GENERASI terkini mungkin tahunya Anang Hermansyah itu pria klimis. Tapi bagi Anda yang meniti remaja pada era 80-an, maka pernah menjadi saksi Anang yang gondrong seperti video di bawah ini: Atau seperti ini: Anang gondrong melewati bahu. Sulur-sulur rambutnya berjuntai-juntai kala disentuh angin. Bahkan ketika sedang memadu kasih, dan kemudian menikahi Krisdayanti, dia masih gondrong. Sebagai ABG 80-an, mendadak saya rindu penyanyi-penyanyi berambut gondrong. Anang itu salah satunya. Atau almarhum Andy Liani ini: Mereka pernah menemani saya kala jatuh cinta untuk yang pertama, cemburu karena pacar disambar orang, atau berdiam di kamar selama berjam-jam karena karena ingin jadi pengarang. Anang, dengan solo karirnya atau bersama grup Kidnap, begitu saya idolai. Tetapi lambat laun kekaguman saya agak melemah setelah ia berpisah dengan KD, dan kemudian bercukur klimis tatkala menyanyi bersama Syahrini dan Ashanty dengan lagunya yang temehek-mehek. Tapi tak apa, saya masih punya Iwan Fals. Meski kini ia relatif cepak, tapi beberapa videonya masih mempertunjukkan rambutnya yang gondrong seperti saat ia konser di bawah ini: Video Iwan masih sering saya putar, baik solo maupun bersama Swami dan Kantata Takwa. Iwan menginspirasi saya, dari lagu maupun proses kreatif dan konsistensinya. Posternya dengan rambut gondrong tertera dengan lekat di tembok kamar saya, berukuran besar. Anak-anak saya kadang bertanya-tanya tentangnya, dan saya mencoba menjelaskannya agar mereka memetik spirit Iwan Fals. Penyanyi-penyanyi masa kini hampir semuanya berambut cepak. Tidak secepak tentara, tapi sejujurnya mereka kurang greget di mata saya. Gondrong identik dengan seniman dan konsistensi kesenimanan, tanpa perlu menjadikan gondrong sebagai pembenaran tentang kebebasan. Gondrong secara rambut lebih baik ketimbang cepak di kepala tapi hatinya gondrong, seperti Elpamas dengan lagu "Pak Tua" yang liriknya konon menyindir Pak Harto (Orde Baru) ini, jauh sebelum reformasi: Sungguh, saya merindukan penyanyi-penyanyi gondrong, penyanyi-penyanyi jujur. Entah mengapa menjelang tengah malam ini saya begitu melankolis, seolah ingin terlempar ke masa silam. Masa di mana kejujuran masih belum diacak-acak akal-akalan ... Semarang, 28 Januari 2014, 21.30 -Arief Firhanusa-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H