Lihat ke Halaman Asli

Raden Firkan Maulana

Pembelajar kehidupan

Wajah Muram Transportasi Publik di Wilayah Bandung Raya

Diperbarui: 19 Januari 2025   16:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angkutan Kota di Kota Bandung (Sumber: Firkan/Dokumentasi Pribadi)

Sebagai orang yang lahir dan besar serta bertempat tinggal hingga kini di Kota Bandung, jujur saja saya mulai merasa tidak betah hidup di kota ini. Saya merasa mulai pengap dengan suasana keseharian di Kota Bandung. Jika orang luar Bandung, melihat dan menilai Bandung sebagai suatu tempat yang romantis, bagi saya hal tersebut tidaklah berlaku. Saya memaklumi hal tersebut karena mungkin orang luar Bandung hanya melihat wajah kota yang cantik di titik-titik tertentu saja, misalnya di kawasan Dago, Cipaganti, area Gedung Sate dan Braga. Namun sesungguhnya jika ingin melihat Bandung secara keseluruhan, maka lihatlah sudut-sudut Kota Bandung lainnya di bagian selatan, timur dan barat.  Maka wajah bopeng Kota Bandung akan terlihat dengan jelas. 

Dalam keseharian, Bandung bukanlah menjadi tempat tinggal yang nyaman lagi. Sekarang ini, udara Bandung makin terasa gerah, tidak sejuk seperti dulu. Kesemrawutan kota bisa terlihat dari masalah yang tidak pernah terselesaikan, misalnya pemukiman kota yang kumuh, banjir, sampah yang berserakan, lokasi berdagang kaki lima yang tidak beraturan dan tentu saja, kemacetan lalu lintas. Buat warga Bandung, kemacetan lalu lintas ini sudah merupakan makanan sehari-hari. Dan jika tiap akhir minggu, saya paling malas untuk keluar rumah karena kemacetan lalu lintas di Kota Bandung semakin menggila. Kondisi ini diperparah dengan masih kurang memadainya sarana dan prasarana transportasi publik di wilayah Bandung Raya yang terdiri dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi dan Kabupaten Sumedang. Bisa dikatakan, telah terjadi krisis transportasi publik di wilayah Bandung Raya. 

Kondisi Transportasi Publik

Dari sudut pandang pemerintah (baik itu Pemerintah Kota/Pemkot Bandung, Pemerintah Provinsi/Pemprov Jawa Barat (Jabar) dan pemerintah pusat), untuk memecahkan permasalahan kemacetan lalu lintas di Kota Bandung salah satunya dengan penyediaan transportasi publik. Maka di Kota Bandung, telah hadir bus-bus seperti Trans Metro Jabar (menggantikan Trans Metro Pasundan) yang dikelola Pemprov Jabar, Trans Metro Bandung yang dikelola Pemkot Bandung dan DAMRI. Bus-bus tersebut melayani rute masing-masing dan menghubungkan antar wilayah di Bandung Raya misalkan antara Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Kota Cimahi dan Kabupaten Sumedang. 

Ada juga jenis transportasi publik lainnya yaitu kereta api yang dikelola oleh PT.Kereta Api, yang menghubungkan poros wilayah Bandung Raya dari wilayah barat ke timur dengan melayani rute dari Stasiun Padalarang di wilayah Kabupaten Bandung Barat, melintasi Kota Bandung (Stasiun Bandung dan Kiaracondong) hingga pemberhentian terakhir di Cicalengka (Kabupaten Bandung). Bagi sebagian besar masyarakat Bandung yang bertempat tinggal dan bekerja di wilayah yang berdekatan dengan jalur kereta api tersebut, maka angkutan umum berbasis kereta ini menjadi angkutan favorit. 

Termasuk saya sendiri jika hendak berkunjung ke rumah kerabat di Cicalengka, saya gemar naik kereta api yang dikenal di kalangan warga itu dengan sebutan "Kaerde" singkatan dulu Kereta Rel Disel yang diplesetkan Kereta Ripuh Diuk (Bahasa Sunda yang berarti kereta susah untuk duduk karena saking berjubelnya penumpang). Tapi sekarang ini, kereta tersebut sedikit demi sedikit memperbaiki pelayanannya dengan memberikan nomor tempat duduk pada aplikasi Kereta Api Akses pada saat pembelian tiket kereta. Dan pada prakteknya sekarang ini, terakhir kali saya naik kereta api ini selalu tidak diberi nomor tempat duduk.  Enaknya naik kereta api sekarang ini adalah tepat waktu, penjualan  tiket sesuai kapasitas gerbong, alur masuk keluar penumpang di setiap stasiun sudah tertib, fasilitas kebersihan terjaga di setiap stasiun dengan adanya tampat sampah dan petugas kebersihan di kereta serta di setiap stasiun tidak ada yang berjualan di gerbong dan area stasiun.

Transportasi publik lainnya yang ada di Bandung adalah Angkot (angkutan kota), yang pamornya semakin menurun. Angkot ini dikelola oleh pihak swasta, koperasi dan perorangan. Dulu saat saya bersekolah tingkat menengah hingga kuliah, angkot menjadi salah satu angkutan yang sering saya gunakan karena harganya murah. Dan pada saat itu sekitar tahun pertengahan 1980 hingga 1990-1999, angkot merajai jalanan di Kota Bandung. Pemandangan angkot yang nunggu penumpang (ngetem) di depan gerbang sekolah, area dekat pasar, di depan mall/pusat perbelanjaan bahkan perempatan lalu lintas, bukanlah hal yang aneh. Salah satu  terminal Kota Bandung yang terkenal dengan angkotnya saat itu adalah Terminal Kebon Kelapa, yang lokasinya dekat dengan Alu-Alun dan Mesjid Agung. Sekarang ini, saya sudah sangat jarang naik angkot. Jika diperhatikan angkot yang lalu lalang di jalan, jumlah penumpangnya semakin sedikit. Dan bahkan jumlah angkot nya pun saya perhatikan semakin menurun.

Wajar saja pamor angkot menurun karena belakangan ini warga Bandung lebih akrab dengan transportasi publik berbasis online, baik itu motor maupun mobil. Dengan kemajuan teknologi informasi dan alat komunikasi yang semakin canggih, penggunaan transportasi online menjadi primadona bagi warga Bandung walaupun harga nya lebih mahal daripada transportasi yang disediakan oleh pemerintah dan juga angkot. Sekarang ini, di setiap sudut wilayah Bandung Raya, transportasi online hampir menjangkau seluruh sudut wilayah. Gesekan antara transportasi online dengan transportasi ojek sepeda motor yang mangkal, menjadi salah satu kasus yang seringkali terjadi dan perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Ojek sepeda motor pangkalan sering merasa terancam periuk nasinya dengan kehadiran ojek sepeda motor online.

Sebetulnya, di pinggiran wilayah Bandung Raya dan di pelosok pedesaan di Kabupaten Bandung, Bandung Barat dan Sumedang, masih banyak terdapat transportasi publik berupa delman dan becak. Biasanya angkutan tersebut melayani rute jarak dekat saja, misal dari rumah ke sekolah dan pasar. Sebagai contoh, di Soreang-ibukota Kabupaten Bandung masih banyak terdapat delman dan becak yang mangkal di dekat pasar, terminal dan pusat keramaian lainnya. Atau di Lembang yang masuk wilayah Kabupaten Bandung Barat, delman masih sering terlihat mengangkut penumpang dan barang di pasar-pasar.

Becak, transportasi publik tradisional yang tersisa di Kota Bandung (Sumber: Firkan/Dokumentasi Pribadi)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline