauhi kulit lehernya.
Benar-benar adu kekuatan yang melelahkan dan menegangkan. Keputusasaan dengan cepat menyelimuti Romeo karena tekanan lutut lawan semakin menyesaki dadanya. Sedangkan kedua tangannya yang terlalu kelelahan sudah gemetaran menahan hujaman pisau lawan. Lawannya merasa semakin di atas angin. Pria tonggos itu walaupun kurus tapi tenaganya kuat, semakin kuat karena ditambah lagi oleh nafsu membunuh yang dahsyat. Ia seakan disusupi kekuatan syetan!
Hampir-hampir Romeo pasrah pada nasib, mati diujung pisau lawan. Tapi takdir dan kehendak Allah Yang Maha Kuasa-lah yang menentukan nasibnya ketika sebelah matanya sempat melirik benda di sisi kirinya, yah, sebuah payung rusak yang tinggal gagangnya saja. Ia segera menumpuk tenaga di tangan kanannya yang masih menahan tekanan tangan lawan.
Romeo berseru untuk menyemangati dirinya. “Allah yang menentukan hidup matiku, bukan kau!!!” lalu secepat kilat tangan kirinya menyambar gagang payung itu, dan dengan tenaga yang tersisa dilontarkannya payung itu ke arah wajah si pria tonggos.
“Ampun, ya Allah,” desis Romeo, ngeri.Tanpa diduganya besi ujung payung itu melesak tepat menancap di mata kiri lawan.
Teriakan keras setinggi langit meluncur dari mulut pria tonggos itu. Pisau di tangannya terlepas. Kedua tangannya serta merta memegangi gagang payung yang ujungnya menancap di mata kirinya. Romeo mendorong tubuh pria tonggos yang menindihnya sehingga pria itu terguling di tanah, terus meraung-raung kesakitan sambil menyemprotkan umpatan-umpatan kotor dari mulutnya. Darah mengucur deras dari mata kiri si pria tonggos. Ujung payung itu masih menancap di mata kirinya. Kedua tangannya tetap memegang gagang payung, belum berani mencabutnya.
Romeo langsung berdiri dengan tatapan penuh kengerian. Bergidik juga hatinya melihat ujung payung yang menancap di mata pria tonggos itu. Dilihatnya Joker―si pria kekar letoy―yang masih terduduk di tanah dengan wajah tegang sambil mengelus rahangnya yang terasa ngilu. Tak mau ambil pusing, Romeo segera meninggalkan tempat itu dengan perasaan tidak mengenakkan memenuhi hatinya. Sebelumnya ia merasa tidak punya firasat apa-apa sehingga ia bisa mengalami peristiwa yang menakutkan hari itu.[]
Bersambung ke Bagian 10
*MEMBACA NOVEL HANYA SELINGAN, MEMBACA AL-QUR'AN LEBIH UTAMA*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H