Lihat ke Halaman Asli

Romeo, Don't Cry : 10. Bayangan Gelap

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14179311081911510740

Bayangan Gelap

SETELAH melihat keadaan di sekelilingnya, buru-buru Romeo masuk ke rumahnya dan mengunci pintu. Ia langsung terhenyak di lantai dengan nafas turun naik. Kejadian barusan masih menghantui pikirannya, kejadian mengerikan yang hanya berjarak kurang dari lima ratus meter dari tempatnya berada saat ini. Otaknya mereka-reka siapa sebenarnya orang-orang sangar yang dihadapinya tadi. Sudah pasti orang-orang itu penjahat karena berniat membunuhnya untuk menyembunyikan perbuatan jahat mereka di rumah kosong itu. Tapi sekarang aku juga penjahat. Uh, baru saja memulai jadi penjahat, aku sudah dijahati orang. Mungkin, kejadian tadi karena murka Allah padaku karena pilihan bodohku untuk jadi pengedar narkoba, pikirnya cemas.

Kepalanya bergerak-gerak gelisah, membuat matanya menyadari ada ceceran darah di bahu kemejanya. Perasaan mual seketika menyodok perutnya, dan bayangan kengerian tentang mata kiri si tonggos yang tertancap ujung gagang payung, melintas lagi dibenaknya. Tak ingin berlama-lama memelihara bayangan mengerikan itu, ia bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Ia membuka kemejanya, dan merendamnya di dalam ember dengan air dan larutan deterjen.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu, tangannya langsung merogoh saku celananya, dan ia lega, uang pemberian Roki masih ada di sakunya itu. Ia khawatir uang itu tercecer ketika ia bertarung dengan kedua penjahat tadi.

***

Malam harinya, udara yang terasa sangat pengap dan panas, memaksa Romeo berulangkali menggeliatkan tubuhnya yang basah oleh keringat. Kedua matanya terbuka lebar memandangi langit-langit kamar. Perasaan-perasaan yang tidak nyaman kembali memenuhi hatinya saat mengingatkejadian tadi siang. Peristiwa mengerikan itu masih enggan meninggalkan benaknya. Ia bangkit dan duduk di sisi ranjang seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba menghilangkan bayangan-bayangan yang sedari tadi tiada henti memberati kepalanya.

Astaghfirullah, Romeo tersentak, suara HP yang berbunyi nyaring seketika memecahkan dinding lamunannya. Sesaat ia hanya terdiam, menikmati sensasi kejutan yang sempat menguasai dirinya. Tak ingin terlalu lama mematungkan diri, segera diraihnya ponsel yang masih berbunyi itu. Uh, Bella.

“Ya, Bella, met malam,” sapa Romeo sambil mengusap keringat di pelipisnya.

“Met malam juga, Rom,” jawab suara bernada riang di seberang sana, tapi segera berubah terdengar merajuk. “Rom, Kamu kok nggak jadi ke rumahku. Kamu kan janji mau ke rumahku jam delapan. Ini kan udah hampir jam 10 malam. Kamu lupa, ya?”

Lagi-lagi Romeo tersentak. Tadi pagi di kampus―lewat sms―ia memang berjanji akan datang ke rumah Bella untuk membahas skripsi yang sedang mereka susun. “Ohhh, maaf banget Bel, aku lupa,” sahutnya sambil menepuk kening. “Aku… aku lagi nggak enak badan, nih. Maaf ya, aku benar-benar lupa.”

Bella mendesah namun segera tertawa lembut. “Iya deh, kalo gitu, nggak apa-apa. Tapi, kapan-kapan, kamu sempatin datang ke rumahku, ya? Aku udah dapat buku-buku referensi untuk bahan skripsi kita. Kopian contoh-contoh skripsi yang kita perlukan juga udah ada. Aku ingin membahasnya sama kamu, Rom.”

Sejenak Romeo terdiam mendengar aliran nada suara Bella, tapi saat itu malah sosok Gadissa yang melintas di pikirannya, mengalirkan ketenangan dan memupus hati yang gundah.

“Romeo???” tegur Bella.

“Ya… ya… Mmm, besok kamu ke kampus, kan?” Romeo mencoba menyamarkan kegugupannya.

Bella tertawa lembut lagi, “Ya, iyalah. Besok kan kita masuk mata kuliahnya Bu Yusra. Aku pengen dapat nilai lebih bagus. Nggak hanya sekadar dapat nilai B kayak semester lalu.”

“Bagus deh,” kata Romeo. “Ka…kalau gitu besok aja kita bicara di kampus,” lanjutnya, walaupun ia sadar bahwa besok mungkin saja ia tak bisa ke kampus, mengingat aktivitas barunya sebagai anggota geng dan pengedar narkoba.

“Tapi… kedengarannya kamu nggak bersemangat gitu, Rom. Nggak kayak biasanya. Kamu sakit, ya?” duga Bella.

“Ah, tidak, cuma nggak enak badan aja, kok,” elak Romeo. “Paling dibawa tidur, besok juga sudah baikan lagi.”

“Oke deh, kalo gitu. Sekarang kamu istirahat aja. Sampai jumpa besok di kampus. Met malam, met bobo juga, yah,” Bella menutup pembicaraannya.

“Ya, met malam juga,” sahut Romeo, menghembuskan nafas, dan meletakkan HP di samping bantalnya, lalu merebahkan diri lagi di kasur

Bella… Kembali ia menyelami lamunannya. Isabella―atau biasa dipanggil Bella―adalah gadis yang baik, periang, penuh semangat dan juga cantik. Bella anak tunggal. Di rumahnya ia tinggal bersama papanya―pemilik sebuah Bank Perkreditan di Pekanbaru―dan juga beserta dua orang pembantunya, sepasang suami isteri, yaitu Pak Udin dan Bi Inah. Sedangkan mamanya sudah meninggal empat tahun yang lalu. Walaupun dia anak tunggal dan terbiasa hidup mewah serba berkecukupan, Bella adalah anak yang terlihat biasa hidup mandiri, ke kampus ia menyetir mobil sendiri. Bella sering mengajak Romeo ikut naik mobilnya ke kampus. Tapi selalu ditolak Romeo dengan halus. “Makasih, Bel. Aku naik kendaraan umum aja, sudah biasa. Asyik juga berangkat ke kampus naik angkot trus nyambung lagi naik bus kota, seperti menjalani petualangan seru,” itu salah satu alasan yang pernah dikatakannya. Ia memang menghindari berhubungan terlalu dekat dengan Bella. Ia kuatir kedekatan itu bisa mengubah pertemanannya dengan gadis nonmuslim itu berkembang menjadi hubungan spesial.

Walaupun Bella kerap terlihat kecewa menerima penolakan-penolakan darinya tapi Romeo cukup lega karena sejauh ini gadis itu memang selalu bisa menerima alasan-alasan penolakannya.

Sebenarnya, sejak kecil Romeo sudah terbiasa dididik oleh kedua orang tuanya dengan cukup ketat dan disiplin. Nilai-nilai religius pun terasa tertanam cukup baik dalam dirinya. Hal ini terasa sangat bermanfaat baginya dalam membentengi diri dari pola hidup dan tingkah laku manusia yang semakin menjauh dari peradaban yang baik, yaitu pola hidup dan tingkah laku yang menganggap agama hanya sebagai tanda pengenal diri dan juga menganggap aktivitas beragama cuma sebagai rutinitas belaka.

Ah, tapi itu dulu, sekarang???

Tiba-tiba dadanya bergemuruh, bibirnya bergetar mengingat keputusannya untuk ikut jadi pengedar narkoba, sekaligus pengesahan dirinya sebagai bagian dari geng Vokand di rumah Roki tadi siang. Matanya mulai terasa memanas, lalu bulir-bulir hangat perlahan menggelinding di wajahnya. Ia merasa telah menghianati amanat dan harapan Bunda, dan lebih parahnya lagi ia telah menghianati Rabb-nya. Ya, Allah, diri ini sudah mulai dilumuri kotoran dosa. Sungguh, ya Allah, saat ini aku kalah memerangi hasutan syetan, hamba-Mu ini lemah, dan… apakah masih pantas aku menyebut diri ini sebagai hamba-Mu…

Lalu benaknya membayangkan peristiwa beberapa bulan yang lalu ketika ia sedang makan siang di sebuah warung nasi pinggir jalan. Sebuah kecelakaan terjadi. Seorang pria yang mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi menabrak truk yang sedang berhenti di badan jalan. Pria itu terhempas ke jalan, darah segar berhamburan dari mulutnya, sekujur tubuhnya dipenuhi luka, rintihannya hampir-hampir tak terdengar, sekarat. Kerumunan orang-orang segera memenuhi tempat kecelakaan dengan tatapan penuh kengerian, tapi ya, hanya menonton, tanpa ada niat untuk menolong. Beberapa orang terlihat memberanikan diri menghampiri pria naas itu, tapi kemudian melengos pergi setelah melihat wajahnya.

Melihat itu, segera Romeo menyudahi makan, membayar makanannya dan segera menghambur menghampiri pria sekarat itu. “Kenapa tidak segera ditolong??!!” teriaknya geram, dan segera membopong tubuh pria penuh tato itu ke arah sebuah mobil pick up.

Roki, itulah pria yang ditolong Romeo. Roki selamat setelah Romeo menyumbangkan sedikit darah untuk dirinya yang banyak kehilangan darah akibat kecelakaan itu. Roki sangat berterima kasih pada Romeo, merasa berhutang nyawa, lalu mengangkat Romeo sebagai saudaranya… dan juga tadi siang memberi Romeo uang untuk membayar biaya perkuliahan.

Masih terbayang jelas di benak Romeo kilatan mata keraguan dari beberapa anggota senior geng Vokand ketika Roki mengesahkan dirinya berkedudukan sebagai wakil ketua geng Vokand, juga tadi siang. Ia bisa menerima kalau anak buah Roki meragukan kapasitasnya sebagai wakil ketua geng yang menguasai beberapa pasar dan pusat pertokoan di kota itu. Ia sadar, ia cuma seorang mahasiswa tingkat akhir yang hanya berpengalaman sebagai mantan penjaga toko dan sama sekali belum pernah mencicipi kerasnya hidup di dunia hitam yang mulai dimasukinya hari itu.

Romeo tahu Roki memberinya kedudukan sebagai sebagai wakil ketua geng karena statusnya sebagai adik angkat ketua geng itu. Dan memang, sebelum mengumpulkan anggota seniornya untuk menghadiri pengesahan itu, Roki sempat mengatakan kepada Romeo bahwa sebagai adik angkatnya Romeo tidak pantas menjadi anggota geng biasa, Romeo hanya pantas menjadi orang kedua di geng itu. Dan jadilah sekarang ia wakil ketua geng Vokand.

Sebuah pilihan hidup yang bodoh, sangat bodoh, batinnya gusar. Ia merasa setengah menyesal dengan keputusan kilat yang dibuatnya tadi siang untuk memasuki dunia hitam sekaligus merasa sulit untuk menarik atau membatalkan keputusan itu mengingat saat ini kedudukannya sudah resmi sebagai wakil Roki.Ketidaknyamanan serta merta menghimpit dadanya.

Ia mencoba meredakan suasana hatinya dengan menyapukan pandangan ke sekeliling kamar. Sudah sebulan lebih ia menempati rumah ini. Sebelumnya ia mengontrak rumah yang berada tidak jauh dari kampusnya bersama tiga orang teman sekampusnya tapi dari fakultas yang berbeda. Itu pun sudah kali ketiga ia berpindah rumah disebabkan suasana yang sangat tidak kondusif bagi kuliahnya, apalagi sekarang ia sedang berkonsentrasi untuk mulai menyusun skripsi sebagai syarat akhir untuk mendapatkan gelar sarjana seperti yang selama ini dicita-citakannya.

Teman-teman di rumah kontrakannya yang lama bertingkah laku tak selayaknya seorang mahasiswa yang tugasnya mengemban amanat orang tua untuk menuntut ilmu sebagai bekal untuk menjalani kerasnya tantangan hidup di masa depan. Rumah kontrakan itu seringkali menjadi tempat teman-teman serumahnya menyelundupkan teman wanitanya dan menginap di sana. Bahkan seringkali ia memergoki mahasiswa lain yang sebenarnya tidak serumah dengannya juga sering memanfaatkan rumah itu untuk melangsungkan hajat pacaran. Dan lebih parah lagi teman-temannya yang rata-rata merokok juga sering memodifikasi rokok dengan mengganti tembakau rokoknya dengan lintingan daun ganja kering, membakar dan menghisapnya dengan santai di depannya.

“Sori, Rom, narik dulu sehisap dua hisap, lagi kebelet nih,”begitu kata teman-temannya yang sering berpesta narkoba ketika itu.

Akhirnya kesabaran Romeo pupus ketika rumah kos yang berjarak hanya beberapa blok dari rumah kontrakannya digerebek polisi. Polisi menemukan satu paket lintingan daun ganja kering di balik bentangan karpet di salah satu kamar di rumah kos itu. Ironisnya penghuni kamar yang juga mahasiswa itu tidak mengakui kalau ganja itu miliknya. Romeo tahu kalau mahasiswa itu anak baik-baik. Tapi tetap saja orang itu diangkut ke Kantor Polisi bersama barang bukti lintingan daun ganja kering yang menjadi penjeratnya. Setelah itu terdengar selentingan kabar bahwa orang itu dijebak oleh teman satu kosnya yang tidak senang atas prilakunya yang dibilang sok alim.

Romeo tak ingin mengalami hal yang sama. Ketika teringat pada tawaran Bella―gadis itu pernah berkali-kali menawarkan padanya untuk menempati rumah staf papanya yang sudah kosong bertahun-tahun―ia langsung menghubungi Bella dan mengutarakan maksud untuk menerima tawaran Bella itu. Bella sangat senang menerima permintaan Romeo, bahkan gadis itu membantu mengangkut barang-barang Romeo yang tidak seberapa banyak itu dengan mobilnya ketika Romeo pindah ke rumah yang ditempatinya sekarang.

Walaupun tempat tinggalnya berjarak cukup jauh dari kampusnya bahkan harus ditempuh dengan dua kali naik kendaraan umum yang berbeda,Romeo jauh merasa lebih nyaman tinggal di rumah ini. Di rumah ini tidak ada lagi kepulan asap rokok dengan tembakau ganja dan tidak terdengar lagi suara-suara tawa cekikikan dan desah halus orang yang sedang pacaran. Ia merasa bebas merdeka.

Namun sekarang, pelariannya ke rumah ini terasa sia-sia, sangat sia-sia. Dulu ia adalah pengutuk pemakai dan pengedar narkoba ketika ia sering melihat teman-temannya yang pemadat memakai barang haram itu, tapi sekarang ia justru akan menjadi pengedar narkoba itu sendiri. Ia merasa, ia akan segera menjadi si penyebar penyakit, penyakit yang membusukkan hati, pikiran dan merusak moral generasi muda. Memang, mulai saat ini ia tidak akan pernah lagi mengalami kesulitan keuangan, tapi hal itu harus dibayarnya dengan babak baru hidupnya yang mulai gelayuti kegelisahan. Ia sedang terjebak di lembah dosa, dan ia meyakini bahwa ia tidak akan pernah menikmati secuilpun kehidupannya di masa depan.

Tubuhnya seketika menggigil, dan perasaan muak tumpah ruah di dadanya mengingat semua bayangan gelap itu. Sesaat ia hanya terengah-engah menarik nafas berat, dan membiarkan kepalanya terbenam di atas kasur―dalam himpitan bantal―mencoba mengosongkan pikirannya, berusaha menghapus semua ingatan-ingatan dan bayangan gelap yang begitu memuakkan dari memori pikirannya. Malam semakin larut, tapi masih tetap terasa pengap dilapisi udara yang berhembus hangat.[]

Bersambung ke Bagian 11

*MEMBACA NOVEL HANYA SELINGAN, MEMBACA AL-QUR'AN LEBIH UTAMA*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline