Lihat ke Halaman Asli

Arief Firhanusa

TERVERIFIKASI

Sinetron Silat, Kebodohan yang Tak Pernah Tamat

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

SAYA hampir saja lupa ada dua stasiun TV nasional di dalam remote control tivi saya, yakni Indosiar dan MNCTV. Selalu dua tivi itu saya lewati tatkala berkeliling channel, dari Antv di nomor urut pertama untuk frekuensi Semarang, kemudian Indosiar, TransTV, MNCTV, RCTI, SCTV, Global TV, Trans7, dipungkasi Metro TV, sebab Indosiar dan MNCTV selalu kebetulan sedang menyiarkan sinetron silat yang menurut saya tak ubahnya pentas seni di acara 17-an kampung saya.

Maaf, saya terpaksa mengandaikannya semacam itu sebab saya heran, masih juga dua stasiun itu menyajikan produksi film yang benar-benar payah dari semua lini. Disiarkan pada slot prime time pula.

Bayangkan saja, sinetron-sinetron yang riuh dengan teriakan "ciaaat ... ciaaat ... " ini benar-benar mengingkari logika dan ngawur dalam segala hal. Properti yang menggambarkan sebuah singgasana di judul Maulana Hasanudin Banten di Indosiar, misalnya, hanya  kursi ukir di sebuah teras dengan kusen-kusen masa kini di atasnya. Di depan kursi digelari karpet corak kembang yang bisa dicari di Pasar Tanah Abang. Pot kembang pun merepresentasikan kekinian, sehingga tak salah kalau kita bilang itu seting panggung acara 17-an.

Baju-baju yang melilit tokoh-tokoh Sabakingking, Ki Kapas, Pucuk Umun, Kaunganten dan sebagainya dalam Maulana Hasanudin Banten, barangkali memang melukiskan busana masa lampau, era-era kerajaan di Bumi Pertiwi.

Cuma, astaga, kok pakaian mereka selalu baru, tak ada kusut-kusutnya sama sekali, sebagaimana wig yang selalu tertata rapi biar pun mereka bertempur mati-matian di lumpur dan semak hutan belantara. Pun bedak dan lipstiknya juga terus merah merona, padahal seseorang baru saja mengeluarkan energi saat menjotosi lawan. Konyolnya, tokoh yang bersemedi di pinggiran laut, dengan terpaan udara kotor dan sengat matahari, juga tampak bugar, bahkan wajahnya mirip orang yang habis keramas di pagi hari!

Perkara baju yang selalu baru itu menempel pula di rakyat jelata. Coba perhatikan, rakyat miskin dengan bungkusan gombal yang dipikul dengan sebatang kayu, tampak baju dan celananya bersih mengkilat, selaksa baru saja diambil dari tukang jahit. Istrinya, yang menyusul dengan ratap tangis pilu, berbalut kain dan kebaya yang tampak wangi lantaran habis diseterika.

Hal serupa melintas-lintas di sinetron sejenis di MNCTV, macam Joko Tingkir (Mas Karebet) yang tadi malam masih mengudara pada pukul 23.30. Baju-baju mereka tampak baru semua. Kumis dan cambang palsu milik bintang film tenar Adam Jordan demikian kentara kalau aspal karena ditempel sembarangan. Tokoh-tokoh Nyi Growong, Pangeran Jayadiningrat, atau bintang cilik Adryan Bima pun berbaju baru, berbalut kepala dengan kain baru pula. Hahaha!

'Gangguan' lain yang turut menopang betapa buruknya penggarapan sinetron laga di televisi kita, adalah adegan-adegan perkelahian. Setiap terjadi duel maupun perang keroyokan, selalu memuncratkan pendar-pendar warna kuning atau hijau berbentuk gelombang listrik di benturan tubuh dan tangan. Mungkin itu untuk menekankan betapa dahsyatnya perkelahian. Tapi, bila setiap baku hantam selalu mengeluarkan gelombang energi bikinan tim grafis di ruang editing dan tak peduli si prajurit kelas kopral atau perwira, maka bodohlah kru film yang memproduksi suguhan semacam ini.

Saya meyakini di judul-judul lain yang ditayangkan Indosiar maupun MNCTV seperti Putri Duyung, Raden Kian Santang, maupun Ken Arok dan Ken Dedes kebodohan serupa dilakukan, berulang-ulang.

Saya bertanya-tanya, apakah sutradara sinetron tersebut tidak pernah nonton film-film kolosal macam Troy, The Lord of The Rings, Braveheart, Gladiator, dan sebagainya? Apakah tim film ini tidak pernah mengajari kru properti dan penata rias untuk berbuat yang terbaik dengan menampilkan kekusutan-kekusutan wajah pemain dan baju-bajunya? Jangan-jangan production house yang membikin sinetron macam ini tak punya tukang lampu yang andal sehingga di setiap scene selalu menampilkan ruangan yang terang benderang, tanpa kesan muram, tak ada situasi dramatis dari efek lighting, bahkan bila adegan disyut di sebuah goa.

Indonesia memang pernah punya cerita kolosal yang fenomenal dan jadi suguhan yang selalu ditunggu-tunggu pendengar radio pada era 80-an, dan kemudian difilmkan pada era-90-an. Masih ingat Saur Sepuh? Ya, kisah dengan para lakon Brama Kumbara dan Mantili dengan triloginya yang menawan, Satria Madangkara, Pesanggrahan Keramat, dan Titisan Darah Biru itu cukup melegenda. Perusahaan farmasi Kalbe Farma merogoh koceknya cukup dalam untuk mengongkosi produksi ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline